Waktu sejenak berhenti dalam duka. Isakmu tak lagi satu-satu. Ada tetes-tetes perak yang deras mengalir dari dari telaga jernihmu. Ah, ingin kumenghapusnya. Tapi dapatkah? Sementara yang tersisa di tubuhku hanya desah nafas yang pucat.
“Kau… kau telah menjadi korban obsesiku. Kaulah dosaku di masa lalu yang tak pernah dapat kuhapus…” suaramu kembali memecahkan waktu. Membuat kesunyian tak lagi raja.
“Aku harusnya tak memaksamu untuk menjadi dewasa… Aku harusnya tak memaksamu untuk menjadi mahasiswa… Aku… Harusnya kubebaskan kau… untuk menjadi dirimu sendiri. Tapi haruskah kusalahkan cintaku juga, keinginanku, agar kau… menjelma pangeranku yang tangguh?”
Ah, simponi itu lagi.
“Aku telah berubah kini…” ucapmu seakan menjawab semua tanya jiwa. “Aku tahu bahwa kenyataan ini terlalu berat untukmu, terutama setelah semua pengorbanan darimu yang begitu besar. Maafkan aku yang telah membuatmu bimbang, hingga kau tak kenal lagi siapa dirimu. Tapi, kumohon… Biarkan aku pergi dan berkembang seperti apa yang kumau…”