Mohon tunggu...
Ahmad Maulana S
Ahmad Maulana S Mohon Tunggu... Founding partner di Lembaga Pendidikan dan Sosial Kemasyarakatan -

Founding partner di Lembaga Pendidikan dan Sosial Kemasyarakatan // Penikmat kutak-katik kata yang gemar mengembara dari satu bait ke larik yang lainnya // Cuma seseorang yang ingin menjadi tua tanpa rasa bosan, setelah sebelumnya beranak-pinak seperti marmut atau cecurut // Salam hangat persahabatan...^_

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Love in Dumay: Cinta yang Menyentak

26 Juli 2015   09:06 Diperbarui: 1 April 2017   08:57 441
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 

(Cerita sebelumnya: Karena penasaran pasca menikahkan Sa (Sahabat Pelangi bin Sampah Zaman) dengan Yang (Motivasi binti Yangditertawakan) yang hanya berkenalan melalui fesbuk tanpa pernah bertemu sebelumnya, Ben mengajak Ci, salah satu teman wanita yang dikenalnya di dunia maya, untuk menjenguk pasangan ajaib tersebut. Dimulailah petualangan mereka mencari tahu makna cinta, dengan cara masuk ke dunia digital, berlompatan dari satu laman ke linimasa yang lainnya, yang ternyata menguras banyak emosi…)

 

#3 Sebuah Cinta Bernama: Sa

Episode terbengong-bengong. Harusnya ini judul yang paling tepat sebab dalam tulisan ini Ben benar-benar dibuat banyak melongo.

Bengong yang pertama saat mendadak muncul Sa dari gua besar yang berada di depan Ben, yang semakin bertambah rasa kebingungannya saat tiba-tiba Sa dan Ci saling berteriak, “Kau...!!!” secara berbarengan.

“Udah saling kenal yah, Ci...” ucap Ben beberapa saat ketika sudah tidak budek lagi akibat teriakan mereka berdua.

“Ini Sahabat Pelangi, Ben…” jawab Ci, yang diiringi anggukan kecil dari Sa.

Sahabat Pelangi? Lelaki ini? Jadi itu beneran nama dia? Ben pandangi lagi sosok jangkung berambut agak gondrong itu dengan lebih seksama. Celana lapangan coklat tanah, kemeja hitam dengan lengan digulung santai hingga bawah siku, serta sebuah carrier dengan warna yang senada dengan celananya. Mmh... Nih orang gaya berpakaiannya kenapa mirip sama Ben, yah...?

Nama yang cukup unik, batin Ben sambil mencari-cari sebab apa dia bernama demikian. Dulu waktu menjadi penghulu mereka, Ben pikir itu cuma nickname dia doang.

Apakah wajahnya berwarna-warni seperti pelangi? Tidak juga. Hidungnya barangkali, belang-belang kaya Om Tukang Zina yang ada di kota-kota? Ah, hidungnya biasa aja. Atau… bisa jadi tubuhnya yang loreng pelangi seperti macan belang? pikir Ben sambil berusaha ngintip ke balik pakaian dia.

“Jangan macam-macam, Ben,” ucap Sa sambil tersenyum samar, yang membuat Ben ngakak pelan karena memang mereka berdua seringkali dengan cara yang aneh seakan bisa menyelami yang ada di pikiran masing-masing.

“Ada apa nih, Ben? Ci?” tanya Sa masih dengan tersenyum samar.

“Oh, ini Sa... Si Ci diajakin sharing, eh malah bawel banget nanya campur nuduh kalo Ben tuh banyak ngatur dan nuntut sekarang. Coba deh Sa share sedikit tentang ‘tuntutan’ sama kita berdua,” ucap Ben sambil dengan cuek mencabut rumput dan menggigit-gigit ujungnya. Sekilas terlihat merah jambu di wajah Ci yang –ga tau kenapa- menunduk dengan amat mendadak itu.

“Oh, gitu, Ben...”

Hah! Koq diksinya Sa agak mirip sama yang biasa digunakan Ci, sih?

“Sebelum ngobrol, ada baiknya kita ganti settingan foto sampulnya dulu, okay...” ucap Sa lagi sambil tangannya langsung memencet-mencet beberapa tombol dan kenop. Dan... Wuzzz...! Tahu-tahu pemandangan gunung dan lembah hilang, berubah menjadi suasana pinggir kali yang agak berkabut, dengan bunga azaleas dan rhododendron kecil-kecil yang semarak penuh warna merah, kuning, putih dan ungu di kiri-kanan sungai yang mengular itu, mengingatkan Ben pada salah satu adegan komik Si Buta dari Gua Hantu episode Bukit Tinombala-nya yang keren sekali.

Tapi begitu Ben lihat wajah Ci, Ben segera tersadar. Secepat kilat Ben rubah kembali settingan hingga menjadi suasana taman indah di kota besar yang terang dan tak terlalu sepi, lengkap dengan gazebo dan air mancurnya. Sebab Ben tahu bahwa Ci ga suka kegelapan. Sebab Ben pernah mengajarkan kepada Ci bahwa segala sesuatu selalu berpasangan, seperti suasana indah tadi yang serta merta berubah gelap nan menyeramkan saat malam tiba. Dan Ben pernah berkata untuk sebisa mungkin memberikan terang kepada Ci tanpa gelap setitikpun, sekuat mampu Ben.

“Gimana tentang tuntutan, Sa?” ucap Ben mengingatkan, yang langsung dijawab oleh Sa dengan adem.

“Dalam hidup tak pernah ada yang namanya tuntutan, Ben...”

Ben dan Ci saling melirik sejenak, dengan pandangan yang menyatakan ketidak setujuan atas ucapan Sa.

“Bagaimana dengan seorang hamba yang dituntut untuk beribadah kepada Tuhannya?” tanya Ci langsung.

“Itu kasih sayang dari –Nya, Ci...” jawab Sa cepat.

“Kalau orang yang dituntut untuk selalu melakukan yang terbaik sekuat tekad?” kali ini Ben yang bertanya.

“Itu juga sebenarnya hanya anjuran untuk lebih cinta dan menghargai diri sendiri, Ben...”

 

Ci: ?

Ben: ...? ...?

Sa: :-D

 

“Ini masalah pemahaman doank koq, Ben... Ci...” ucap Sa lagi sambil tersenyum, yang lantas melanjutkan dengan kalimat yang tak jauh berbeda.

