Martapura-LBM PCNU menyelenggarakan bahtsul Masail Waqiiyah pra-konferensi NU Banjar pada Sabtu, (28/12/2024).
Adapun pembahasan yang diangkat adalah zakat pertambangan dan Ketimpangan Sosial.
Musohhih :
Dr KH Muhammad Husein M.Ag
KH Naupal Rosyad S.Pd
KH Muhammad Zaki, Lc.
KH Drs IzzudinÂ
Muharrir
Ust Ali Husein Al Idrus
Ust Fahmi Rahman
Ust H Muhammad Lutfi, Lc. M.H
Ust Sibawaihi Saifullah
Ust H Ahmad Gozali
Ust Fahri
Ust Syarofi
Untuk delegasi peserta setiap undangan (4 orang)
Daftar Undangan
1. Mudir Ma'had Aly Darussalam
2. Pimpinan Tahfidz Darussalam
3. Pimpinan Pondok Pesantren Darussalam
4. Rektor Institut Agama Islam Darussalam Martapura
5. Pimpinan Pondok Pesantren Al Ihsani
6. Pimpinan Pondok Pesantren Miftahussibyan
7. Pimpinan Pondok Pesantren Ushuluddin
8. Pimpinan Pondok Pesantren Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari
9. Pimpinan Pondok Pesantren Syaichona Cholil
10. Pimpinan Pondok Pesantren Annur
11. Pimpinan Pondok Pesantren Attahiriyah
12. Pimpinan Pondok Pesantren Hidayatullah
13. Pimpinan Pondok Pesantren Takhashush Diniyah
14. Pimpinan Pondok Pesantren Arriyadh
15. Pimpinan Pondok Pesantren Ma'arif Assunniyah Tambarangan
16. Pimpinan Pondok Pesantren Syafaat Bukhori Muslim
17. Pimpinan Pondok Pesantren Muroatul Lughoh
Deskripsi Masalah: Zakat Pertambangan dan Ketimpangan SosialÂ
Tambang Oranje Nassau, tambang batu bara tertua di Indonesia, terletak di Desa Pengaron Kecamatan Pengaron, Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan. Tambang ini mulai beroperasi pada tahun 1849 di bawah kendali Gubernur Jenderal Jan Jacob Rochussen dan memiliki luas sekitar 169,6 m. Sebagai bagian penting dalam sejarah eksplorasi batu bara di Indonesia, tambang ini menyuplai kebutuhan angkatan laut Belanda hingga akhirnya berhenti beroperasi setelah pecahnya Perang Banjar pada tahun 1859--1905. Kini, tambang Oranje Nassau telah ditetapkan sebagai Kawasan Cagar Budaya berdasarkan UndangUndang Republik Indonesia No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya.
Ketimpangan Sosial di Sektor Pertambangan
Dalam konteks ekonomi modern, sektor pertambangan, termasuk batu bara, telah menjadi salah satu kontributor utama bagi perekonomian nasional Indonesia. Namun, dampaknya sering kali tidak dirasakan secara merata. Aktivitas pertambangan membawa manfaat ekonomi besar bagi perusahaan-perusahaan besar dan pemerintah, tetapi masyarakat di sekitar tambang sering kali menanggung dampak negatifnya, seperti kerusakan lingkungan, gangguan kesehatan, dan keterbatasan akses ekonomi. Ketimpangan ini memperburuk kondisi sosial-ekonomi masyarakat sekitar tambang, yang justru berada di garis depan dampak aktivitas tersebut.
Selain itu, permasalahan pertambangan ilegal (tanpa izin) juga menjadi persoalan besar. Tambang ilegal sering kali dioperasikan oleh individu atau kelompok kecil tanpa mematuhi regulasi yang berlaku3, termasuk dalam pengelolaan lingkungan dan distribusi hasil tambang. Kondisi ini semakin mempersulit pengelolaan zakat, karena status hukum hasil tambang ilegal sering dipertanyakan, termasuk siapa yang bertanggungjawab atas zakatnya.
