Di ruang kerjanya, Maya sudah siap dengan setumpuk dokumen dan secangkir kopi. "Selamat pagi, Pak. Ini agenda kita untuk hari ini," katanya dengan senyum semangat yang biasa.
"Terima kasih, Maya," jawab Arjuna, berusaha terdengar biasa. Namun, Maya dengan cepat menangkap kegelisahan di wajahnya.
"Pak, Anda kelihatan tidak seperti biasanya. Apa ada yang bisa saya bantu?" tanyanya.
Arjuna terdiam sejenak sebelum memutuskan untuk berbicara. "Maya, aku butuh pendapatmu. Ada tawaran dari Pak Bram yang bisa menguntungkan secara finansial, tetapi ada risiko besar jika terungkap."
Maya menatap Arjuna dengan serius. "Pak, saya tahu ini bukan urusan saya, tapi saya selalu percaya pada integritas Anda. Apapun keputusannya, pastikan itu sesuai dengan nilai-nilai yang Anda pegang."
Kata-kata Maya memberikan kekuatan kepada Arjuna. Dia tahu, keputusan ini akan mempengaruhi bukan hanya kariernya, tetapi juga kepercayaannya pada diri sendiri. "Terima kasih, Maya. Pendapatmu sangat berarti."
Hari itu berjalan dengan lambat. Pertemuan dan rapat-rapat berlalu tanpa banyak kejadian penting. Namun, pikiran Arjuna terus berputar-putar pada dilema yang dihadapinya. Di satu sisi, ada peluang besar untuk memperkaya diri dan memperluas pengaruhnya. Di sisi lain, ada risiko kehilangan segalanya, termasuk harga dirinya.
Malam harinya, Arjuna memutuskan untuk bertemu dengan seorang teman lama yang kini bekerja sebagai jurnalis investigasi, Dimas. Mereka bertemu di sebuah kafe yang tenang di sudut kota.
"Dimas, aku butuh pandanganmu tentang sesuatu," kata Arjuna setelah mereka duduk.
Dimas mengangkat alisnya. "Tentu, apa yang terjadi?"
Arjuna menjelaskan situasinya dengan detail, mulai dari tawaran Pak Bram hingga pesan-pesan peringatan yang diterimanya. Dimas mendengarkan dengan seksama, lalu mengambil nafas panjang.