“Lihat saja fadhilah shalat dan puasa, yang katanya dituntut untuk dilakukan seorang hamba, dari aspek kesehatan, misalnya. Seperti saat bersujud dimana darah mengalir ke bagian tertentu otak yang memang membutuhkannya…Atau gerakan-gerakan lainnya seperti rukuk yang merangsang tulang ekor, sulbi dan leher sekaligus ketenangan jiwa dengan ratanya punggung saat rukuk dan sebagainya… Sementara melakukan yang terbaik lebih kepada peringatan untuk semakin mencintai dan kian menghargai diri sebagai makhluk terbaik di antara ciptaan –Nya.”

“Lho...? Berarti ketika Ben menuntut Ci memberi komen pada naskah khususnya, harus dipahami bahwa Ben sebenarnya menghargai Ci agar lebih bisa menghargai kemampuan diri sendiri, dong? Juga salah satu bentuk sayangnya Ben agar Ci mampu memberi perhatian lebih kepada poin utama dalam bentuk pertanyaan, hingga kelak dapat Ci terapkan untuk kegiatan selain tulisan gitu, Sa...?” tanya Ci panjang dan riuh seperti kicau ribuan burung hutan yang bersiul berbarengan, yang seketika membuat Ben terpucat-pucat karena jengah dan malu.

Nih Ci polos apa o’on sih sebenarnya? Atuh kalo yang begitu mah jangan dijeblakin ngapa...! Malu, tauuu.... batin Ben sambil melengos ke samping menghindari tatapan Sa yang ribet ngeledek.

“Eh, ngomong-ngomong namamu koq unik banget, Sa, bagaimana ceritanya?” tanya Ben tiba-tiba dengan tak sabar, sebab memang sudah lama sekali Ben penasaran tentang hal itu.

Tapi entah kenapa pertanyaan itu justru membuat Ci langsung seperti orang yang salah tingkah atau terkena efek obat yang tidak tepat dengan penyakit. Eh, ada apa yah?

“Ooh... Nama itu pembelian dari seseorang...” jawab Sa dengan raut wajah yang amat jelas menunjukan perasaan senang luar biasa.

Sekali lagi Ben lihat Ci bersikap agak aneh. Bahkan Ben juga kembali melihat merah dadu ayun-ayunan di pipinya yang agak tertunduk itu. Halaaah...! Nih bocah kenapa jadi girly banget begini, sih? Ada-ada aja Si Ci nih...

“Lho? Koq teman yang ngasih, Sa, biasanya nama diberikan oleh orang-orang khusus, kan...? Apa teman Sa itu dari kalangan sesepuh yang dihormati? Ah, mestinya teman Sa itu dah nenek-nenek, yah... :-D Guru Sa, mungkin? Atau... jangan-jangan pasangan hidupmu yah, Sa...?” tanya Ben lagi dengan riuh seperti gerimis yang terbanting-banting di atap genting dari seng, yang lagi-lagi secara aneh membuat Ci menjadi tidak tenang duduknya dan seakan tengah mati-matian berusaha menempelkan ujung dagu hingga sedekat mungkin ke arah dada.

Tapi Ben tak memberi Sa kesempatan untuk menjawab, karena Ben tiba-tiba saja teringat kepada sesuatu yang lain.

“Ngomong-ngomong, Yang istrimu kemana, Sa? Koq ga kelihatan dari tadi... Terus sekolahan kalian yang keren itu dimana sih, kenapa Ben malah tersasar ke tempat ini?”

Tiba-tiba saja Sa terdiam. Wajahnya memucat amat cepat, dengan sorot mata yang dipenuhi berlaksa kesedihan. Ah, ada apa lagi, sih? Adakah yang terlewat oleh Ben?

Dengan agak bingung Ben menengok ke arah Ci, dan bertanya lewat sorot mata, apakah tulisan ini masih butuh dilanjutkan lagi...?

*************************************************************************

 

#4 Seonggok Tanya tentang Cinta

Kali ini keadaan bingung yang banyak mendominasi ben. Kebingungan yang semakin dalam dan bertambah bingung saat begitu banyak situasi, yang entah mengapa mengepung Ben dari bingung yang satu ke bingung yang lain, hingga menjadi tumpukan-tumpukan bingung yang terus menggunung tanpa ujung.

“Sa tak pernah menikah dengan Yang, Ben...” ucap Sa pelan, yang justru terdengar seperti ledakan jutaan nuklir di telinga Ben.

Bagaimana mungkin? Bukankah waktu itu Ben sendiri yang menjadi penghulunya? Atau... apakah semuanya tidak benar-benar terjadi, melainkan hanya sebuah rangkaian panjang memori yang meminjam asa menghendak nyata, yang akhirnya hanya mampu menjelma kejadian semu, dalam ruang kepala Ben yang terlalu liar akan mimpi? Atau... ah, alangkah membingungkannya keadaan ini!

Seperti orang linglung Ben menengok ke arah Ci, berharap dari makhluk lembut ini Ben dapat mendengar kenyataan yang lebih ramah dan mendekati akal sehat.

Tapi Ci menjawab tanpa jawaban. Bukan karena pertanyaan Ben yang terlontar tanpa pertanyaan, melainkan memang lazimnya semua kosong harus menjelma hening. Yang sunyi, atau barangkali juga suci seperti yang biasa diucap oleh para sufi.

“Mengapa...?”

Hanya itu kata yang berhasil Ben rupa. Entah ditujukan kepada siapa. Sebab sejatinya tak semua tanya mesti berakhir dengan jawaban atau tujuan.

***

“Bukankah kalian saling mencintai, Sa?” Ben bertanya agak keras. Mungkin karena masih menganggap semua yang terjadi waktu itu adalah kenyataan.

“Terlalu dini untuk mengatakan itu, Ben,” jawab Sa sambil melirik sekilas ke arah Ci yang terus saja diam dan menunduk.

“Lho...? Tapi...?” Ben tak dapat menyelesaikan pertanyaannya. Bingung. Heran.

“Tanyakan pada dunia, apa itu cinta...” ucap Sa pelan, mengutip kata-kata yang katanya diklaim paling populer tentang cinta.

***

“Sa suka sama Yang, Ben...”

“Maksud Sa? Sa cinta dia?”

“Ah, Sa ga paham apa itu cinta, Ben...”