Kebingungan dalam Penentuan Zakat Pertambangan
Sebagai harta yang diwajibkan zakat dalam Islam, hasil tambang memiliki potensi besar untuk menjadi instrumen sosial-ekonomi yang adil. Namun, kebingungan sering muncul dalam menentukan kategori zakat yang tepat untuk hasil tambang. Ada tiga kemungkinan kategori zakat yang dapat diterapkan pada hasil tambang:Â
1. Â Â Zakat tijarah: Berlaku jika hasil tambang diperlakukan sebagai komoditas perdagangan yang dijual di pasar. Zakat dikenakan sebesar 2,5% dari keuntungan bersih.Â
2. Â Â Zakat rikaz: Berlaku jika hasil tambang dianggap sebagai barang temuan yang tersimpan di dalam tanah. Kadar zakat jenis ini lebih tinggi, yaitu 20% dari nilai hasil tambang.Â
3. Â Â Zakat ma'din (pertambangan): Berlaku jika hasil tambang diambil langsung dari perut bumi. Dalam kategori ini, zakat dikenakan sebesar 2,5% dari nilai bruto tanpa memperhitungkan biaya operasional.
Masalah semakin kompleks ketika mempertimbangkan status kepemilikan hasil tambang. Jika hasil tambang dikelola oleh negara, apakah kewajiban zakatnya berada pada negara atau individu yang mendapat manfaat? Bagaimana dengan tambang ilegal, apakah hasil tambangnya juga dikenai zakat, meskipun status hukumnya tidak diakui?
Potensi Zakat Pertambangan untuk Mengatasi Ketimpangan SosialÂ
Terlepas dari perbedaan pandangan, potensi zakat dari sektor pertambangan sangat besar. Dana zakat ini dapat digunakan untuk:Â
1. Â Â Â Membangun fasilitas pendidikan dan kesehatan.Â
2. Â Â Â Mendukung program pemberdayaan ekonomi masyarakat sekitar tambang.Â
3. Â Â Â Membantu pengentasan kemiskinan melalui pembangunan infrastruktur sosial.Â
Penelitian menunjukkan bahwa pengelolaan zakat secara kolektif dapat meningkatkan pendapatan masyarakat miskin hingga 20%. Sebagai contoh, zakat tambang yang dikelola untuk program pelatihan kerja dapat memberikan dampak jangka panjang dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat.[6]Â
Perlunya Kajian Fikih dan Strategi Pengelolaan ZakatÂ
Rendahnya literasi zakat di kalangan pelaku tambang dan perbedaan pandangan fikih terkait zakat pertambangan mempersulit pengelolaan zakat yang optimal. Diperlukan kajian fikih mendalam untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut:Â
1. Â Â Â Apakah hasil tambang termasuk zakat tijarah, zakat rikaz, atau zakat ma'din?Â
2. Â Â Â Jika termasuk salah satu zakat, apakah hasil tambang wajib memenuhi syarat haul atau langsung dikenai zakat saat hasil diperoleh?Â
3. Â Â Â Apakah zakat tambang harus memenuhi syarat nisab? Jika ya, berapa batas nisabnya?Â
4. Â Â Â Apakah zakat tambang dihitung dari nilai bruto (sebelum dikurangi biaya operasional) atau dari keuntungan bersih?Â
5. Â Â Â Siapa yang bertanggung jawab atas kewajiban zakat hasil tambang: negara, perusahaan, atau individu?Â
6. Â Â Â Bagaimana status zakat hasil tambang ilegal? Apakah hasil tersebut wajib dizakati, dan jika ya, bagaimana mekanisme pengelolaannya?
