Mohon tunggu...
Ahmad Maulana S
Ahmad Maulana S Mohon Tunggu... Founding partner di Lembaga Pendidikan dan Sosial Kemasyarakatan -

Founding partner di Lembaga Pendidikan dan Sosial Kemasyarakatan // Penikmat kutak-katik kata yang gemar mengembara dari satu bait ke larik yang lainnya // Cuma seseorang yang ingin menjadi tua tanpa rasa bosan, setelah sebelumnya beranak-pinak seperti marmut atau cecurut // Salam hangat persahabatan...^_

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Dia Bilang, Dia Sedang Mencari Tuhan

25 Juni 2015   19:18 Diperbarui: 25 Juni 2015   22:36 762
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Malam belum terlalu tua ketika dua tahun kemudian kubaca lagi surat darimu. Tak ada perubahan yang berarti. Hanya saja kebanggaan yang dulu pernah kurasakan ketika mengamini keinginanmu untuk pergi, mulai surut. Berganti dengan rasa nyeri yang semakin besar hari ke hari. Yang aku tahu, semua tak lagi sama. Semua, tak lagi kemarin.

 

Kenangan itu tiba-tiba hadir lagi tanpa mampu kucegah. Kenangan akan saat-saat terakhir ketika kami -atau tepatnya ketika aku- diseret masuk ke dalam lingkaran-lingkaran kata yang sangat memeras bathin. Saat itu senja baru saja meninggalkan kota Bogor.

 

“Segala puji yang tak terhingga hanya kepada –Nya… Dengan rahmat –Nya Ia kirimkan kau untukku. Dengan rahmat –Nya pula Ia jadikan segala kebersamaan kita selama ini, begitu indah…” ucapanmu terdengar lembut, satu hal yang selalu menjadi ciri khasmu.

 

“Tak ada setitikpun duka yang pernah kau beri tatkala aku, dengan segala kekanakan yang ada, memeras emosimu dengan berbagai tuntutan. Selalu, hanya senyum yang kau beri lalu hari-hari yang kita lalui dengan sejuta ketulusan darimu, mengajarkan banyak hal kepadaku… Tentang kehidupan, tentang cara memaknai hidup…”

 

Aku tersenyum. Haru. Kehangatan menyergap ruang di hatiku, tak tertampung. Andai waktu bisa kuhentikan, agar aku dapat terus berada dalam zona kebahagiaan ini.

 

“Tak terasa… tiga tahun telah berlalu. Tak ada waktu yang begitu indah bagiku, selain saat ini…” kamu terdiam sejenak.

 

“Tak ada setitikpun cela, jika itu tentang perlakuanmu yang terlampau istimewa. Selalu… kau tawarkan hati tatkala gamangku menapaki hidup, menjadi begitu menekan. Selalu kau tawarkan angkuh wibawamu… kepada semua yang coba memaksaku untuk tak berdaya. Selalu dan selalu hanya yang terbaik yang kau beri… untukku. Walau dengan semua keterpurukan yang terjadi ketika kau, dengan segala keterbatasan yang ada, mengusahakan semua agar menjadi nyata. Walau dengan waktu dan cara yang tak biasa…” suaramu semakin samar terdengar, berbaur dengan isak tangis dan air mata.

 

“Jika boleh memilih, tak ingin aku menggantikanmu… dengan apapun. Tak pernah ingin kuberpaling, jika itu tentang cinta. Tentang nilai rasa yang tak pernah berhenti mengalir… milikmu, untukku… Tapi kini semua tak lagi berarti. Walau kita selalu menggoreskan pelangi, pada setiap detik yang kita lalui. Walau kita selalu merangkai cahaya, dalam setiap kebersamaan kita. Tetap, aku tak mampu untuk memalingkan hati…pada cahaya itu. Cahaya dari sumber cahaya. Aku… aku… Ini semua harus kita akhiri…”

 

Aku tertegun. Kaget. Bingung. Angin kota Bogor mendadak jadi lebih dingin di teras Arofah, tempat kostmu.

 

Tapi lidahku tetap saja kelu.

 

***

 

Minggu yang angkuh. Pagi ini kami bertemu –pada sebuah Mall di Jakarta- setelah satu musim lamanya.