Sa memang pernah mencintai seseorang, dalam sebuah marathon yang amat panjang. Tapi seringkali Sa merasa ragu, benarkah yang dulu itu cinta? Dan bukannya kebodohan bertabur sedih yang konyol dan penuh luka? Lantas bagaimana mungkin seseorang yang tidak paham tentang cinta, dapat mencintai...?

***

Jika ada makhluk paling aneh dan kontroversial di dunia ini, makhluk itu tentulah bernama: Cinta.

“Ah, barangkali memang cinta mesti dibaca noda, Ben...”

“Tapi cinta yang mana dulu, Sa...?! Jika cinta yang membawa kepada zina, jelas benar adanya. Lantas bagaimana dengan cinta yang lain? Yang tak berhenti menerbitkan cinta kepada Sang Maha Cinta...?!”

“Cinta yang cuma berdasarkan perasaan, hanya akan berakhir dengan kesedihan...” tiba-tiba saja Ci ikut bicara, yang seketika membuat Ben dan Sa memandang kepadanya dengan putus asa.

“Tahu apa kau tentang cinta, Ci...?!” bantah Ben berbarengan dengan ketidak setujuan Sa, yang langsung memahat cemberut hingga carut-marut di bibir Ci.

“Bahkan dalam pertemuan ta’aruf sekalipun, perasaanlah yang seringkali menjadi alasan terkuat untuk melanjutkannya... Lantas apakah kemudian mereka berakhir dengan kesedihan, Ci...?” ucap Sa dengan sedikit bergetar.

 “Atau cinta Maria kepada mahasiswa Mesir itu...” lanjut Ben sambil menyebut tokoh sentral Ayat-Ayat Cinta-nya Kang Abik.

“Tapi itu fiksi, Ben...” kelit Ci dengan cepat.

“Adakah yang mengkritisinya sebagai sebuah kesalahan, Ci...?” ucap Ben lagi masih dengan putus asa yang sama.

Kesunyian kembali singgah, dan memberi mereka masing-masing sepuisi tentang sepi.

Setelah agak lama, kembali Ci berkata, yang lebih terasa sebagai sebuah pertanyaan bagi dirinya sendiri.

“Barangkali caranya yang salah...”

Pertanyaan yang serta-merta menyeret benak untuk kembali bertanya, salahkah cara Mulan dan mahasiswa muda di kisah yang sebelumnya itu? Atau cara Sa dengan Yang? Atau...

Pertanyaan yang terus saja menyelusup ke setiap benak dan ruang hati terdalam, yang seketika melahirkan goresan kecil dalam posting ini, yang ternyata tak merubah suasana jiwa menjadi lebih kaya.

 

jika cinta adalah tuhan

dia pasti memiliki nabi

dan kita sebagai makhluk yang memujanya

tak akan pernah lagi gagap

dalam ritual kebodohan yang sedih...

 

Diam-diam Ben pandangi wajah Sa dan Ci yang kosong, sambil bersiap melanjutkan lagi tulisan ini dengan lebih berisi.

*************************************************************************

 

#5 Monolog Luka

Alangkah susahnya memaknai cinta! Alangkah pelik dan rumitnya...!

Ada yang bilang bahwa cinta adalah siksaan yang amat mengasyikan! Sebuah pernyataan provokatif yang jelas-jelas harus dicari landasan terbaiknya. Sebab cinta, walau kerap tidak membuat hidup menjadi lebih mudah, bagimanapun juga seringkali berhasil menjadikan hidup lebih bermakna.

“Cinta tak harus saling memiliki...” lagi-lagi Ci mengajukan pernyataan yang menyebalkan, terlepas dari benar atau tidaknya pernyataan tersebut.

“Inginkan Ci mempunyai cinta yang seperti itu?” tanya Ben.

“Inginkan Ci mencicipi cinta yang seperti itu?” tanya Sa.

“Lantas mengapa Sa tak memperjuangkan cinta yang Sa punya? Ataukah Sa ingin mengikuti jejak mahasiswa muda itu? Yang kemudian hanya berakhir sebagai sampah zaman?” lanjut Ci lagi, yang seketika membuat Sa dan Ben terdiam.

***

Benarkah Sa mencintai Yang? Barangkali hanya Tuhanlah yang benar-benar tahu jawabannya, sebab Sa hanya merasa nyaman bila berinteraksi dengan Yang. Hanya merasa betapa Sa amat peduli terhadap Yang. Hanya ingin –sekali lagi- menemani Yang meniti jalan menuju cahaya, hingga Yang tiba di tempat yang seharusnya, yang jauh lebih wah dari yang sekarang ini. Hanya merasa betapa Yang benar-benar sosok lembut yang bisa dipahami dan memahami Sa, tanpa Sa takut berbuat kesalahan yang tak disengaja, tanpa Sa khawatir mesti terpontang-panting menjadi Superman untuk Yang. Hanya merasa bahwa Yang adalah separuh jiwa Sa yang bertahun-tahun tersembunyi entah di mana. Hanya merasa bahwa dengan Yang tak perlu Sa bersusah-payah menjelma segala. Hanya merasa bahwa bersama Yang mampu membuat Sa kembali menjadi manusia. Hanya, hanya, dan ribuan hanya lainnya tentang Yang...

Tapi cintakah itu? Sebuah pertanyaan yang benar-benar amat merepotkan. Terutama saat Sa paham bahwa tak akan ada HAPPY ENDING dalam kisah ini.

Yap. Ini memang tak lebih dari perulangan sejarah, karena itu memang watak terkeras dari sejarah. Hanya barangkali setting lokasi, pelaku, serta status masing-masing yang sedikit berbeda. Dulu Mulan yang menemukan Sa, sekarang Sa yang mengajarkan Yang. Tapi setidaknya Sa jadi mengerti bagaimana perasaan Mulan dulu saat pertama kali menemukan Sa. Bahkan Sa yang sampahpun bisa disulap menjadi demikian hebat, apalagi Yang yang memang jelas-jelas sebuah permata, yang cuma butuh sedikit digosok untuk menjadi lebih kilap.

Tapi memang tak akan pernah ada situasi yang benar-benar sempurna!

***

“Jika endingnya telah Sa ketahui, kenapa Sa masih berkeras melakukan semuanya untuk Yang…?” kembali Ci mencuri start, walau kali ini dengan pertanyaan yang lebih hangat.

“Karena Sa nyaman bersama Iin,” jawab Sa masih dengan kata yang itu-itu juga.