 Edukasi kepada pelaku tambang dan masyarakat umum juga penting untuk memastikan kesadaran dan kepatuhan terhadap kewajiban zakat. Selain itu, strategi distribusi zakat perlu difokuskan pada pengurangan ketimpangan sosial, seperti pembangunan infrastruktur di daerah sekitar tambang yang terdampak.Â
Jawaban :Â
1. Â Â Menurut Mazhab Hanabilah zakat pertambangan dengan berbagai jenisnya, sebagaimana dijelaskan di atas, termasuk dalam kategori zakat ma'din, Â ini didasarkan pada tujuan utama zakat, yaitu untuk membantu memenuhi kebutuhan kaum fakir miskin di kalangan umat Islam, serta memperkuat hubungan kasih sayang dan persaudaraan di antara anggota masyarakat Muslim. Oleh karena itu, penyaluran zakat kepada non-Muslim tidak dibenarkan, karena bertentangan dengan tujuan syariat yang mengutamakan kesejahteraan umat Islam.Â
2. Â Â Menurut mayoritas ulama zakat hasil tambang termasuk dalam kategori ma'din (barang tambang) yang tidak memerlukan masa satu tahun (haul) untuk diwajibkan zakat. Zakat wajib dikeluarkan segera setelah hasil tambang diperoleh atau muncul ke permukaan. Namun, Menurut Mazhab Hanabilah, jika hasil tambang (ma'din) dijadikan barang dagangan dan diperjualbelikan, maka selain zakat tambang, juga diwajibkan zakat perdagangan ('urudh tijarah) apabila memenuhi syaratsyarat tertentu. Syarat tersebut meliputi: barang tersebut harus dimiliki melalui usaha yang sah seperti jual beli, sewa-menyewa, hibah bersyarat, atau akuisisi lainnya, dan dimaksudkan untuk perdagangan sejak awal kepemilikan. Niat berdagang harus ada sejak awal dan berlangsung selama satu tahun penuh (haul), tanpa digunakan untuk kepemilikan pribadi. Selain itu, barang dagangan harus mencapai nisab selama satu tahun penuh, dan zakat wajib dikeluarkan setiap tahun berdasarkan nilai barang dagangan yang dimiliki atau hasil penjualannya, sebagaimana diwajibkan dalam syariat Islam.
3. Â Â Dalam zakat hasil tambang, syarat haul yakni masa kepemilikan selama satu tahun tidak berlaku. Sebaliknya, zakat wajib dikeluarkan segera setelah hasil tambang diperoleh, asalkan nilainya mencapai atau melebihi nisab, yaitu 85 gram emas. Hal ini berarti jika hasil tambang yang diperoleh setara dengan nilai tersebut, zakat sebesar 2,5% harus segera dikeluarkan.Â
4. Â Â Zakat hasil pertambangan dihitung berdasarkan penghasilan kotor (gross income), yaitu seluruh hasil tambang yang diperoleh sebelum dikurangi biaya operasional. Jika hasil tambang berupa emas atau perak, zakat wajib dikeluarkan setelah proses peleburan dan pemurnian selesai. Besaran zakat yang harus dibayarkan adalah 2,5% dari penghasilan kotor tersebut.Â
Biaya operasional, termasuk peleburan dan pemurnian, sepenuhnya menjadi tanggung jawab penambang dan tidak dapat dikurangkan dari jumlah yang wajib dizakati. Namun, jika operasional tambang dilakukan dengan menggunakan utang, maka utang tersebut dapat dikurangi terlebih dahulu dari total penghasilan, dan zakat dihitung berdasarkan sisa hasil setelah pengurangan utang.Â
a. Zakat pertambangan wajib dikeluarkan jika hasil tambang mencapai nisab. Nisab ini tidak harus berasal dari satu kali penggalian. Â
b. Hasil dari beberapa penggalian bisa digabungkan hingga mencapai nisab, selama aktivitas tambang berlangsung dalam satu masa kerja yang berkesinambungan.Â
c. Hasil tambang dapat digabungkan selama pekerjaan tambang masih berlangsung secara terus-menerus, meskipun sebagian hasilnya sudah dijual atau digunakan.Â
