Mohon tunggu...
Ales Tiara Fadilah
Ales Tiara Fadilah Mohon Tunggu... Guru - Tenaga Pendidik di SMP IT Miftahul Ihsan

Tenaga Pendidik SMP IT Miftahul Ihsan Kota Banjar

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Kumpulan Puisi Part 2 (11-30)

10 Desember 2022   20:04 Diperbarui: 10 Desember 2022   20:15 344
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

(11) Lepas

Izin pamit dengan keraguan yang dirasanya..

Lalu bertanya apa ia aku mengizinkan?

Jawabku... yaa pergi saja

Ada kerutan di dahinya

Seperti memaksa aku untuk berkata,

Jangan pergi wahai kanda, aku tak mampu tanpamu,

Begitulah yang tersirat dibenakku saat melihat wajahnya

Ahhhh!  belum juga pergi kenapa binar kerinduanmu memuncak seperti itu? Bisik geli dalam hati.

Ku harap cinta ini selalu seperti analogi kita tentang senja

(12)  Serigala Merindu Bulan

Jauh meski tak bisa tersentuh,

Mengetuk angkuh bulan bila riuh.

Menjamah malam dengan kiasan,

bak pungguk merindukan bulan.

Di atas sana bulan bermegah,

kilat berkilau bersinar indah.

Dan si serigala terus saja menengadah; menghiba rasa dengan bersuara manja.

Andai  mengerti di ketinggian itu, ribuan langkah belum tertuju.

Kau gapai pun kumpulan debu

Tipuan mata mengkaburkan indramu

Jangan silau,

Jiwamu terisi syair-syair galau,

Merengkuh mimpi yang tak mungkin termiliki; tinggi dalam penjagaan bidadari

Dan,

Semua ilusi yang kau cari hanya mimpi.

Menepilah; nanti kau akan mati

karena sepi

(13) Siluet jingga

Menyimak gugusan senja merah tengah di balut gelap malam perlahan,

menafakuri kuasa Tuhan lewat rona wajah alam yang sedang bergantian peran,

aku semakin takjub sekaligus merasa kecil dalam waktu yang bersamaan

Tuhan,

di ufuk barat kau lukiskan jingga yang menyala,

di altar rembulan kau sulut cahaya yang purnama.

maka nyalakan jugalah semangat kepasrahanku  akan hidup yang semakin fana

Malam mulai membedaki diri dengan gerimis begitu mistis,

Aku mencoba tersenyum dengan hati yang meraung dalam tangis

(14) Ujung Senja

Pada ujung senja engkau menakar sepi

begitu banyak detik yang kubiarkan terlunta-lunta

bahkan tersesat dalam imajii sendiri

ah duhaiku !

pada hela napas yang mana tak kau temukan aku?

padahal kita sepakat meletakkan rindu di bawah akar Kamboja

yang daun nya menggenggam butir debu

ah duhaiku !

mari memeluk cinta dengan sederhana

sebagaimana meleburnya kayu dan api menjadi abu

(15) Rencam

Riuhnya gelap cakrawala menikam surya yang menuju senja,

Memudarkan Bagaskara di tengah nabastala berbicara.

Aksa perlahan menatap jingganya senja yang mulai terhapus dihiasi sejuknya anila berhembus.

Aku bersembunyi di balik rimbunnya pohon beridiri, diiringi oleh sekumpulan burung bernyanyi.

Menuliskan segalanya sebagai saksi yang dibalut diksi dan dirangkai menjadi puisi.

(16) Selarik Tanya

Dalam hening, aku merangkai kata. Kata manis darimu yang berujung kepahitan. Ibarat kopi tanpa gula yang disengaja diperuntukkan untukku. Haruskah aku jujur dengan rasa yang kau berikan?

Atau mencoba menikmati tetes demi tetes kepahitan itu

Sebenarnya apa yang pahit? Kopi atau janjimu?

Kopi bisa di minum.

Lantas janjimu, harus diapakan? Dilemparkan ke orang yang berhak menerimanya yang akan merasakan manis yang seutuhnya?

(17) Sadtember

September tak membawa matahari tiba. Langit yang malang, ia merindukan senja namun yang tandang adalah hujan. Dinginnya membekukan relung hati, kehangatan raib dari netra.

Goyangkan saja ilalang, biar mereka menari agar tak ada lagi sepi. Gelasku sayang, kopimu amat legit namun ampasmu tak kalah pahit. Mari berdialog dengan bayangan, agar kau tahu betapa tersiksanya bergelut dengan khayalan.

(18) Sebilah Rindu

Lara hati

Berbicara pada hujan

Memintanya kembali

Namun hanya ketiadaan

Hujan

Ijinkan aku meminta

Akan rindu tanpa suara

Untuk kutitip pada semesta

Bawalah pergi rinduku

Ajak kemanapun kau mau

Jadikan temanmu agar ia tau

Jika aku selalu bersamamu

Hujan

Kau buat aku berdiri

Walau telah jatuh berkali-kali

Tanpa harus mengeluh mati

Walau banyak kuterhajar

Kau buat aku belajar

Meski jatuh dan terkapar

Tak perlu mengeluh dan tetaplah sabar

Hujan

Terimakasih telah datang

Walau hanya hadirkan guncang

Itu cukup untuk kukenang

Tanpa harus membenci takdir

(19) Rain-du

Gemuruh dari barat

Siluet tajam sang kilat

Amarah guntur kian cekat

Menghentak seakan menjilat

Amukan memecah hening

Bersama hembusan angin

Bekukan diri memberi dingin

Menggigil kejang kian kencang

Guyuran hujan pun turun

Bersama bulir yang mengguyur

Basahi hati yang menggurun

Hantarkan rindu tuk tumbuh subur

Ranting-ranting pun bertekuk

Daun dan pucuk saling memeluk

Basahi lara yang lama membungkuk

Asa dan rindu jua saling terteguk

Antara Hujan

Dan sepasang kenang

Saling berlomba menang

Hingga tinggalkan genang

(20) Sebait Harap

Beberapa hari bahkan minggu belakangan ini

Kusempatkan bangun di sepertiga malam

Mendoakan agar kamu adalah jodohku

Aku memohon kepada-Nya agar dirimu tetap denganku

Agar dirimu tetap berada disampingku

Aku berdoa agar seberat apa cobaan yang kita hadapi

Kita akan tetap kembali bersama

Dan Tuhan mengabulkannya

Sampai saat ini kita bisa melewatinya bersama

Kumohon tetaplah bertahan denganku

Sungguh aku hanya ingin kita tetap bersama bertahan sampai waktunya tiba

Aku selalu bersyukur atas semuanya

Bolehkah aku rindu denganmu?

Aku rindu suaramu menyapaku

Aku rindu tawamu

Aku rindu caramu menghiburku

Aku rindu semuanya darimu

Terimakasih sudah menjadi pelindung dan sosok paling berharga dihidupku

Aku selalu dan tetap menyayangimu

(21) "Edisi Perjalanan"

Mari bergegas,

habiskan teh manismu selagi hangat

Ada jadwal kereta yang mesti kita kejar siang ini

Bawalah semua bekal,

tinggalkan saja yang menjadi beban

Dan beberapa potong kenangan bertabur coklat

Mungkin nanti bakal tepat

Sebagai pengganjal bila rindu mulai lapar

Kita akan jauh tinggalkan kota ini

bersama sekeranjang besar doa

juga ada harapan-harapan yang sebagiannya kita rajut sebagai mantel untuk mengusir dingin yang begitu usil dalam kereta

Kau akan lihat landscape yang begitu indah lewat tingkap kaca

Di sepanjang perjalanan, kita akan bercerita  tentang bunga-bunga, padang rumput, hamparan padi atau langit biru di mana layang-layang diundu beradu

(22) Andaikan dulu

Andaikan dulu

kau berkenan mengakui sebagai kopi.

Takkan tercipta harapanku tentang rasa manis.

Jelas ku terima dengan hangat di cangkirku.

Yang jadi masalah adalah

Kau mengenalkan diri sebagai madu.

Tapi setelah ku tanya dimana sarangmu

Kau diam terpaku

Seolah ada banyak lebah di sarangmu itu.

