Golongan Abangan, atau Islam Kejawen, merupakan kelompok yang mengidentifikasi diri sebagai Muslim, tetapi tidak begitu berkomitmen dalam menjalankan ajaran Islam secara formal. Mereka memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
a. Praktik Agama yang Longgar: Meskipun mengaku sebagai penganut Islam, mereka seringkali tidak melaksanakan ibadah wajib seperti salat Jumat dan puasa, atau melakukannya dengan sangat minimal.
b. Keberagaman dalam Golongan Abangan: Golongan ini terbagi menjadi dua sub-golongan, yaitu:
- Golongan Wong Cilik: Merupakan kelompok masyarakat biasa yang mungkin terpengaruh oleh ajaran Islam namun lebih terikat pada tradisi dan budaya lokal.
- Golongan Priyayi: Kelompok bangsawan atau elit yang mungkin beragama Islam tetapi tetap mempertahankan kepercayaan dan praktik-praktik lokal yang lebih dekat dengan warisan budaya mereka.
3. Dinamika Antara Golongan
Perbedaan antara Golongan Putihan dan Golongan Abangan menciptakan dinamika sosial yang unik di masyarakat Jawa. Sementara Golongan Putihan berusaha untuk menegakkan praktik Islam yang lebih ketat dan sesuai dengan ajaran, Golongan Abangan menunjukkan bahwa kepercayaan dan praktik keagamaan tidak selalu terikat pada struktur formal. Ini mencerminkan kompleksitas identitas religius di Jawa, di mana tradisi lokal berinteraksi dengan ajaran agama baru.
Kehadiran dua golongan ini menunjukkan bahwa proses islamisasi di Jawa tidak hanya melibatkan penerimaan ajaran Islam, tetapi juga proses akulturasi dengan kepercayaan yang sudah ada sebelumnya. Golongan Putihan dan Golongan Abangan menggambarkan bagaimana masyarakat Jawa beradaptasi dengan kehadiran Islam, menjaga sebagian dari identitas budaya mereka sambil juga mengintegrasikan unsur-unsur baru dari agama Islam. Proses ini menciptakan keragaman dalam praktik keagamaan di Jawa, yang tetap relevan hingga saat ini.
Setelah masuknya Islam ke dalam masyarakat Jawa, terjadi proses adaptasi yang kompleks antara ajaran baru dan kepercayaan lama yang telah ada sebelumnya. Proses ini menciptakan suatu bentuk sinkretisme, di mana unsur-unsur dari berbagai tradisi keagamaan bercampur dan saling mempengaruhi. Berikut adalah penjelasan mengenai dinamika ini:
1. Penerimaan Islam dan Keberlanjutan Kepercayaan Lama
Masyarakat Jawa yang menerima ajaran Islam tidak langsung melenyapkan kepercayaan-kepercayaan pra-Islam yang telah ada, seperti Animisme-Dinamisme dan Hindu-Buddha. Mereka menafsirkan dan memahami ajaran Islam, termasuk Al-Quran, dengan cara yang sangat fleksibel, atau yang disebut sebagai “eclectic.” Ini berarti mereka:
- Mengadaptasi Ajaran: Mereka dapat mengambil elemen-elemen dari Islam dan memadukannya dengan kepercayaan lama, menciptakan suatu sistem keyakinan yang inklusif.
- Menjaga Tradisi: Meskipun telah mengucapkan syahadat dan menganggap diri sebagai Muslim, kepercayaan kepada dewa-dewa seperti Bethara Guru, Bethara Wisnu, dan Dewi Sri masih tetap hidup dan kuat dalam praktik keagamaan mereka.
2. Sinkretisme dalam Praktik Keagamaan
Sinkretisme ini terlihat jelas dalam praktik-praktik keagamaan masyarakat Jawa, di mana berbagai unsur dari ajaran yang berbeda digabungkan menjadi satu kesatuan. Misalnya:
- Upacara Selamatan: Sebelum kedatangan Islam, upacara selamatan diadakan untuk menghormati roh dan kekuatan alam sesuai dengan kepercayaan Animisme-Dinamisme. Namun, setelah menerima Islam, upacara ini diubah dan diperkaya dengan unsur-unsur Islam, seperti pembacaan doa dan pengucapan syahadat.
- Penggabungan Ritual: Upacara selamatan kini menjadi sarana untuk merayakan momen-momen penting dalam hidup, seperti kelahiran, pernikahan, dan kematian, dengan memadukan unsur tradisi lokal dan ajaran Islam.
- Komunitas dan Solidaritas: Kegiatan selamatan sering kali juga berfungsi sebagai ajang untuk memperkuat ikatan sosial dalam komunitas.