Adzan dzuhur baru saja usai ketika aku tiba di Arofah, setelah menempuh perjalanan selama dua jam. Keraguan masih saja rapat. Masih saja erat menyelimutiku.
Perlahan kubuka gerbang dan salam terucap pelan dari sela bibirku yang kelu. Satu kali, dua kali, baru pada kali yang ketiga salamku terjawab. Dan daun pintu yang terkuak serta merta melahirkan dirimu.
Sesaat lamanya waktu tak beranjak. Diam. Sunyi. Sebuah kediaman yang mengusir paksa segala ragu yang kupunya.
Alangkah mustahilnya aku bisa menyakiti wajah polos itu, wajah yang semua ucapannya selalu menemaniku dalam menapaki kerasnya hidup, wajah yang selalu menjadi landasan utamaku dalam menyelaraskan setiap langkah. Juga betapa tak masuk akal, melukai hati yang juga hatiku. Milik tubuh mungil yang setiap keinginannya adalah anugerah dan kehormatan bagiku untuk mewujudkannya. Dan sungguh, aku tak akan pernah bisa bertega hati, pun sekedar memberi beban pikiran –sekecil apapun- pada gadis yang telah lama menjelma langit bagiku, menjelma mimpi. Pada gadis yang selalu menjelma bidadari mungil dalam setiap relung khayalku. Pada gadis ini, yang senyum di bibirnya adalah matahari buatku, yang setiap tetes yang mengalir dalam tangisnya adalah butiran-butiran meteor yang menerjang tubuhku hingga lantak tak berdaya. Alangkah mustahilnya…
“Selamat ulang tahun,” bisikku pelan, menyembunyikan ketenangan dan kegelisahan sekaligus. “Semoga panjang umur. Maaf aku tak pernah memberimu hadiah yang berarti. Juga hari ini. Tak ada puisi, tak ada bunga padi ataupun karya seni bernilai tinggi.”