Dengan semakin banyaknya bangsawan yang memeluk Islam, daerah-daerah pelabuhan di pantai utara Jawa, seperti Jepara, Tuban, Gresik, dan Surabaya, mulai memperlihatkan peningkatan kekuatan Islam yang signifikan. Pengaruh saudagar Muslim di pelabuhan-pelabuhan ini tidak hanya terbatas pada aspek ekonomi, tetapi juga mengubah pola-pola sosial dan budaya setempat. Masyarakat yang bergantung pada perdagangan akan lebih mudah menerima ajaran Islam ketika melihat bahwa para pemimpin lokal mereka telah beralih agama.
4. Pengaruh Pedagang Terhadap Masyarakat Umum
Ketika para bangsawan masuk Islam, mereka menjadi panutan bagi masyarakat. Banyak rakyat yang mengikuti jejak bangsawan mereka dengan memeluk Islam. Pengaruh para pedagang Muslim dalam menggerakkan ekonomi di pelabuhan-pelabuhan ini juga memberikan dampak sosial yang kuat, di mana banyak orang merasa terdorong untuk beradaptasi dengan norma dan nilai-nilai Islam yang diperkenalkan oleh para pedagang.
5. Kondisi Majapahit yang Melemah
Saat Majapahit mulai melemah, para bangsawan merasa tidak memiliki pilihan lain selain beralih ke Islam untuk mempertahankan posisi mereka dalam struktur sosial dan politik yang baru. Masuknya mereka ke dalam agama baru ini tidak hanya berfungsi sebagai langkah praktis untuk kelangsungan hidup politik, tetapi juga sebagai cara untuk menjaga pengaruh dan status mereka di tengah perubahan zaman.
Proses masuknya Islam di Jawa tidak hanya terjadi secara individual tetapi juga dipengaruhi oleh dinamika sosial, ekonomi, dan politik yang kompleks. Dengan pernikahan antar-bangsawan dan saudagar Muslim serta perubahan kondisi sosial akibat melemahnya Majapahit, banyak orang, terutama di daerah pesisir, yang memeluk Islam. Pengaruh para saudagar dalam ekonomi dan kehidupan sehari-hari menjadikan Islam semakin diterima di masyarakat Jawa, memperkuat posisi agama ini di tanah Jawa dan mengubah struktur sosial secara menyeluruh.
Perkembangan Islam di Jawa pasca masuknya ajaran ini ke dalam masyarakat yang sebelumnya sudah dipengaruhi oleh Animisme-Dinamisme dan Hindu-Buddha menghasilkan pembentukan dua golongan kepercayaan yang cukup signifikan: Golongan Putihan dan Golongan Abangan. Berikut adalah penjelasan mengenai kedua golongan ini:
1. Golongan Putihan (Kelompok Santri)
Golongan Putihan, yang sering disebut sebagai kelompok santri, terdiri dari individu-individu yang secara taat mengikuti ajaran Islam. Mereka mengedepankan praktik-praktik ibadah yang esensial dalam Islam, seperti:
- Salat Lima Waktu: Mereka melaksanakan salat secara rutin dan menganggapnya sebagai kewajiban yang tidak boleh ditinggalkan.
- Puasa di Bulan Ramadan: Ketaatan dalam menjalankan puasa selama bulan Ramadan adalah bagian penting dari identitas mereka sebagai Muslim.
Karakteristik dan tantangan, meskipun mereka mengidentifikasi diri sebagai Muslim yang taat, golongan ini tidak sepenuhnya dapat menghilangkan pengaruh kepercayaan pra-Islam yang ada. Beberapa karakteristik yang membedakan mereka adalah:
- Pengaruh Kepercayaan Lama: Kepercayaan kepada roh dan kekuatan alam yang berasal dari tradisi Animisme-Dinamisme dan Hindu-Buddha masih tetap ada dalam praktik mereka.
- Pendekatan Toleran dari Para Wali: Para wali yang memperkenalkan Islam di Jawa umumnya memiliki pendekatan yang lebih lunak, mengakomodasi beberapa unsur budaya dan kepercayaan lama. Mereka adalah orang-orang yang berpengalaman dalam tasawwuf dan memahami bahwa periode transisi ini memerlukan adaptasi.
2. Golongan Abangan (Islam Kejawen)