d. Jika pekerjaan tambang terhenti sementara karena alasan teknis, seperti perbaikan alat atau perjalanan, penggabungan hasil tambang tetap berlaku.Â
e. Penggabungan tidak berlaku jika pekerjaan tambang berhenti total, seperti karena pindah profesi atau tambang dianggap tidak lagi menghasilkan.Â
f. Jika ada jeda waktu dalam penggalian:Â
  i. Jeda waktu yang singkat tidak memengaruhi penggabungan hasil tambang.Â
  ii.Jeda waktu yang lama membatalkan penggabungan hasil, kecuali jika jeda tersebut dianggap wajar dalam praktik pertambangan.Â
5. Ketentuan zakat hasil tambang dan pengeloaanya : Â
A. Â Â kewajiban Zakat pada Pemilik Tanah Tambang jika tanah tambang dimiliki oleh penambang, baik pihak swasta maupun pemerintah, maka kewajiban zakat atas hasil tambang menjadi tanggung jawab pemilik tanah. Zakat wajib dikeluarkan dari total hasil tambang setelah mencapai nisab, tanpa memerlukan haul (masa kepemilikan satu tahun).Â
B. Â Â Tambang dapat diserahkan kepada pekerja atau pihak lain untuk dikelola berdasarkan kesepakatan. Dalam hal ini, kewajiban zakat ditentukan berdasarkan kepemilikan hasil tambang:Â
a) Â Â Â Jika tambang dikelola oleh beberapa orang, maka zakat wajib dikeluarkan oleh masing-masing pekerja sesuai bagian mereka, dengan syarat bagian tersebut mencapai nisab.Â
b) Â Â Jika tambang disewakan kepada pihak lain, kewajiban zakat dibebankan kepada penyewa tambang atas hasil tambang yang ia miliki.Â
C. Â Â Diperbolehkan menyerahkan tambang dengan sistem bagi hasil tertentu, seperti setengah atau seperempat hasil tambang, berdasarkan pendapat Mazhab Malikiyah. Dalam hal ini, kewajiban zakat dibebankan kepada setiap pihak yang menerima bagian hasil tambang, dengan syarat bagian tersebut mencapai nisab.Â
D. Â Â Pengelolaan tambang berada di bawah wewenang penguasa atau wakilnya, baik tambang tersebut berupa barang tertentu maupun tidak. Penguasa memiliki hak untuk memberikan izin kepada individu atau pihak tertentu untuk mengelola tambang, atau mengalokasikan hasilnya untuk kepentingan umat Islam.Â
E. Â Â Tambang ilegal, yaitu tambang yang dilakukan tanpa izin penguasa, selain wajib dikenakan zakat, juga mewajibkan pelakunya untuk membayar ganti rugi (dhaman) karena melanggar aturan pemerintah serta kerusakan atau dampak yang ditimbulkan. Hal ini sesuai dengan prinsip syariat bahwa tidak diperbolehkan bagi siapa pun untuk bertindak atas hak milik orang lain atau aset publik tanpa izin. Sebagaimana dijelaskan:Â
 " "
(Tidak diperbolehkan bagi siapa pun untuk bertindak atas milik orang lain tanpa izinnya.)Â
Tindakan tanpa izin ini dapat berupa:Â
i. Tindakan langsung (fi'li): Seperti mengambil, memanfaatkan, atau merusak. Pelaku tindakan ini dianggap sebagai ghasib (perampas) dan bertanggung jawab atas semua kerugian. ii. Tindakan verbal (qawli): Seperti menjual, menghibahkan, atau menyewakan milik orang lain tanpa izin. Jika tindakan verbal ini disertai dengan penyerahan, maka hukumnya sama dengan perampasan (ghasab). Namun, jika hanya berupa pernyataan, maka dianggap sebagai tindakan fuduli (tanpa otoritas), yang sah jika pemilik mengizinkannya dan batal jika tidak.Â
iii. Pemberian izin oleh pemilik barang atau pihak berwenang seperti wali, washi, wakil, atau hakim dapat mengubah tindakan yang tidak sah menjadi sah. Oleh karena itu, dalam konteks tambang, izin penguasa adalah syarat mutlak untuk memastikan pengelolaan yang sesuai dengan syariat dan tidak menimbulkan kerugian bagi masyarakat.Â
