Sebagai harta yang diwajibkan zakat dalam Islam, hasil tambang memiliki potensi besar untuk menjadi instrumen sosial-ekonomi yang adil. Namun, kebingungan sering muncul dalam menentukan kategori zakat yang tepat untuk hasil tambang. Ada tiga kemungkinan kategori zakat yang dapat diterapkan pada hasil tambang:Â
1. Â Â Zakat tijarah: Berlaku jika hasil tambang diperlakukan sebagai komoditas perdagangan yang dijual di pasar. Zakat dikenakan sebesar 2,5% dari keuntungan bersih.Â
2. Â Â Zakat rikaz: Berlaku jika hasil tambang dianggap sebagai barang temuan yang tersimpan di dalam tanah. Kadar zakat jenis ini lebih tinggi, yaitu 20% dari nilai hasil tambang.Â
3. Â Â Zakat ma'din (pertambangan): Berlaku jika hasil tambang diambil langsung dari perut bumi. Dalam kategori ini, zakat dikenakan sebesar 2,5% dari nilai bruto tanpa memperhitungkan biaya operasional.
Masalah semakin kompleks ketika mempertimbangkan status kepemilikan hasil tambang. Jika hasil tambang dikelola oleh negara, apakah kewajiban zakatnya berada pada negara atau individu yang mendapat manfaat? Bagaimana dengan tambang ilegal, apakah hasil tambangnya juga dikenai zakat, meskipun status hukumnya tidak diakui?
Potensi Zakat Pertambangan untuk Mengatasi Ketimpangan SosialÂ
Terlepas dari perbedaan pandangan, potensi zakat dari sektor pertambangan sangat besar. Dana zakat ini dapat digunakan untuk:Â
1. Â Â Â Membangun fasilitas pendidikan dan kesehatan.Â
2. Â Â Â Mendukung program pemberdayaan ekonomi masyarakat sekitar tambang.Â
3. Â Â Â Membantu pengentasan kemiskinan melalui pembangunan infrastruktur sosial.Â
Penelitian menunjukkan bahwa pengelolaan zakat secara kolektif dapat meningkatkan pendapatan masyarakat miskin hingga 20%. Sebagai contoh, zakat tambang yang dikelola untuk program pelatihan kerja dapat memberikan dampak jangka panjang dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat.[6]Â