Jika hukum dan illat keduanya berbasis ketiadaan, misalnya "tidak wajib zakat karena tidak ada dalil eksplisit" dan "illatnya adalah ketiadaan sifat tertentu seperti takaran atau timbangan", maka pendekatan ini dianggap paling lemah. Ketiadaan dalil dan illat hanya bersifat asumsi, tanpa dasar nyata yang mendukung.Â
Nisab Disyaratkan, Haul Tidak DiperlukanÂ
Dalam pembahasan zakat ma'din (hasil tambang), dua prinsip utama menjadi poin perdebatan: keharusan nisab dan haul. Berdasarkan analisis dua sumber utama, Al-Syarh Al-Kabir oleh Ibnu Qudamah dan Fathul Aziz oleh Al-Rafi'i, dapat disimpulkan sebagai berikut:Â
1. Keharusan NisabÂ
Nisab disyaratkan dalam zakat ma'din berdasarkan prinsip bahwa zakat adalah kewajiban sosial yang ditujukan kepada mereka yang memiliki kekayaan mencukupi untuk berbagi (solidaritas). Dalil yang mendasari adalah hadis Nabi :Â
"Tidak ada kewajiban zakat pada emas hingga mencapai dua puluh mitsqal" (HR. Muslim).Â
Pendapat ini mengacu pada tujuan zakat itu sendiri, yaitu sebagai bentuk muwasah (pemberian kepada yang membutuhkan). Jika harta tidak mencapai nisab, maka ia tidak memenuhi syarat sebagai harta yang layak untuk dibagikan.Â
Analogi ini sejalan dengan zakat pada hasil pertanian yang mensyaratkan nisab lima wasaq. Hasil tambang, meskipun berbeda sifatnya, tetap dianggap sejenis karena keduanya adalah harta yang dihasilkan secara langsung tanpa membutuhkan proses waktu tertentu.
2. Tidak Diperlukannya HaulÂ
Zakat ma'din tidak memerlukan haul karena sifatnya yang berbeda dari harta lain. Hasil tambang dianggap sebagai nam' fi nafsihi (pertumbuhan itu sendiri). Harta ini langsung bernilai setelah diekstraksi, tanpa memerlukan waktu untuk berkembang. Hal ini berbeda dengan harta perdagangan atau ternak, yang memerlukan haul sebagai tanda pertumbuhan dan stabilitas nilai.Â
Sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Qudamah, "Pertumbuhan harta tambang terjadi dengan proses penggalian, bukan dengan waktu keberlanjutan." Oleh karena itu, haul tidak menjadi syarat pada zakat ma'din.Â