Bahkan jika tambang tersebut berada di tanah milik pribadi, dalam situasi tertentu, penguasa memiliki hak untuk mengatur tambang tersebut demi kepentingan umum. Contohnya, jika tambang di tanah pribadi menimbulkan dampak besar bagi masyarakat, penguasa berwenang mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk melindungi kemaslahatan bersama. Pengelolaan tambang dengan izin penguasa memastikan semua tindakan sesuai dengan prinsip keadilan syariat dan mengutamakan kepentingan umat.Â
F. Â Â Â Untuk tambang di tanah milik individu, baik Muslim maupun non-Muslim, pengelolaannya tetap diawasi oleh penguasa untuk mencegah konflik. Â
G. Â Â Pengaturan tambang bertujuan mencegah perselisihan dan memastikan kemaslahatan umat Islam. Penguasa tidak perlu menguasai fisik tambang untuk mengalokasikannya, dan tambang tetap dianggap milik penguasa kecuali ada aturan yang memberikan hak pengelolaan kepada pemilik tanah. Semua kebijakan pengelolaan tambang harus mengutamakan kepentingan masyarakat secara luas.Â
Analisis Teoritis :Â
Pandangan Para Ulama Keunggulan Hukum Wujudi atas Hukum Adamiy: Analisis Zakat pada Barang TambangÂ
1. Â Â Â Mazhab Hanbali: Zakat diwajibkan pada semua barang yang merupakan hasil bumi dan bernilai (al mal al mutaqawwam) Hal ini dianalogikan dengan tanah liat merah yang memiliki nilai ekonomi dan diambil dari bumi.Â
2.    Mazhab Hanafi (salah satu riwayat dari Abu Hanifah): Zakat hanya diwajibkan pada barang yang dapat dicetak  seperti timah besi  dan tembaga ,tetapi tidak berlaku untuk barang lain seperti tanah liat. a) Dalil-Dalil yang Digunakan : Â
b) Pendapat Mazhab Hanbali didasarkan pada dalil-dalil berikut:Â
Dalil Al-Qur'an: Allah berfirman:Â
 Â
Artinya :Â
"Dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan untuk kalian dari bumi." (QS. Al-Baqarah: 267)Â
Ayat ini menunjukkan bahwa setiap hasil bumi yang bernilai dan bermanfaat dapat dikenakan zakat, termasuk logam dan mineral.Â
3. Â Â Â Qiyas (Analogi)Â
Barang hasil bumi yang berupa logam dan mineral dianalogikan dengan emas dan perak karena  keduanya adalah barang berharga dan dikeluarkan dari bumi. Oleh karena itu, barang tersebut diwajibkan zakat sebagaimana emas dan perak.Â
4. Â Perbedaan dengan Tanah LiatÂ
Tanah liat tidak dianggap sebagai barang tambang  menurut definisi syara'. Hal ini karena tanah liat adalah bagian dari bumi itu sendiri, sedangkan tambang adalah barang yang terkandung dalam bumi namun bukan dari jenisnya. Dalam konteks ini, tambang didefinisikan sebagai barang berharga yang terdapat dalam bumi namun berbeda dari unsur bumi itu sendiri.Â
Dalam ushul fikih, terdapat dua pendekatan utama dalam menetapkan hukum, yaitu hukum wujudi yang didasarkan pada illah wujudiah (keberadaan sebab) dan hukum adami yang didasarkan pada illah adamiah (ketiadaan sebab). Secara prinsip, hukum wujudi dianggap lebih kuat karena didukung oleh dalil eksplisit atau illat yang jelas, sedangkan hukum adami hanya bergantung pada asumsi ketiadaan dalil, yang secara metodologis lebih lemah.Â
Contoh Hukum Wujudi dan Adamiy Â
1. Â Â Â Hukum Wujudi (Illah Wujudiah): Contohnya adalah zakat pada logam seperti besi,tembaga, batu bara, bijih besi dan lain-lain . Kewajiban zakat ini didasarkan pada dalil Al-Qur'an yang menjelaskan secara umum bahwa emas dan perak dll, sebagai barang bernilai, wajib dizakati. Illatnya adalah keberadaan nilai harta tersebut sebagai mal muqawwam (harta yang bernilai dalam syariat).Â
