“Pernahkah aku memaksamu?”
“T- tidak… Engkau tetap yang terbaik bagiku. Hanya saja terlalu banyak yang telah kita perbuat. Dan semua tak bisa hilang begitu saja dari ingatanku. Every move that we made…! Every move! Every move…! Aku tak pernah benar-benar bisa melupakannya… Aku bahkan masih sering menginginkannya lagi, merasakannya, merindukannya, semuanya… semuanya… Dan itu bukan sesuatu yang mudah bagiku…”
“Tapi… adakah yang terlewat?” Ah, kata-kata itu lagi yang keluar dari lidah bodohku.
“Aku yang salah. Aku yang telah membuatmu seperti ini. Aku… bahkan aku masih menjadikanmu obsesiku sendiri. Maafkan aku…”
“Ah…, tak seperti itu kejadiannya…! Bukankah sudah terlalu sering kubuihkan kepadamu, bahwa semua yang kulakukan… hanya untukmu! Hanya untuk senyummu yang tak lagi boleh punya batas…!” suaraku bergetar, penuh dengan nilai rasa yang mendalam.
“Benar bahwa semua tak mudah. Bahwa semua… tak pernah kita dapatkan dengan murah. Selalu darah dan airmata yang kita kemas sebagai penukar. Tapi aku tak pernah merasa terbebani. Justru aku merasa bahagia, karena hanya itulah yang terbaik yang pernah kulakukan, untukmu… untuk kita!”