 

“Bagaimana kabarnya Bogor?” aku memulai percakapan. Kaku. Kerikuhan yang tebal menyelimuti. Sementara kau menatapku. Dalam, seperti mencoba mencari makna yang terpeta.

 

“Maafkan aku karena memintamu datang,” ucapku lagi. “Tapi ini bukan sekedar iseng. Pertemuan ini, amat berarti buatku…”

 

Lalu semuanya mengalir. Penuh. Kutampilkan segala keakuanku, apa adanya. Kutuangkan segala resah yang menggelembung. Segala duka. Segala rasa. Kucurahkan segala yang terjadi, segala pencarianku. Tak tersisa. Andai waktu punya jiwa, tentu ia sudah rebah karena sejuta cerca yang tertumpah, karena sejuta duka yang tak kunjung usai tercerna.

 

Kamu terdiam. Serius mendengarkan. Tapi cahaya di matamu begitu dingin. Bahkan penuh kabut. Ah, adakah yang terlewat?

 

“Kamu cuma mengada-ada,” ucapmu datar. Tajam. “Kamu lepas kendali… Mengapa alam, mengapa keadaan… menjadi seakan-akan begitu ‘Tuhan’ bagimu?”

 

“Kamu cuma mengada-ada,” ucapmu lagi. “Paling juga kalau kita ‘tidur’ lagi, semua jadi beres kembali.“

 

Aku terkejut. Sesuatu yang panas dan mendidih merayapi dadaku secara tiba-tiba.

“Tak sepantasnya kau berkata seperti itu...!!!” ucapku dengan kalimat yang sarat dengan uap kemarahan.

 

“Tapi itu adalah kenyataan!” ucapmu tegas.

 

“Kenyataan bagi pikiranmu yang terlalu naïf…!” desisku nyeri.

 

***

 

Senin yang basah. Di kamarku kau terisak.

 

“Maafkan aku… aku tak dapat berbuat lebih baik. Aku… aku… entahlah. Satu sisi aku terus digeluti rasa bersalah. Tapi di sisi yang lain… aku tak tahu…” kalimatmu terputus. Ada simponi kesedihan yang terangkai dari hidungmu. Satu-satu, seperti mencoba mengeja duka.

 

“Aku tahu semua memang salahku. Aku yang telah membuatmu begini. Aku yang masih men…”

 

“Tapi tak harus seperti ini kejadiannya…!” tukasku sedikit emosi.

 

“Kau tak pernah memberiku pilihan. Begitu juga cintamu.”

 

“Pernahkah aku memaksamu?”

 

“T- tidak… Engkau tetap yang terbaik bagiku. Hanya saja terlalu banyak yang telah kita perbuat. Dan semua tak bisa hilang begitu saja dari ingatanku. Every move that we made…! Every move! Every move…! Aku tak pernah benar-benar bisa melupakannya… Aku bahkan masih sering menginginkannya lagi, merasakannya, merindukannya, semuanya… semuanya… Dan itu bukan sesuatu yang mudah bagiku…”

 

“Tapi… adakah yang terlewat?” Ah, kata-kata itu lagi yang keluar dari lidah bodohku.

 

“Aku yang salah. Aku yang telah membuatmu seperti ini. Aku… bahkan aku masih menjadikanmu obsesiku sendiri. Maafkan aku…”

 

“Ah…, tak seperti itu kejadiannya…! Bukankah sudah terlalu sering kubuihkan kepadamu, bahwa semua yang kulakukan… hanya untukmu! Hanya untuk senyummu yang tak lagi boleh punya batas…!” suaraku bergetar, penuh dengan nilai rasa yang mendalam.

 

“Benar bahwa semua tak mudah. Bahwa semua… tak pernah kita dapatkan dengan murah. Selalu darah dan airmata yang kita kemas sebagai penukar. Tapi aku tak pernah merasa terbebani. Justru aku merasa bahagia, karena hanya itulah yang terbaik yang pernah kulakukan, untukmu… untuk kita!”

 

Waktu sejenak berhenti dalam duka. Isakmu tak lagi satu-satu. Ada tetes-tetes perak yang deras mengalir dari dari telaga jernihmu. Ah, ingin kumenghapusnya. Tapi dapatkah? Sementara yang tersisa di tubuhku hanya desah nafas yang pucat.

 

“Kau… kau telah menjadi korban obsesiku. Kaulah dosaku di masa lalu yang tak pernah dapat kuhapus…” suaramu kembali memecahkan waktu. Membuat kesunyian tak lagi raja.

 

“Aku harusnya tak memaksamu untuk menjadi dewasa… Aku harusnya tak memaksamu untuk menjadi mahasiswa… Aku… Harusnya kubebaskan kau… untuk menjadi dirimu sendiri. Tapi haruskah kusalahkan cintaku juga, keinginanku, agar kau… menjelma pangeranku yang tangguh?”

 

Ah, simponi itu lagi.

 

“Aku telah berubah kini…” ucapmu seakan menjawab semua tanya jiwa. “Aku tahu bahwa kenyataan ini terlalu berat untukmu, terutama setelah semua pengorbanan darimu yang begitu besar. Maafkan aku yang telah membuatmu bimbang, hingga kau tak kenal lagi siapa dirimu. Tapi, kumohon… Biarkan aku pergi dan berkembang seperti apa yang kumau…”

 

Malam semakin larut. Tapi siang tak pernah lagi hadir dalam membranku ketika kau, membisikiku setangkai sunyi.

 

“Kau punya jalanmu sendiri kini. Hilangkan semua obsesiku padamu dan usah lagi kau jadikan aku bayang dan anganmu. Aku ikhlas… Semua telah menjadi milikmu kini, dirimu, masa depanmu, juga sikap dan keputusanmu. Sekali lagi aku memohon, tolong bebaskan aku… Juga jangan pernah biarkan diriku menjadi mimpi burukmu. Kumohon…”

 

Malam ini aku merangkai kelam. Rembulan kupatri hingga abu.

 

***

 

Hitam. Gelap. Kabut pekat bayang-bayang.

 

“Matanya pasti seperti matamu, berkelopak berat dan agak turun. Juga alisnya yang tebal dan menyatu.”

 

“Ya, dan garis wajahnya akan seperti dirimu. Keras. Rahang yang kokoh walau tirus, juga hidung yang menjulang angkuh.”

 

“Tapi kulitnya pasti sepertimu, agak gelap.”

 

“Jangan…! Lebih bagus jika putih sepertimu. Juga rambut yang tegak dan tak beraturan, seperti rambutmu…”

 

“Ah, kenapa tidak ikal seperti milikmu?”

 

“Emmh… bolehlah. Tapi ia harus tinggi, seperti dirimu…”

 

Lalu kami tertawa bersama, bahagia. Membayangkan betapa molek buah hati kami nanti. Betapa tampan dan atau cantiknya sosok mungil itu kelak, sosok perpaduan cinta kami.

 

Dan kau berkata, menutup semua pembicaraan indah kita, “Dan aku, sangat berhasrat untuk melahirkan anak-anakmu… dari rahimku sendiri. Anak-anak kita! Anak-anak dengan sorot mata yang teduh pembalut ketajaman hati, seperti milikmu…” lalu kau tersenyum panjang. Bahagia.

 

Refleks tanganku merengkuhmu, membaluri sekujur tubuhmu dengan jutaan kehangatan. Kubenamkan kepalamu ke dalam dadaku. Kuusap dan kukecup lembut, mesra. Lalu kami sama-sama terdiam, hanyut dalam keindahan.

 

Tapi semua tiba-tiba berubah. Tiba-tiba saja kau menangis. (Apakah wanita memang hanya terbuat dari air mata?) Dan kata-katamu selanjutnya membuatku terpana. Diam, dalam bingung dan ketidak pastian. Lalu semua kembali menghitam. Gelap. Kabut yang semakin pekat.

 

***

 

Dengan apa lagi harus kunyatakan cinta?

 

Adzan dzuhur baru saja usai ketika aku tiba di Arofah, setelah menempuh perjalanan selama dua jam. Keraguan masih saja rapat. Masih saja erat menyelimutiku.

 

Perlahan kubuka gerbang dan salam terucap pelan dari sela bibirku yang kelu. Satu kali, dua kali, baru pada kali yang ketiga salamku terjawab. Dan daun pintu yang terkuak serta merta melahirkan dirimu.

 

Sesaat lamanya waktu tak beranjak. Diam. Sunyi. Sebuah kediaman yang mengusir paksa segala ragu yang kupunya.

 

Alangkah mustahilnya aku bisa menyakiti wajah polos itu, wajah yang semua ucapannya selalu menemaniku dalam menapaki kerasnya hidup, wajah yang selalu menjadi landasan utamaku dalam menyelaraskan setiap langkah. Juga betapa tak masuk akal, melukai hati yang juga hatiku. Milik tubuh mungil yang setiap keinginannya adalah anugerah dan kehormatan bagiku untuk mewujudkannya. Dan sungguh, aku tak akan pernah bisa bertega hati, pun sekedar memberi beban pikiran –sekecil apapun- pada gadis yang telah lama menjelma langit bagiku, menjelma mimpi. Pada gadis yang selalu menjelma bidadari mungil dalam setiap relung khayalku. Pada gadis ini, yang senyum di bibirnya adalah matahari buatku, yang setiap tetes yang mengalir dalam tangisnya adalah butiran-butiran meteor yang menerjang tubuhku hingga lantak tak berdaya. Alangkah mustahilnya…

 

“Selamat ulang tahun,” bisikku pelan, menyembunyikan ketenangan dan kegelisahan sekaligus. “Semoga panjang umur. Maaf aku tak pernah memberimu hadiah yang berarti. Juga hari ini. Tak ada puisi, tak ada bunga padi ataupun karya seni bernilai tinggi.”

 

“Hari ini,” lanjutku. “Dua puluh satu tahun setelah 14 Agustus pertamamu, kucoba memberikan kebebasan untukmu. Kebebasan yang kau inginkan. Yang secara tak sengaja telah terampas olehku, oleh rasa sayangku. Aku… aku…” tiba-tiba saja aku menjadi gagap, tak mampu melanjutkan kata-kata. Pandanganku terasa memburam. Dan entah mengapa, mendadak saja aku merasa begitu lelah. Sebuah kelelahan yang sangat.

 

Kesunyian kembali merayap. Pelan. Panjang. Kosong.

 

“Te-terima kasih… atas hadiahmu yang teramat istimewa ini…” ucapmu memecahkan kesunyian. Tapi, lagi-lagi kau menangis. (Mengapa wanita begitu mudah menangis?) Tanpa suara. Hanya isak dan air mata.

 

Tetapi aku hanya diam. Tak bergerak. Hanya diam dan membisu, juga menunggu.

 

Setelah agak reda, masih dalam tangis kau berkata. Suaramu putus-putus.

 

“Aku tahu… berat bagimu memutuskan semua. Tetapi ini adalah hadiah terindah yang pernah kuterima. Walau aku tahu, untuk itu… kau… mendebu. Aku juga… Jika ingin jujur, aku juga tak suka dengan keadaan ini. Aku juga hancur… Tetapi semua terpaksa harus dilakukan… untuk kebaikan kita. Jalan gelap ini harus kita akhiri, karena bagaimanapun indahnya, ini… tetap sebuah kesalahan…” kamu terdiam lagi. Tenggelam dalam isak dan air mata. Sementara aku sudah sejak tadi tanpa ruh.

 

“Terima kasih atas hadiah istimewa ini. Sekali lagi kau buktikan bahwa kau… adalah sosok terbaik yang pernah kukenal, yang pernah kumiliki…”

 

Ketika aku sadar, kutemukan diriku di dalam kereta Jabodetabek yang penuh manusia. Kuseka peluh yang mengalir, beristighfar dan mengatur nafasku yang memburu. Aku berharap semua cuma mimpi, yang tak pernah benar-benar terjadi. Ternyata benar, aku hanya bermimpi. Mimpi buruk di siang hari bulan April hari ke-14, dalam sebuah kereta menuju rumah.

 

Tetapi kemudian aku kecewa ketika sadar bahwa mimpi yang baru saja kualami tadi, adalah sebuah kenyataan yang pernah terjadi, dua tahun yang lalu.

 

Aku mendesah lirih, nyeri.

 

Dia bilang, dia sedang mencari Tuhan.

 

Dan aku adalah seorang sufi, batinku sedih.

 

Thorn Village, 9.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun