"Arjuna, dunia politik memang penuh dengan godaan seperti ini. Tapi kau harus ingat, integritas adalah sesuatu yang tak bisa dibeli. Jika kau terjebak dalam lingkaran suap ini, kau mungkin akan mendapatkan keuntungan jangka pendek, tetapi pada akhirnya kau akan kehilangan segalanya, termasuk dirimu sendiri."
Kata-kata Dimas mengingatkan Arjuna pada prinsip-prinsip yang dulu dia pegang teguh. "Kau benar, Dimas. Aku harus memikirkan ini dengan matang."
Setelah pertemuan itu, Arjuna merasa sedikit lebih ringan. Dia tahu apa yang harus dilakukan. Esok paginya, dia kembali ke gedung DPR dengan tekad yang bulat.
Saat pertemuan berikutnya dengan Pak Bram tiba, Arjuna sudah siap. Mereka bertemu di sebuah ruang rapat kecil, jauh dari pandangan orang lain.
"Pak Bram, saya sudah mempertimbangkan tawaran Anda dengan serius," kata Arjuna membuka percakapan.
Bram tersenyum lebar. "Bagus. Jadi, apa keputusanmu?"
Arjuna menatap langsung ke mata Bram. "Maaf, Pak Bram. Saya tidak bisa menerima tawaran Anda. Integritas saya adalah sesuatu yang tidak bisa saya kompromikan."
Senyum Bram perlahan memudar. "Arjuna, kau tahu risiko menolak tawaran ini, kan?"
"Aku tahu, Pak. Tapi aku juga tahu risiko menerima tawaran ini jauh lebih besar," jawab Arjuna dengan tegas.
Bram menatap Arjuna dengan tajam, lalu berdiri. "Baiklah, kalau itu keputusanmu. Tapi ingat, dunia politik itu keras. Tidak semua orang akan sebaik ini padamu."
Arjuna mengangguk. "Saya siap menghadapi konsekuensinya, Pak."