“Tapi cinta yang mana dulu, Sa...?! Jika cinta yang membawa kepada zina, jelas benar adanya. Lantas bagaimana dengan cinta yang lain? Yang tak berhenti menerbitkan cinta kepada Sang Maha Cinta...?!”
“Cinta yang cuma berdasarkan perasaan, hanya akan berakhir dengan kesedihan...” tiba-tiba saja Ci ikut bicara, yang seketika membuat Ben dan Sa memandang kepadanya dengan putus asa.
“Tahu apa kau tentang cinta, Ci...?!” bantah Ben berbarengan dengan ketidak setujuan Sa, yang langsung memahat cemberut hingga carut-marut di bibir Ci.
“Bahkan dalam pertemuan ta’aruf sekalipun, perasaanlah yang seringkali menjadi alasan terkuat untuk melanjutkannya... Lantas apakah kemudian mereka berakhir dengan kesedihan, Ci...?” ucap Sa dengan sedikit bergetar.
“Atau cinta Maria kepada mahasiswa Mesir itu...” lanjut Ben sambil menyebut tokoh sentral Ayat-Ayat Cinta-nya Kang Abik.
“Tapi itu fiksi, Ben...” kelit Ci dengan cepat.
“Adakah yang mengkritisinya sebagai sebuah kesalahan, Ci...?” ucap Ben lagi masih dengan putus asa yang sama.
Kesunyian kembali singgah, dan memberi mereka masing-masing sepuisi tentang sepi.
Setelah agak lama, kembali Ci berkata, yang lebih terasa sebagai sebuah pertanyaan bagi dirinya sendiri.
“Barangkali caranya yang salah...”
Pertanyaan yang serta-merta menyeret benak untuk kembali bertanya, salahkah cara Mulan dan mahasiswa muda di kisah yang sebelumnya itu? Atau cara Sa dengan Yang? Atau...