2. Â Â Â Hukum Adamiy (Illah Adamiah):Contohnya adalah pandangan yang mengatakan tidak wajib zakat pada pada logam seperti besi,tembaga, batu bara, bijih besi dan lain-lain, karena tidak ditemukan dalil eksplisit yang mewajibkan zakat atas barangbarang tersebut. Pendekatan ini hanya bersandar pada ketiadaan dalil, bukan pada keberadaan alasan yang jelas.Â
Mengapa Hukum Wujudi Lebih Kuat?Â
Hukum wujudi lebih kuat karena didukung oleh illah wujudiah yang memberikan dasar hukum yang nyata dan jelas. Dalam konteks zakat, ada beberapa alasan mengapa hukum wujudi lebih unggul:Â
1. Â Â Â Barang tambang adalah mal muqawwam yang dihasilkan dari dalam perut bumi, seperti nikel, timah, tembaga, batu bara, bijih besi dan lain-lain . adalah harta bernilai yang diakui syariat dan memiliki manfaat ekonomi. Oleh karena itu, ia memenuhi syarat untuk dikenakan zakat.Â
2. Â Â Â Keserupaan dengan emas dan perak: Dari segi fungsi ekonomi, barang tambang menyerupai emas dan perak, yang merupakan alat tukar dan penyimpan nilai. Keserupaan ini memperkuat analogi bahwa barang tambang wajib dizakati.Â
Keadaan yang Diulas dalam Pendekatan Wujudi dan Adamiy 1. Jika Hukum dan Illat Keduanya Wujudi:Â
Contohnya, buah safarjal (quince) dianggap sebagai makanan yang dikonsumsi. Hukum wujudinya adalah "safarjal adalah makanan", dan illat wujudiah yang mendukungnya adalah sifat "makanan yang dikonsumsi". Hukum ini lebih kuat dibandingkan pandangan yang hanya menyebutkan bahwa safarjal tidak memiliki sifat takaran atau timbangan.Â
2. Â Â Â Jika Salah Satu Wujudi dan Lainnya Adamiy:Â
Dalam kasus ini, keunggulan hukum menjadi lebih kompleks. Misalnya, jika suatu hukum menyatakan "tidak wajib zakat" tetapi illatnya berbasis keberadaan, maka hukum ini tetap lebih lemah dibandingkan jika keduanya wujudi. Sebab, keberadaan hukum dan illat yang sama-sama wujudi memberikan kejelasan yang lebih kuat.Â
3. Â Â Â Jika Hukum dan Illat Keduanya Adamiy:Â
Jika hukum dan illat keduanya berbasis ketiadaan, misalnya "tidak wajib zakat karena tidak ada dalil eksplisit" dan "illatnya adalah ketiadaan sifat tertentu seperti takaran atau timbangan", maka pendekatan ini dianggap paling lemah. Ketiadaan dalil dan illat hanya bersifat asumsi, tanpa dasar nyata yang mendukung.Â
Nisab Disyaratkan, Haul Tidak DiperlukanÂ
Dalam pembahasan zakat ma'din (hasil tambang), dua prinsip utama menjadi poin perdebatan: keharusan nisab dan haul. Berdasarkan analisis dua sumber utama, Al-Syarh Al-Kabir oleh Ibnu Qudamah dan Fathul Aziz oleh Al-Rafi'i, dapat disimpulkan sebagai berikut:Â
1. Keharusan NisabÂ
Nisab disyaratkan dalam zakat ma'din berdasarkan prinsip bahwa zakat adalah kewajiban sosial yang ditujukan kepada mereka yang memiliki kekayaan mencukupi untuk berbagi (solidaritas). Dalil yang mendasari adalah hadis Nabi :Â
"Tidak ada kewajiban zakat pada emas hingga mencapai dua puluh mitsqal" (HR. Muslim).Â
Pendapat ini mengacu pada tujuan zakat itu sendiri, yaitu sebagai bentuk muwasah (pemberian kepada yang membutuhkan). Jika harta tidak mencapai nisab, maka ia tidak memenuhi syarat sebagai harta yang layak untuk dibagikan.Â
Analogi ini sejalan dengan zakat pada hasil pertanian yang mensyaratkan nisab lima wasaq. Hasil tambang, meskipun berbeda sifatnya, tetap dianggap sejenis karena keduanya adalah harta yang dihasilkan secara langsung tanpa membutuhkan proses waktu tertentu.
