“Tak ada setitikpun cela, jika itu tentang perlakuanmu yang terlampau istimewa. Selalu… kau tawarkan hati tatkala gamangku menapaki hidup, menjadi begitu menekan. Selalu kau tawarkan angkuh wibawamu… kepada semua yang coba memaksaku untuk tak berdaya. Selalu dan selalu hanya yang terbaik yang kau beri… untukku. Walau dengan semua keterpurukan yang terjadi ketika kau, dengan segala keterbatasan yang ada, mengusahakan semua agar menjadi nyata. Walau dengan waktu dan cara yang tak biasa…” suaramu semakin samar terdengar, berbaur dengan isak tangis dan air mata.
“Jika boleh memilih, tak ingin aku menggantikanmu… dengan apapun. Tak pernah ingin kuberpaling, jika itu tentang cinta. Tentang nilai rasa yang tak pernah berhenti mengalir… milikmu, untukku… Tapi kini semua tak lagi berarti. Walau kita selalu menggoreskan pelangi, pada setiap detik yang kita lalui. Walau kita selalu merangkai cahaya, dalam setiap kebersamaan kita. Tetap, aku tak mampu untuk memalingkan hati…pada cahaya itu. Cahaya dari sumber cahaya. Aku… aku… Ini semua harus kita akhiri…”
Aku tertegun. Kaget. Bingung. Angin kota Bogor mendadak jadi lebih dingin di teras Arofah, tempat kostmu.
Tapi lidahku tetap saja kelu.
***