“Benarkah cuma karena itu, Sa?” kembali Ci mengejar dengan pertanyaan.

“Mmmh... Karena Sa pernah merasa pada suatu titik Yang menyerupa embun yang menyejukan bagi jiwa Sa yang gosong dan koyak di sana-sini,” jawab Sa lagi, masih dengan warna kata yang sama.

“Lantas kenapa tak kau nikahi Yang saja langsung, Sa?” kali ini Ben yang bertanya.

Just you look at me, Ben... ” Sa menjawab, dan sorot mata itu kembali penuh luka.

“I’m jobless one... homeless... friendless, and... : lifeless! And in the other side of my life, i think that i’m not a human! I felt like a thing, Ben...! Just ‘it’...!!!”

“What’s the matter with you, Guy...? It’s all about what? About the money? Or... Barangkali Sa takut di anggap ‘numpang hidup’ kepada istri...?” tanya Ben lagi dengan polos dan tak sengaja, yang... benar saja, langsung membuat suasana menjadi lebih panas dari pilkada.

D*MN YOU, BEN...!!!” bentak Sa keras sambil mencengkeram kerah baju Ben dengan amat kuat, yang membuat Ben gelagapan dengan tubuh sedikit terangkat ke atas, serta pekik kecil yang keluar dari bibir Ci.

“WHEN I WAS YOUNG, I KNOW ANOTHER BAST*RD LIKE YOU...!!!” ucap Sa tajam dan amat pedas kepada Ben, setelah sebelumnya mendorong tubuh Ben hingga tersungkur ke belakang.

“Kau salah paham, Sa! Saaa...!!!”

Tapi Sa tetap berlalu, meninggalkan Ben dan Ci yang bungkam dan patung. Sementara di suatu tempat yang agak tertutup, seseorang mengawasi semua adegan itu dengan hati berkaca-kaca. Yang.

 

Apakah tulisan ini masih butuh untuk dilanjutkan? Keluh Ben pada dirinya sendiri, yang entah kenapa tiba-tiba saja merasa amat lelah. Sebuah lelah yang sangat.

 

*************************************************************************

 

(6) SAMPAH YANG DIPANGGIL AJO

“Kenapa semuanya harus berakhir seperti ini, Ben…? Kenapa Ben tidak bertanya saja tentang hal lain…?” tanya Ci, yang walaupun dengan intonasi amat lembut, namun tetap kental dengan aroma ‘ngatur; dan ‘nuntut’ itu.

Inilah barangkali penyebab mengapa suami-istri terlihat berwajah serupa. Sebab sunatullah dalam setiap interaksi menjadikan para pihak saling mempengaruhi, mewarnai atau terwarnai, bahkan hingga terjadi akulturasi serta singkretisme fisik juga psikis tanpa mereka sadari.

Dan dalam proses itulah Ben kembali terjebak. Seringkali tanpa disadari, Ben banyak menggunakan kata yang sama dengan Ci, baik diksi maupun warnanya. Atau seperti kejadian tadi saat secara spontan Ben ‘meminjam’ sifat polos Ci, hingga terjadilah kesalah pahaman dengan Sa tersebut.

Atau berapa banyak bagian diri Ben yang kemudian menjadi diri Ci, dan sebagainya-dan sebagainya yang semoga saja bukanlah menjadi sesuatu yang lebih buruk dari sebelumnya. Sebab memang dengan cara itulah kemudian segalanya tertransfer, yang lantas akan berkembang atau justru malah membusuk karena hanya disimpan sebagai pengalaman atau cuma kenangan.

Tapi bukannya menjawab pertanyaan Ci, Ben justru kembali menarik Ci, masih tanpa ba-bi-bu dan segala basa-basi yang itu-itu melulu. Dan agar tak memancing kontroversi kembali seperti di chapter yang ke-2, langsung saja mereka ber ‘Tuing...! Tuing...!’ berdua.

Zappp...!!!

Kembali setting berubah. Kali ini tampak kelompok kecil pepohonan karet terbelah jalan setapak berbahan dasar paving dan terakota.

“Ini UI, Ben...!” seru Ci tak dapat menyembunyikan girangnya.

“Ho-oh,” jawab Ben pendek. Sebab ini memang kampus kuning tersebut.

“Itu dia orangnya, Ci...!” seru Ben sembari menunjuk seorang remaja yang baru keluar dari musholla fakultas.

“Woiii...!” teriak Ben dengan gaya norak sambil melambaikan tangan dan kurang peduli lingkungan. Tapi Ben cuma melambaikan tangan kanannya, sebab jika tangan yang kiri ikut-ikutan juga, ben takut disangka cheerleader... :-D

“Ayo cepetan, Ci...! Aduuuwh... ribet banget sih, jalannya...!” ucap Ben tidak sabaran, yang membuat Ci geleng kepala sambil mati-matian tancap gas agar tak tertinggal jauh dari langkah Ben yang bongsor banget itu.

“Woi...! Once...! Pe kabar...?!” seru Ben semangat sambil merangkul pundak si gondrong itu.

“Salam dulu ngape, Ben... biar kayak orang bener dikit...” sambut si gondrong mengingatkan, sambil menjabat tangan Ben erat dan hangat.

“Kaif hall?” tanya Ben sedikit nyuekin Ci yang sudah berhasil menyusul.

“Cau an. How about you, Ben?”

“Me too...!”balas Ben sekalian ngiklanin sebuah merek tisu sambil tertawa-tawa. Dan setelah agak mereda, Ben kembali bertanya, “Abis dhuha, yah...?”

Agak lama baru pertanyaan itu terjawab. Itupun dengan ho-oh yang amat samar. Barangkali dia tak ingin terjebak ujub, pikir Ben, yang justru terbit watak jahilnya.

“Tiap hari dhuhanya? Kenapa? Biar gampang rejeki, yah? Atau agar terbayar kewajiban dzikir yang diminta oleh setiap sel tubuh...? :-D” cecar Ben dengan gaya yang sedikit bikin keki.

“Ah, enggak, Ben,” jawabnya. ”Cuma senang aja kalo pas kena air wudhu pagi-pagi tuh sejuk banget... dan biasanya abis dhuha, suka agak tenang nih hati. Yah... daripada nunggu kuliah sambil nongkrong di WC atau ngecengin si itu, misalnya... :-D ”

Tapi Ben tahu kalau jawaban itu cuma tawadhu doang.

“Watashiwa musirim (muslim), Ben-chan... :-D Eh, anatawa...”

“Hah! Koq chan, sih...? Dikiranya Ben bocah, apa...?” tukas Ben sebelum dia menyelesaikan kalimatnya.

“Iyah...! Iyah...! Ben-san... :-D ” jawabnya sambil tertawa.

Dan setelah puas tukeran tawa hingga belibet-libet ga karuan, dengan agak khawatir Ben kenalkan dia sama Ci, yang berdiri agak jauh di belakangnya. Bukan apa-apa, coz penampilan nih orang benar-benar mirip komunitas kiri banget! Nanti Ci salah paham lagi, berabe, kan...

Tapi kekhawatiran itu agaknya lebih tepat jika buat Ben, yang jatuh ngusruk dan terjengkang karena kaget sebab, lagi-lagi, mereka berteriak bareng: “Kau...!!!”

“Udah kenal sama Si Mahmoed ini yah, Ci?” tanya Ben sedikit sebal sebab berkali-kali di bikin kaget.

“Mahmoed? Di fb kaya’nya bukan itu namanya, Ben,,,?” bingung Ci.

“Maksud Ben, Mahmoed alias mahasiswa moeda... :-D ” jawab Ben asal, yang langsung mendapat cemberut kecil dari Ci.

“Panggil Ajo aja...” si gondrong menengahi.

“Orang awak, yah?” tanya Ci.

“Bukan Ci. Lokal sini aja, koq,” Ben yang menjawab.

“Oh… gitu, Ben…” kembali Ci menggunakan kalimat khas-nya. Tapi tiba-tiba saja Ci sedikit membungkuk gaya jepang kepada Ajo, dan berkata, “Moshi! Moshi!”

Sejenak Ben dan Ajo saling berpandangan, untuk kemudian terdengarlah tawa mereka bertiga. Moshi! Moshi! kan cuma untuk telpon-telponan doank biasanya... :-D

“Bonjoir medmosel (madamoiselle)...” ucap Ajo setengah bercanda kepada Ci, karena jelas-jelas Ci bukan emak-emak :-D

“Bonjoah...” jawab Ci setengah tersenyum.

“Ni hao, Ci...?”

“Alhamdulillah, bi khoir, anta ya Ajo?”

“Mituuu...!” tereak Ben sewot karena merasa tidak dilibatkan, yang kembali menebar virus tawa di antara mereka bertiga.

Tapi percakapan Ci dan Ajo selanjutnya membuat Ben bengong sendiri. Alangkah cepatnya Ci berubah? Padahal baru kemarin Ben saling mengingatkan agar lebih menjadikan track record sebagai rekam jejak keilmuan, dan bukannya sekedar catatan kehidupan. Tapi sekarang...?

Ah, cepat sekali Ci berubah. Sementara mereka terus saja bercakap-cakap, menyisakan Ben yang dah mirip banget sama sapi ompong.

“Aina taskun, Ci?”

“Jakarta...”

“Al’an?”

“Na’am,” Ci tertawa. Kan ga lagi ngomongin tentang dulu...

“Min Jakarta? Ma’a Ben?” Ajo sedikit menyelidik.

Ci kembali mengangguk.

“Woiii...! Saudare-saudare...! I’m really-really sorry, Neh...! But the show must go on! Swear! So... Can we talk about our business ?! Now...?!” serobot Ben dengan pura-pura galak.

“Okay, Ben, never mind,” ucap Ajo.

“No hay de que, Ben,” sambung Ci, kali ini berspanyol ria.

“Kita duduk di teko aja, yuk...” ajak Ajo, yang langsung membuat Ben dan Ci saling pandang dengan benak penuh tanda tanya. Dikiranya kita-kita sebangsa jin, apa...?

“Maksud Ajo di Teater Kolam,” jelas Ajo sambil membawa mereka ke teathernya anak sastra yang kini tinggal kenangan itu.

Ben      : Ooh... (sambil garuk-garuk kepala).

Ci        : Ooh... (sambil pegang-pegang hidungnya sendiri yang agak pesek :-D).

“Udah, buruan... nanti keburu panas,” lanjut Ajo lagi.

“Duduk di panci aja, gimana...?” canda Ben.

“Di penggorengan...” tawa Cici.

*************************************************************************

 

#7- Cinta yang Menyentak

“Ini yang namanya Ajo yah, Ben…” bisik Ci dengan wajah menunjukan rasa sangsi yang amat kentara. Koq gaya berpakaiannya agak mirip sama Sa, yah?

“Ho-oh, Ci... Ga meyakinkan, yah...?” balas Ben dengan berbisik pula.

Ben tatap lagi sosok gondrong itu dengan lebih seksama. Tubuh jangkis, rambut agak kemerahan di bawah pundak dengan dua buah kepang kecil di kiri-kanan bagian depan. Tangan bergelang tali prusik, kemeja agak ngepres body warna pinky dengan lengan digulung santai hingga bawah siku (cowok pake pinky... :-D ) serta sebuah jarum kecil yang menancap angkuh di bibir kiri bawah... Siapa yang berani menduga bahwa sosok aneh ini adalah seorang guru ngaji? Seorang pengajar? Atau seorang yang menghabiskan cukup banyak waktunya untuk kegiatan akhirat? Dari musholla ke musholla... Dari tarbiyah ke tarbiyah... Serta tak bosan-bosannya meloncat nekat merenggut satu gelap ke gelap lain lalu mengubahnya hingga menjadi terang yang senang. Meski untuk itu seringkali ia harus menjadi amat tertatih, begitu tersuruk, bahkan tak jarang pecah terbanting hingga tersisa cuma keping.

“Begitu ceritanya, Ajo...” ucap Ben mengakhiri kisah kesalah pahamannya dengan Sa. Sementara Ajo terlihat menarik napas panjang dan dalam.

“Ini semua gara-gara Ci, nih,” ucap Ben lagi sambil melerok ke arah Ci yang jadi bingung.

“Koq Ci yang salah, Ben…?”

“Iya... Kan Ben ketularan sifat lugu dan polosmu itu...”

Gitu, Ben…?”

“Ho-oh, Ci.”

“Tapi itu bukan salah Ci, Ben…”

Ben diam. Sebab Ci memang benar.

“Tak ada yang salah dalam bersikap polos, Ben... namun barangkali sudah saatnya bagi kita untuk lebih bijak dalam mensikapi semua,” ucap Ajo tenang. Adem.

“Ben hanya mencoba berpikir jernih, sebab dari kata-kata yang Sa ucapkan, Ben hanya menangkap bahwa masalahnya tak jauh dari uang,” ucap Ben coba membela diri.

“Kau melupakan satu hal penting, Ben,” ucap Ajo lagi.

“Apa itu, Ajo…?” kali ini Ci yang bertanya.

“Latar belakang sebab dan terjadinya semua. Apakah Ben tak mengenal Sa dengan baik?”

Ben diam lagi. Apakah Ben mengenal Sa dengan baik? Mengenal diri sendiri? Ah, betapa amat jarang orang lain mengenal kita dengan baik. Bahkan kita sendiripun seringkali tak bisa mengenal lagi diri sendiri. Alangkah beruntungnya, seseorang, jika memang benar-benar ada yang mengenalnya dengan amat baik...

“Pasca ‘insiden biru’, saya menulis sesuatu,” ucap Ajo sambil memberikan secarik kertas pada Ben dan Ci. Tapi goresan singkat di carik itu membuat Ben dan Ci kembali saling berpandangan. Deja vu.

 

jika cinta adalah tuhan

maka nabi kedua adalah ekonomi

adalah uang

karena cinta tak ingin cuma cinta

seperti Tuhan yang tak hendak hanya Tuhan

 

“Tahukah kalian apa yang terjadi selanjutnya?” tanya Ajo secara mendadak dan amat tak terduga.

“Setelah peristiwa itu, saya nyaris memiliki segalanya. Tapi saya tetap saja tak bisa mendapatkan cinta yang saya inginkan... Tahukah kalian apa artinya itu semua...?!” setengah emosi Ajo berbicara. Wajahnya sedikit memerah. Keras.

“Barangkali kalian perlu untuk lebih mengenal Sa dengan baik...” ucap Ajo lagi dengan suara yang sedikit bergetar.

“Dia cuma seorang pengecut!” kecam Ben tiba-tiba.

“Dia lebih mirip seorang pejuang, Ben... Seorang survivor.... A linger...” jawab Ajo. “Tidakkah Ben tahu bahwa dengan kemampuannya yang sekarang, uang bukanlah sesuatu yang amat keramat hingga tak terjangkau olehnya. Tapi dia tetap bertahan, untuk cuma mendapatkan dari yang halal, tak peduli meski dengan itu dia harus menjelma serangga yang amat tak berharga...”

“Lantas kenapa dia tak memperjuangkan cintanya…?! Tak coba untuk mempertahankan cintanya…?!” kecam Ben lagi.

“Ah, Ben... Barangkali memang tak semua bisa langsung dicerna jika hanya mengandalkan yang kasat mata saja... Apakah Ben pikir Ajo tak pernah memperjuangkan cinta Mulan? Tapi lihatlah hasilnya, Ben... Lihat yang terjadi pada Ajo...”

“Ini adalah sesuatu yang berbeda, Ajo...!”

“Sebutkan, Ben, dimana perbedaanya...”

“Caramu keliru...!”

“KELIRU KATAMU, BEN...?!!!” sentak Ajo sambil berdiri. Suaranya meminjam guntur. Keras juga riuh.

“Kekeliruan saya satu-satunya adalah tidak membuntingi Mulan…!!! Kekeliruan saya satu-satunya adalah tetap mati-matian menjadikan Islam sebagai pegangan…!!! Kekeliruan saya satu-satunya adalah menolak untuk tidak setia serta, terus bertahan dengan hanya satu cinta hingga amat tersendat dalam melanjutkan hidup…!!! Dan, kekeliruan saya satu-satunya, Ben... adalah... teramat mencintainya...! Hingga tak bisa melakukan semua yang buruk yang dapat membuatnya terluka, meski jika dengan itu bisa membuat kami tetap bersama...” setetes bening menitik di wajah keras itu. Wajah yang sebelumnya tak pernah kalah sekalipun melawan kerasnya dunia.

“Itulah hukuman bagi orang-orang yang berzina...!” masih saja Ben mengecam.

“Ah, berzina katamu, Ben...” ucap Ajo lagi sambil menatap jauh ke arah langit. “Tahukah kau berapa banyak zina yang telah saya tolak mentah-mentah? Atau berapa ajakan yang saya abaikan? Tawaran yang tak saya indahkan? Tahukah kau berapa harga zina sekarang, Ben...? Dan tahukah Ben, berapa yang perlu saya keluarkan untuk melakukan zina? Tak sepeserpun…! Walau hingga kini tak mengerti kenapa, namun secara aneh saya memang terus bisa membuat wanita melakukan apapun yang saya inginkan: Dengan kerelaan yang sangat. Bahkan tak jarang tanpa perlu saya memintanya...”

“Tapi saya tak pernah melakukan semuanya, Ben...! Tak pernah…! Bahkan jika saya mau, saya dapat membuat Mulan merelakannya untuk saya: Sejak dia masih belia…!!!”

“Tapi saya benar-benar tak melakukannya, Ben... Karena saya mencintai Mulan, dan bukan sekedar ingin bersetubuh dengannya, dan bukan sekedar ingin berzina dengannya... SALAHKAH CINTA SAYA YANG SEPERTI ITU, BEN...?!!!”

“Tapi kau tak menjalankan syari’at –Nya secara utuh...!” ucap Ben kali ini seraya menyitir “Wa laa taqrabuz zina...” serta ”Udhulu fis silmi kaaffatan...”

“Ah, siapa pula diantara kita yang benar-benar bukan orang fasik, Ben...?” ucap Ajo sambil menyebutkan nama Si Anu dari DPRa C***fiiifff...***k yang tetap saja ngotot memakan riba, atau berapa banyak pemuka agama yang justru berdiri paling depan saat memakan yang bukan hak. Juga dari komunitas lain yang sama hijaunya yang justru betah menjadi penyabung ayam, atau mengiyakan suap berjamaah dan ‘penipuan’ rumah gratis dalam partai yang dulu pernah menjadi paling bersih, atau Si Dia yang berpenampilan hijau total namun tak mampu (atau tak mau) melakukan gawdhul bashar, tanpa perlu lagi direcoki segala macam kambing hitam ghazwul fikri sebagai penyebab, dan lainnya yang meskipun selalu kita lindungi dengan alasan ‘itu kan cuma oknum’, namun tetap bertambah banyak waktu ke waktu.