(23) Terinjak Lara

Menggores kesadaran;

menyayat perasaan;

Pada setiap kata yang memuat pertanyaan

Aku mencari kau yang aku rindukan

Aku menyapa kau yang aku nantikan

Aku mencari;

Aku menyapa;

Aku menanti;

Aku merindu;

Aku terisak;

Aku menunggu hadirmu

Dan kini,

Satu-satunya yang tersisa hanyalah goresan yang aku buat sebahagai prasasti kesendirian

Kapanpun sunyi merasuk jiwamu, kemarilah

pesan kopi terpahit dengan kenangan termanismu

Genggam kesedihanmu sebagai duka paling bahagi

(24) Kopi dan Kata, Kursi dan Kita

Aroma kopi yang diseduh pagi hari

Menyeruak hingga membangunkan aksara untuk meniti

Pun dengan segala filosofinya yang kau pahami

Tak sebanding dengan bahasa tersirat sebuah diksi yang aku ketahui

Arunika sang bagaskara begitu indah

Tak kalah indah dengan rangkaian kata

Baswara dengan biasnya menyapu wajah

Kulihat kau sungguh gelisah

Ada apa denganmu?

Terukir jelas raut wajah khawatirmu

Aku tak akan pergi dari sisimu

Aku tetap disini sesuai janji kita dahulu

Kau ingat?

Di kursi taman

Dengan dua cup gelas kopi

Bersilang tangan sambil menyuapi

Mengikrakan janji suci

Terpatri dalam hati

Bahwasanya tak akan ada yang saling pergi

Walau apapun yang terjadi

(25) Kopi, Lukisan, Kenangan

Lihat

Tepat setelah lampu-lampu dipadamkan

Kau menyala sebagai satu-satunya yang aku rindukan

Di sini,

Di tempat yang paling kamu hindari

Aku pernah berdiri

Menggores kata menulis warna

Pada ratapan panjang yang menguat dalam dinding kecemasan

Aku mengisahkan kenangan di kepasrahan yang begitu lapang

Retak berserakan

Tanpa kediaman

Terkoyak sepi, melayang di antara pekat aroma kopi

Dengar,

Tepat setelah jejak-jejak di langkahkan

Kau menyapa sebagai satu-satunya yang kunantikan

Di sini, dipeluk yang pernah kau nikmati

Aku masih sendiri

Mencari kehilangan, menemui perpisahan

Pada letupan kenang yang memuat kekosongan

Aku membicarakan senyummu di keindahan yang telah hilang

Hancur berkeping, tersapu kesunyian, terinjak lara

terlarut dalam pahit diseduh air mat

(26) Pemilik Rindu

Padamu wahai guru kusampaikan rindu lewat aksaraku

Rindu yang sampai kini hanya membingkai hatiku

Yang kuinginkan hanyalah senyum mu; tawamu, guruku, sahabatku

Padamu pemilik rindu

Adorasi dan ambisi ingin bertemu

Menghalalkanmu adalah jalan suci

Menggapai mimpi menuju surganya illahi

Jagalah mata dan jagalah hati

Kupastikan kaulah pemilik hati

Biarkanlah waktu yang menjadi saksi

Bahwa cintaku tulus dan murni

(27) Rindu Tatap Muka

Jarak memisah kita

Dengan pandemi yang melanda Indonesia

Hidup diterpa bencana

Bentala diserang lokawigna

Dekat menjadi jauh

Jauh tak bisa mendekat

Ah, sungguh aku rindu

Bertemu denganmu

Dapatkah kita bertemu?

Di tengah pilunya pandemi

Sungguh dilema hati

Terbatas di ujung asa yang baru saja memuncak

Aku butuh bertatap muka

Aku rindu bersua

Aku tak mau hidup di gua

(28) Nestapa Berahi

Cengkrama; Hilang gelak

Sebait kata; Urung bergolak

Sunyi; Mengapit rasa

Kidung sepi; Sesakkan jiwa

Merindu; Sekedar sapa

Sebilah sendu; Membelah kecewa

Retak; Puing tersisa

Jiwa tersentak; Berderak luka

(29) Penyongsong Tuah

Duduk dalam hening,

memenjakan pandangan ke ketinggian angkasa yang baru saja terbuka.

Bibirku rapat terkunci,

namun di dalamnya  kuhidupkan dzikir

untuk mengguncang langit yang telah sunyi.

Langkahku dipimpin shalawat,

berharap setiap bulir kalimatnya menjelma rahmat.

Duhai Raja Bumi dan langit,

pemutus maut dan muara segala harapan,

Padamu, sekali lagi kutitipkan Do'a,

bahagiakan dan rahmatilah hidupku.

(30) Usai

"Secarik renjana beriring dengan rencana. Adakah tinta penantian masih lukiskan jingga pada swastamita? Binar menuju malamnya masih terus disambut. Abaikan bias lain yang perlahan masukkan pijarnya. Wahai, waktu. Hampirilah aku, pada titik henti dari jamanika."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun