Percakapan mereka mengalir lancar, mulai dari isu-isu hukum hingga rencana kebijakan yang akan diajukan. Namun, di akhir pertemuan, Bram tiba-tiba mengalihkan topik pembicaraan.
"Arjuna, saya punya sebuah proyek yang bisa menguntungkan banyak pihak, termasuk Anda. Tapi, tentu saja, semua ada timbal baliknya," kata Bram sambil menatap Arjuna tajam.
Arjuna merasa jantungnya berdetak lebih cepat. Ia tahu, inilah momen yang sering dibicarakan dalam bisik-bisik di koridor DPR---tawaran tak resmi yang bisa mengubah hidupnya selamanya. Ia berpura-pura tenang, namun pikiran tentang pesan misterius yang diterimanya tadi pagi kembali menghantui.
"Bapak bisa menjelaskan lebih lanjut proyek tersebut?" tanya Arjuna, berusaha terdengar netral.
Bram tersenyum tipis. "Tentu saja, tapi ini bukan tempat yang tepat. Bagaimana kalau kita bicarakan lebih lanjut di tempat yang lebih privat?"
Pertemuan itu berakhir dengan janji untuk bertemu kembali. Saat Arjuna meninggalkan ruang rapat, perasaan ragu dan curiga semakin menguat. Ia tahu, langkah berikutnya akan menentukan masa depannya---apakah ia akan tetap bersih, atau terjerat dalam tirai gelap yang menyelimuti koridor kekuasaan di DPR RI.
Di luar, hujan semakin deras, seolah-olah langit Jakarta sedang memperingatkannya tentang badai yang akan datang.
Chapter 2: Bayangan di Balik Janji
Malam tiba dengan cepat, menyelimuti Jakarta dengan kegelapan yang pekat. Di apartemennya yang berada di pusat kota, Arjuna duduk di ruang tamu, memandangi layar ponselnya yang berulang kali memunculkan pesan singkat dari nomor yang tak dikenal. Pesan-pesan tersebut berisi peringatan-peringatan samar yang semakin membuatnya resah.
Ketukan di pintu memecah kesunyian. Arjuna bangkit dan membuka pintu, menemukan Maya berdiri dengan wajah serius.
"Pak Arjuna, ini dokumen-dokumen yang perlu Anda pelajari sebelum rapat besok pagi," kata Maya sambil menyerahkan sebuah map tebal.