Atau fasik yang lebih kecil lagi seperti betapa seringnya kita menunda shalat tepat waktu dengan alasan jam kantor, kuliah, sekolah, tanggung ini-itu atau jutaan alasan lainnya yang kita sulap menjadi amat udzur dan syar’i... Atau betapa sering kita menahan diri hingga hanya benar-benar sekedar melakukan zakat yang paling mininal, atau puasa yang murni cuma wajib doang, atau mematikan hati terhadap sesama sambil terus berkeras mengharap bau surga...?

“Siapa diantara kita yang benar-benar bukan orang fasik, Ben...?” tanya Ajo lagi dengan suara perlahan yang justru terasa amat menampar.

“Ajo… yang sabar, yah… Istighfar…” tahu-tahu suara lembut Ci terdengar, menyadarkan Ajo bahwa bukan hanya Ben yang ada di situ.

Dengan wajah amat jengah karena malu Ajo berkata, “Maafkan Ajo, Ci... Ajo terbawa emosi hingga banyak ucapan tak pantas yang sempat Ci dengar...”

Seperti biasa, Ci menjawab tanpa jawaban, hanya tersenyum tipis dan agak samar.

“Ajo tak pernah ingin apa-apa, Ci... Ada yang bilang bahwa cinta yang hanya berdasarkan perasaan, hanya akan berakhir dengan kesedihan. Benarkah, Ci...?”

“Barangkali Ajo memang sering menyesali ketidak bersamaannya... Namun Ajo TIDAK PERNAH BERSEDIH dengan cinta dan perasaan YANG PERNAH TERJADI pada kami berdua...”

“Ajo tak pernah ingin apa-apa, Ci…” ucap Ajo lagi dengan suara yang kian perlahan.

“Pertanyaanmu terlalu tajam, Ben…” bisik Ci dengan suara yang serupa dengung nyamuk.

“Ben cuma ingin memancingnya saja, Ci,” jawab Ben juga dengan dengung nyamuk yang sama.

Memang tak salah ucapan para cendekia bijak itu bahwa keberuntungan, adalah ketika kesempatan, bertemu dengan kesiapan. Seperti pinokio gondrong yang ada di hadapan Ben yang sekarang ini, misalnya.

Ben kenal dia sejak masih menjadi sampah. Dan setelah dia memiliki kesempatan bertemu Mulan, dia terus ‘dilatih’ untuk selalu memiliki kesiapan, hingga berhasil menjadi orang yang selalu siap saat kesempatan datang, yang seketika menjadikannya sebagai figur yang ‘terlihat’ selalu beruntung. Menjadi seseorang yang benar-benar selalu mampu untuk mendapatkan apapun yang dia inginkan: Sesukar dan semustahil apapun itu!

Jelas semua itu tak dia peroleh dengan mudah dan sederhana, Ben tahu itu dengan amat jelas, walau jelas-jelas tak semua orang mengetahuinya dengan jelas. Seringkali dia butuh waktu yang amat lama, atau usaha yang ‘tak sekedar begitu saja’ dalam setiap proses pencapaiannya.

Seperti ketika dengan menggunakan ketekunan begawan dia godok begitu banyak hal yang harus -atau ingin- dia lakukan, untuk minimal enam bulan ke depan semasa kuliah dulu, yang lantas dengan memetik cerdik para cantrik serta mampu para empu, dia lakukan semuanya satu demi satu, dengan tetap mati-matian mempertahankan gaya keseharian agar tetap terlihat sebagai sosok yang biasa. Sebab dia tahu bahwa tak ada tempat sedikitpun untuk si hebat dalam komunitasnya. Sebab yang kemudian menjadi utama adalah menjadi hebat tanpa perlu terlihat hebat, dengan terus melakukan begitu banyak kehebatan bersama orang-orang hebat terdekat.

Atau ketika dengan sakit yang sangat dan menyengat sekujur tubuh, mencoba bangkit dan berusaha sekuat daya untuk menjadi manusia lagi saat sekolah dulu, tanpa peduli segala stempel buruk yang telah terlanjur mengecap imej-nya, yang setelahnya tentu saja amat mengagetkan semua yang pernah mengenalnya karena pada titik-titik tertentu berhasil meraih yang bahkan tak mampu diraih oleh kalangannya, yang seketika memberinya julukan yang paling mendekati logika umum, sebagai orang yang ‘cuma’ selalu beruntung.

Lantas berubahkah penampilan si jangkis ini? Anehnya: Tidak! Tetap low profile. Tetap friendly, familier serta selalu menjadi Ajo yang dulu pernah mereka kenal. Sebab untuk menjadi lebih, sebab untuk melakukan lebih, benar-benar tak dibutuhkan segala macam sikap dan kata yang berlebih-lebihan. Talkless do more? Kenapa pula baru ramai dan mencuat sekarang...!

Tapi baru hari ini Ben tahu bahwa Ajo, benar-benar sosok yang sangat tidak beruntung: Jika itu tentang Mulan!

Selalu dia memiliki kesempatan bersamanya, namun tak pernah dia sambut dengan kesiapan untuk menjadikannya terus bersama.

Takdir yang tidak berjodohkah? Apa pentingnya takdir menjadi kambing hitam…!!!

Ben berani bertaruh bahwa dia tetap mampu untuk membuat Mulan terus berada di sampingnya, seperti yang selama ini selalu dia lakukan terhadap begitu banyak keinginannya. Tak peduli apakah Mulan saat ini masih sendiri, menjadi janda atau justru tengah menikah dengan jodohnya entah siapa. Juga tak peduli apapun situasi, kondisi dan atau keadaan dia dan Mulan saat ini.

Dan Ben juga berani bertaruh bahwa dia mampu untuk menjadi dia yang dulu, seperti yang selalu menjadi imej-nya selama ini sebagai ‘seseorang yang selalu melaksanakan semua kata-kata yang diucapkan’. Walau jika untuk itu dia harus menghabiskan begitu banyak waktu dan begitu banyak cara demi menjadikannya nyata.

Tapi dia tak melakukannya. Bukan karena tak ingin, melainkan karena, ah...

Masih teramat segar dalam ingatan Ben kalimat terakhir yang ditulisnya dulu, sesaat sebelum mahasiswa muda itu menghilang dari dunia Ben.