2. Tidak Diperlukannya HaulÂ
Zakat ma'din tidak memerlukan haul karena sifatnya yang berbeda dari harta lain. Hasil tambang dianggap sebagai nam' fi nafsihi (pertumbuhan itu sendiri). Harta ini langsung bernilai setelah diekstraksi, tanpa memerlukan waktu untuk berkembang. Hal ini berbeda dengan harta perdagangan atau ternak, yang memerlukan haul sebagai tanda pertumbuhan dan stabilitas nilai.Â
Sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Qudamah, "Pertumbuhan harta tambang terjadi dengan proses penggalian, bukan dengan waktu keberlanjutan." Oleh karena itu, haul tidak menjadi syarat pada zakat ma'din.Â
Sanggahan Terhadap Pendapat yang Menolak NisabÂ
Pendapat Abu Hanifah dan pengikutnya yang tidak mensyaratkan nisab dengan alasan bahwa zakat ma'din serupa dengan rikaz (harta karun) ditolak dengan beberapa argumen:Â
1. Â Â Â Dalil Khusus Lebih Didahulukan: Hadis "Tidak ada zakat pada emas kurang dari dua puluh mitsqal" adalah dalil khusus yang membatasi keumuman dalil tentang zakat hasil tambang.Â
2. Â Â Â Filosofi Nisab: Zakat bertujuan meringankan beban masyarakat yang membutuhkan tanpa membebani pemilik harta yang belum cukup kaya. Jika nisab tidak disyaratkan, zakat dapat menjadi beban bagi orang yang hartanya tidak mencukupi untuk berbagi.Â
Keunggulan Pendapat yang Menyatakan Barang Tambang Mengikuti Kepemilikan TanahÂ
1. Â Â Â Mazhab Malikiyah berpendapat bahwa semua jenis barang tambang tidak dapat dimiliki baik melalui penguasaan tanah (istila') maupun melalui kepemilikan tanah. Barang tambang dianggap sebagai milik negara, dengan pengelolaannya sepenuhnya berada di tangan penguasa untuk kemaslahatan masyarakat. Hal ini didasarkan pada prinsip bahwa tanah yang dikuasai melalui penaklukan Islam adalah milik negara.Â
2. Â Â Â Pendapat Hanafiyah, Syafi'iyah, dan Hanabilah menyatakan bahwa barang tambang mengikuti kepemilikan tanah. Jika tanah dimiliki oleh seseorang, barang tambang yang ada di dalamnya menjadi milik pemilik tanah. Jika tanah tersebut adalah milik negara, maka barang tambang menjadi milik negara. Sedangkan, jika tanah tidak dimiliki, barang tambang dapat dimiliki oleh orang yang menemukannya, karena tanah tersebut dianggap mubah (bebas dimanfaatkan).Â
Keunggulan Pendapat yang Mengikuti Kepemilikan TanahÂ
Pendapat Hanafiyah, Syafi'iyah, dan Hanabilah memiliki beberapa keunggulan logis:Â
1. Â Â Â Konsistensi dengan Kaidah Kepemilikan Tanah Barang tambang merupakan bagian dari tanah itu sendiri, baik yang berada di permukaan maupun yang tersembunyi di dalamnya. Sebagaimana pemilik tanah memiliki hak atas seluruh lapisan tanahnya, barang tambang yang berada di tanah tersebut secara alami juga menjadi miliknya. Berbeda dengan rikaz (harta karun), barang tambang adalah elemen alami yang melekat pada tanah, sehingga kepemilikannya logis untuk mengikuti kepemilikan tanah.Â
2. Â Â Â Mendorong Pengelolaan Sumber Daya yang Optimal Pendapat ini memberikan insentif kepada individu untuk mengelola tanah dan barang tambang secara lebih optimal. Jika barang tambang dianggap milik negara tanpa memperhatikan kepemilikan tanah, hal ini dapat menurunkan motivasi individu untuk melakukan eksplorasi dan pengelolaan, sehingga sumber daya yang ada tidak dimanfaatkan secara maksimal.
3. Â Â Â Keadilan bagi Pemilik TanahPemilik tanah memiliki hak penuh atas barang tambang yang ada di lahannya sebagai hasil usaha mereka. Pendapat Malikiyah yang menganggap barang tambang sebagai milik negara dapat merugikan pemilik tanah, karena mereka tidak mendapatkan hak yang adil atas hasil dari tanah mereka sendiri.
4.    Selaras dengan Kaidah Syariat Hadis Rasulullah  ":Barang siapa menghidupkan tanah mati, maka tanah itu menjadi miliknya" menunjukkan bahwa kepemilikan tanah mencakup segala sesuatu yang ada di dalam tanah tersebut, termasuk barang tambang. Selain itu, kaidah syariat menyebutkan bahwa sumber daya mubah (tidak dimiliki) menjadi milik orang yang menemukannya, sehingga barang tambang di tanah tak bertuan dapat dimiliki oleh penemu pertama.
5. Â Â Â Mencegah Konflik KepemilikanPendapat ini juga dapat mencegah konflik antara individu dan negara terkait barang tambang. Jika barang tambang secara otomatis menjadi milik pemilik tanah, maka tidak ada keraguan mengenai hak pengelolaan dan kepemilikan hasil tambang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H