Arga mengangguk perlahan, tapi senyumnya tetap samar. "Tapi aku nggak yakin apa yang harus kita lakukan dengan perasaan ini. Kita punya banyak hal yang perlu diselesaikan, dan... aku nggak ingin membuat segalanya lebih rumit."
Alya merasa lega sekaligus bingung. Perasaan mereka ternyata sama, namun tidak ada kepastian apa yang harus mereka lakukan selanjutnya. Mereka berada di ambang sesuatu yang lebih besar, namun juga menghadapi ketidakpastian yang besar.
Dan untuk saat ini, Alya hanya bisa menunggu, berharap bahwa apa pun yang akan terjadi, mereka berdua bisa menghadapinya bersama.
Bab 5: Antara Harapan dan Ketakutan
Sejak percakapan itu, hubungan Alya dan Arga terasa berubah, tapi perubahan itu terasa halus—hampir tak terucap. Mereka masih bekerja bersama di proyek mereka, tetapi ada semacam keheningan berbeda di antara mereka. Bukan lagi keheningan canggung seperti sebelumnya, melainkan sebuah jeda di mana keduanya seolah mencoba mencari tahu langkah apa yang harus diambil selanjutnya.
Pagi itu, Alya duduk di depan laptopnya di perpustakaan kampus, menunggu Arga datang seperti biasa. Ia masih bisa merasakan detak jantungnya lebih cepat setiap kali mengingat pembicaraan mereka beberapa hari yang lalu. Perasaan itu kini tidak lagi bisa dia abaikan, tapi di saat yang sama, ia juga tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Haruskah ia menunggu Arga untuk mengambil langkah pertama? Atau apakah ia harus berani maju dan jujur tentang perasaannya?
Saat Arga datang dan duduk di hadapannya, Alya berusaha menjaga sikap santainya. Mereka bertukar sapa singkat sebelum mulai kembali fokus pada tugas yang harus diselesaikan. Namun, kali ini, Alya merasa perasaannya semakin sulit disembunyikan. Setiap kali Arga menatapnya, ada detak yang tak terkontrol di hatinya, dan setiap kali mereka berbicara, Alya merasakan dirinya terlalu sadar akan setiap kata yang keluar.
Di tengah-tengah kesibukan itu, Alya merasa kesulitan untuk berkonsentrasi. Pikirannya terus kembali pada percakapan mereka sebelumnya, pada perasaan yang tak terucapkan. Dan ketika akhirnya ia memutuskan untuk berbicara, kata-katanya keluar lebih cepat dari yang ia rencanakan.
"Arga," panggilnya, membuat Arga mengangkat pandangannya dari laptop.
"Iya?" Arga menjawab, suaranya tenang seperti biasa.
Alya merasa tenggorokannya mengering seketika. Namun, kali ini ia tahu ia tidak bisa mengabaikan perasaannya lagi. "Tentang... pembicaraan kita kemarin. Kamu bilang kamu juga merasakan sesuatu yang berubah, tapi aku ingin tahu—apa kamu... apa kamu pikir kita harus melakukan sesuatu soal itu?"