Arga melihat jam tangannya dan mengangguk. "Baiklah. Kita bisa lanjut setelah makan siang."
Saat mereka berjalan keluar dari kafe, suasana masih terasa canggung. Alya menggigit bibirnya, mencoba menghilangkan rasa frustrasi yang mengganggunya sejak awal pertemuan.
"Kenapa kamu selalu serius banget, sih, Ga?" tanya Alya tiba-tiba, menghentikan langkah mereka. Arga menatapnya dengan alis sedikit terangkat, tampak terkejut dengan pertanyaan itu. "Maksudku, kamu selalu kayak… nggak peduli sama hal-hal kecil. Kayak, nggak ada yang bisa bikin kamu marah atau kesal."
Arga tersenyum tipis, senyum yang jarang Alya lihat. "Mungkin karena aku nggak mau buang waktu buat hal-hal nggak penting."
"Itu menurut kamu, Ga. Tapi nggak semua hal kecil nggak penting," balas Alya dengan nada lebih lembut.
Arga diam sejenak, seolah memikirkan sesuatu. "Mungkin kamu benar. Tapi aku selalu berpikir, kalau terlalu mikirin hal-hal kecil, kita malah bakal kehilangan gambaran besarnya."
Alya mengangguk pelan, mencoba memahami cara pikir Arga. "Tapi kadang, hal-hal kecil itu justru yang bikin semuanya lebih bermakna."
Perkataan Alya membuat Arga terdiam lebih lama kali ini. Mereka melanjutkan berjalan dalam diam, tapi suasana antara mereka sedikit berubah. Mungkin ini baru langkah awal, tapi ada sesuatu yang terasa berbeda di antara mereka.
Bab 3: Batas Antara Persahabatan dan Perasaan
Keesokan harinya, Alya sudah bersiap lebih awal dari biasanya. Meski sedikit gugup, ia merasa hari ini mungkin akan lebih baik. Pertemuan terakhir mereka, meski diwarnai argumen, setidaknya membuat mereka mulai memahami cara berpikir masing-masing, walau sedikit. Ia bertekad untuk bekerja lebih baik dengan Arga kali ini—meski masih ada sesuatu yang mengganggu hatinya.
Sesampainya di kampus, ia menemukan Arga sudah berada di ruang kelas dengan laptopnya, seperti biasa. Ia tampak serius melihat catatan riset yang mereka kumpulkan, wajahnya tenang seperti selalu. Alya melangkah masuk dengan hati-hati, berharap kali ini mereka bisa bekerja sama tanpa banyak gesekan.