“Saya tak yakin bahwa itulah yang Mulan ingin saya lakukan, Ben... dan saya hanya melakukan: Yang cuma Mulan inginkan. Dan bukan yang lainnya...”

 

saya ingin Mulan. tapi saya lebih ingin yang Mulan inginkan

saya tidak pernah menginginkan Mulan, melainkan cuma ingin yang Mulan inginkan

saya ingin yang Mulan inginkan

ingin Mulan, ingin keinginan Mulan

Mulan. Ingin

 

“Saya tak pernah ingin apa-apa, Ben... Ci...” ucap Ajo masih dengan suara yang amat perlahan, yang terus menjadi perlahan dan semakin sayup bersamaan dengan sosoknya yang bertambah samar sebelum akhirnya menghilang. Tapi ada senyum di sana. Di wajah kerasnya. Di wajah anehnya. Di wajah... yang terlihat masih saja menggenggam bahagia.

“Ajo udah pergi, Ben…” ucap Ci menyadarkan Ben dari hening yang lugu.

“Ajo memang cuma milik masa lalunya, Ci…” ucap Ben penuh rahasia dan mendalam.

Hening datang lagi. Sunyi lagi. Sepi lagi.

Sebait tulisan luruh perlahan dari langit ke tujuh, dan menari bersama ribuan sunyi yang menggelembung di diri Ben, atau pada jejak yang terpancar dari sorot mata lembut milik Ci. Sebait tulisan, yang sekali lagi membuat Ben dan Ci saling berpandangan. Dalam diam yang amat deja vu.

 

dan

jika cinta adalah tuhan, maka

kitalah sang sufi tersebut

yang melulu: coba mencari cinta, mencari Tuhan

dalam cinta yang ber-Tuhan...

 

Setelah hening yang ribuan kali, kembali suara lembut Ci memecahnya hingga burai walau damai. Tenang. Hangat. Nyaman.

“Tentang apa semua ini sebenarnya, Ben…?” tanya Ci dengan batin yang mulai lelah.

“Sesuai dengan tema pertamanya, Ci...” jawab Ben masih dengan senyum khasnya. “Tidakkah Ci tangkap pesan dari Sa...? Dari Ajo...? Tentang perbedaan paling sakral antara pamrih dengan ikhlas...? Yang tak mesti dipisahkan makna antara dunia dan akhirat, atau antara sekuler dan agamis, karena memang keduanya tak pernah terkotak-kotak dalam dunia yang penuh warna pelangi ini...”

Ci menggeleng pelan. Bingung. Mungkin juga sedih atau justru haru. Walau bisa jadi sekedar hela nafas panjang yang agak berat dan tersendat.

“Barangkali kita masih butuh untuk bertemu seseorang lagi, Ci,” saran Ben, yang menjadi amat terkejut karena melihat titik-titik jelaga mulai hinggap di wajah Ci.

“Dan barangkali ini adalah orang terakhir yang akan kita temui,” ucap Ben lagi masih dengan kekhawatiran yang besar dan menggumpal. Ah, adakah yang terlewat...? Adakah yang keliru...?

Tuing...! Tuing...! ZAPPP!!!

Setting  kembali berubah. Kali ini sebuah kantor ‘pelat merah’ di bilangan Setiabudi, jam makan siang.

“Lho…? Inikan tempat kerja ak… Ben! Ben! Pindah, Ben! Buruannn…!!!”

“Hah? Memang kenap...”

“Buruan, Bennn...!!!”

“Iyah...! Iyah...!”

Sangat tergopoh-gopoh Ben kembali ber ‘Tuing! Tuing!’, benar-benar serupa kodok yang terus berlompatan dari satu settingan ke settingan yang lainnya.

“Ah, wanita memang benar-benar makhluk yang paling aneh...” gumam Ben bingung sambil melompat lagi ke tulisan yang baru akan dibuatnya.

*************************************************************************

SEKULUM SENYUM FOR VIEWERS :-D

Percik kata beragam nada yang sempat terciprat dan menyemarakkan posting ‘’DASB jilid 1 & 2 melalui komentar-komentar yang telah diberikan, menghasut penulis untuk terus memberanikan diri meracik jalin kata-kata hingga menjelma rangkaian kisah yang bergenre: Entah... Sebab walaupun ada karakter yang memiliki sosok serta figur yang lebih dari empat, namun jelas tulisan ini tak termasuk dalam literatur filsafat atau studi tentang pengidap kepribadian yang pecah.

Semoga episode-episode yang insya allah akan kembali penulis posting dan bagi, tetap dapat menjadi INTERLUDE yang tidak hanya berakhir dengan begitu saja, dengan komentar-komentar yang semoga terus penulis peroleh sebagai salah satu bentuk ‘pembelajaran ulang’ dari kearifan warna buah pengalaman berbeda yang dimiliki oleh masing-masing pembaca... ^_*

 

"Love in Dumay" in Motion (‘Dunia Aneh Si Ben’ Jilid 2)

  1. Pernikahan yang Aneh.
  2. Cinta Sekuler yang Paling Agamis.
  3. Sebuah Cinta Bernama: Sa.
  4. Seonggok Tanya tentang Cinta.
  5. Monolog Luka.
  6. Sampah yang Dipanggil Ajo.
  7. Cinta yang Menyentak.
  8. Sosok Embun Bernama Iin.
  9. Early Morning Dew.
  10. Perkelahian dengan Diri Sendiri.
  11. Jelaga yang Kian Menyapa Jiwa.
  12. Dalam Kesalah Pahaman.
  13. Cinta yang Selalu Dibaca Noda.
  14. Lelaki dan Air Mata.
  15. Cara Mencintai yang Paling Aneh.
  16. Harapan, Khayalan atau Kenyataan.
  17. Naluri Alami yang Tak Terhindari.
  18. Dongeng Tentang Seorang Pecundang.
  19. Makhluk Aneh yang Paling Bodoh.
  20. Sebuah Pesan dari Masa Lalu.
  21. Paradoks Paling Aneh tentang Cinta.
  22. Pelajaran Lain tentang Cinta.
  23. Belajar Kencing Berdiri dari Para Guru.
  24. Ending Posting yang Blink-Blink.
  25. Persinggahan yang Penghabisan.
  26. Debat Rumit dan Berbelit tentang Cinta.
  27. ...

HALAMAN :
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun