Setelah hening yang ribuan kali, kembali suara lembut Ci memecahnya hingga burai walau damai. Tenang. Hangat. Nyaman.
“Tentang apa semua ini sebenarnya, Ben…?” tanya Ci dengan batin yang mulai lelah.
“Sesuai dengan tema pertamanya, Ci...” jawab Ben masih dengan senyum khasnya. “Tidakkah Ci tangkap pesan dari Sa...? Dari Ajo...? Tentang perbedaan paling sakral antara pamrih dengan ikhlas...? Yang tak mesti dipisahkan makna antara dunia dan akhirat, atau antara sekuler dan agamis, karena memang keduanya tak pernah terkotak-kotak dalam dunia yang penuh warna pelangi ini...”
Ci menggeleng pelan. Bingung. Mungkin juga sedih atau justru haru. Walau bisa jadi sekedar hela nafas panjang yang agak berat dan tersendat.
“Barangkali kita masih butuh untuk bertemu seseorang lagi, Ci,” saran Ben, yang menjadi amat terkejut karena melihat titik-titik jelaga mulai hinggap di wajah Ci.
“Dan barangkali ini adalah orang terakhir yang akan kita temui,” ucap Ben lagi masih dengan kekhawatiran yang besar dan menggumpal. Ah, adakah yang terlewat...? Adakah yang keliru...?
Tuing...! Tuing...! ZAPPP!!!
Setting kembali berubah. Kali ini sebuah kantor ‘pelat merah’ di bilangan Setiabudi, jam makan siang.
“Lho…? Inikan tempat kerja ak… Ben! Ben! Pindah, Ben! Buruannn…!!!”
“Hah? Memang kenap...”