/1/
Di dalam kedhaton yang
berlantai marmar hijau zamrud,
berdinding pualam putih susu,
bertaburkan aroma kasturi,
Senapati digelisahkan mimpinya semalam
tentang matahari yang terbit dari langit Mangir
: cahayanya lebih menikam dari matahari Mataram,
pijarnya mampu memadamkan jutaan bebintang.
Â
Dari kedhaton, Senapati
melangkah gelisah ke tamansari.
Tak berkenan setangkai mawar Semangkin.
Tak berkehendak seikat melati Waskitajawi.
Tak terhibur rangkaian melati Nyai Adisara.
Tak goyah sepikat rayuan Retna Dumilah.
Karena hanya satu yang membuatnya tak segelisah ikan-ikan,
bila kedua tangannya sanggup melumat bayang-bayang
matahari di dasar kolam: Wanabaya, darah yang
dialirkan dari hulu Majapahit
Â
/2/
Di balairung Kasultanan Mataram
Senapati laksana dewa Brahma di hadapan Juru Mrentani,
punggawa, saudara, permaisuri, selir, dayang-dayang, dan putera.
Kepada mereka, Senapati mendedah timbunan isi hati
: "Aku tak akan bisa makan enak,
bila matahari di langit Mangir kian membumbung.
Aku tak akan bisa tidur nyenak, bila
kekuasaan Wanabaya menjadi hantu dalam mimpiku.
Aku akan selalu gelisah tatkala berkaca, bila
Wanabaya masih menjadi bayangan hitam di cermin."
Â
"Lantas apa kehendak Ananda Senapati?"
tanya Juru Mrentani sembari melemparkan
sekilas pandang pada Senapati yang wajahnya
serupa piringan tembaga terbakar.
Â
"Perintahkan seluruh senapati perang dan prajurit!
Serbu Mangir dengan seganas banjir bandang!" titah Senapati.
"Tenggelamkan Mangir dengan genangan darah!
Timbunlah Mangir dengan tumpukkan mayat-mayat! Binasakan Wanabaya!
Cicit Brawijaya yang ingin menjadikan dirinya matahari."
Â
"Ampun, Ananda Senapati."
Juru Mrentani menghaturkan setangkup sembah.
"Hendaklah tujuan Ananda untuk menyerbu Mangir diurungkan!
Bagaikan Siwa, Wanabaya tengah dipagari ribuan dewa.
Dengan Baruklinting, Wanabaya laksana karang gajah yang
tak retak oleh gempuran badai dan gelombang samudera."
Â
"Sabda pandhita ratu, tan bisa wola-wali!"
tegas Senapati tanpa basa-basi. "Panah yang
dilesatkan pantang ditarik kembali ke busurnya.
Tabu seorang raja menjilat ludahnya sendiri.
Tekad telah bulat. Menyerbu Mangir pilihan terakhir."
Â
Suasana di balairung senyap.
Tak ada sepatah kata terucap.
Seluruh yang hadir bak patung-patung.
Seluruh senapati perang bak sekawanan robot
: mesin-mesin yang bakal mematuhi perintah user-nya.
Â
Senapati turun dari singgasana.
Balairung kian sesenyap makam tua.
Sekian lama tak terjamah kaki peziarah.
Â
/3/
Di pintu gerbang pendapa dalem Mangiran,
terpajang patung garnit lembu andhini
: kendaraan Siwa, dewa dari segala dewa.
Di sebelah kiri dan kanan pintu dalem,
berhiaskan lingga dan yoni
: perlambang netron kehidupan yang
bercahaya sesudah proton dan elektron
menikah di pelaminan
Â
Pada batu berbentuk kubus
Ki Ageng Mangir Wanabaya bersinggasana,
dihadap Ki Ageng Paker dan seluruh kerabat.
Mereka berbincang perihal siapa yang
selayaknya menjadi matahari di bumi Mentaok.
Belum tuntas pembicaraan, telik sandi
menghadap. Melaporkan bahwa pasukan Mataram
berbaris rapat menuju Mangir.
Bergemuruh seperti lahar Merapi yang
tengah longsor ke kakinya.
Â
Wanabaya bangkit dari singgasana.
Memerintahkan pada seluruh kerabat dan pasukan.
Menghadapi orang-orang Mataram.
Menyongsong krida Senapati.
Â
/4/
Tanpa tiupan terompet kerang, pasukan Mangir
bergegas menyongsong amuk orang-orang Mataram.
Mereka seperti banteng-banteng terluka yang
menghadapi sepasukan harimau lapar.
Dalam sekejap, mayat-mayat prajurit rucah
dari kedua kubu berkaparan di tanah beraroma amis.
Darah menyembur dari dada dan lambung yang bocor,
kepala-kepala yang terlepas dari raga,
serupa kelapa-kelapa berjauhan dari pohonnya.
Â
Duduk di punggung gajah, Wanabaya
memegang erat-erat batang tombak Baruklinting.
Menerjang barisan pasukan Mataram,
bagai Dewa Yama, sang pencabut nyawa.
Â
Mengetahui prajuritnya menjadi tumbal perang,
Senapati melecut kuda Kyai Bratayuda,
menyongsong Wanabaya dengan keris ligan. Namun
tatkala menyaksikan pucuk Baruklinting yang
menyilaukan cahaya kematian, Senapati
meredup nyalinya sebagai wijayakusuma
yang gugur di medan laga.
Â
Bersama pasukannya yang masih tersisa,
Senapati meninggalkan palagan.
Pulang ke Mataram bukan sebagai senapati atau ksatria,
melainkan sebagai pecundang kematian.
Â
/5/
Serupa langit bersampulkan awan,
wajah Senapati membiaskan kemurungan hatinya,
Sesudah gagal membakar matahari dengan api Brahma.
"Wanabaya terlalu sakti untuk ditundukkan dengan okol,"
suara batin Senapati sembari mencari jalan keluar,
"Bagaimana menundukkan Wanabaya dengan akal.
Senjata yang kesaktiannya melampaui senjata pada dewa?"
Hampir di ujung keputusasaannya, Juru Mrentani
datang menghadap Senapati dengan membawa nasihat baik,
"Hendaklah Ananda Senapati bersedia mendengar pendapatku.
Menundukkan Mangir bukan dengan keris ligan,
Namun dengan jaring emas. Jaring yang
dapat memerangkap ikan tanpa memperkeruh airnya."
Â
"Apa yang dimaksudkan Paman Juru dengan jaring emas?"
tanya Senapati dengan nada berat.
"Aku kurang paham dengan bahasa lambang."
Â
"Ketahuilah, Ananda Senapati! Meskipun sakti mandraguna,
Wanabaya adalah manusia lumrah yang memiliki kelemahan juga.
Wanabaya selalu meluangkan waktu untuk menyaksikan tayub, ngibing,
dan menyisipkan saweran di balik kemben seorang ledhek.
Terpikat bila menyaksikan ledhek berparas Ratih. Karenanya,
Ananda Senapati...." Â Juru Mrentani menghirup semilir angin
untuk melonggarkan rongga dadanya. "Tak ada cara
untuk dapat menundukkan Mangir, selain menjadikan Pembayun,
sebagai ledhek pemikat hati. Hanya dengan cara itu, Ananda Senapati
akan dapat memerangkap Wanabaya tanpa ada keributan."
Â
Seusai nasihat Juru Mrentani, Senapati
menangkap langit Mataram menyibakkan awan pekatnya.
Menyaksikan jalan kejayaan terbentang terang,
sekalipun harus senasib ayam betina yang
mengorbankan satu telurnya.
Â
/6/
Di ruang pribadi, Pembayun berkaca, seusai
mandi sore bersama dayang-dayang di patirtan.
Parasnya serupa purnama meski tak berbedak dan bergincu.
Rambutnya bergerai hitam kemilau sampai di pinggang.
Tubuhnya semampai, tangannya seperti busur,
betisnya seperti perut padi, bila berjalan
menyerupai harimau lapar.
Â
Semasih mengaca di depan cermin oval,
pintu kamarnya diketuk dari luar.
"Siapa?" tanya Pembayun bernada lembut
Â
"Hamba, Gusti Ayu,"
jawab dayang-dayang berkebaya hijau laut,
berjarit kawung. "Ni Malarsih."
Â
Pembayun melangkah ke pintu.
Membuka pintu itu tanpa deritan.
"Ada apa Larsih?"
Â
"Gusti Ayu diminta menghadap Gusti Senapati,"
jawab Ni Malarsih penuh santun.
"Beliau menunggu di Gedhong Jene."
Â
Bersama purnama yang
menyembul dari balik bentangan bukit timur,
Pembayun melangkah menuju Gedhong Jene.
Entah kenapa, hatinya bergetar tiba-tiba?
Â
/7/
Di hadapan Senapati, Pembayun duduk bersimpuh,
ditundukkan tajam wajahnya ke lantai.
Seusai menghaturkan sembah, Pembayun
membuka pembicaraan: "Ya, Ramanda. Mohon ampun!
Kiranya apa maksud Ramanda memanggil hamba?
Hamba siap menerima hukuman bila bersalah.
Hamba siap melaksanakan perintah bila mendapatkan tugas."
Â
"Pembayun, bunga Mataram yang tengah mekar!"
Senapati memuji putrinya dengan hati tersayat-sayat, karena
Pembayun harus dijadikan tumbal demi ambisinya menundukkan Wanabaya.
"Maksudku mengundangmu bukan untuk memberikan hukuman.
Tak ada kesalahan yang kaulakukan. Namun...."
Â
"Namun apa, Ramanda?
Kenapa Ramanda menghentikan sabda sekian lama?"
Â
Senapati geragapan. Namun seusai menata kembali
perasaan hatinya yang simpang-siur, Senapati
melanjutkan sabdanya. "Ananda, ketahuilah!
Aku akan menyampirkan tugas negara di pundakmu.
Tak ada seorang yang dapat melaksanakan tugas itu, selain dirimu."
Â
"Sekalipun hamba dilahirkan sebagai seorang wanita,
namun hamba siaga melaksanakan tugas negara.
Kiranya tugas apa yang akan hamba laksanakan?"
Â
"Merangket Wanabaya,
penguasa pedukuhan Mangir!"
Â
Sekian lama, suasana Gedhong Jene lengang,
selengang suasana hati Pembayun yang
tak tahu harus berkata apa.
Menolak? Tak mungkin. Karena,
ia hanya seorang hamba yang
harus mematuhi perintah raja.
Menerima? Apa mungkin? Karena,
Ia hanya seorang wanita lemah.
Bukan senapati perang yang
sakti mandraguna.
Â
"Kenapa kau terdiam dalam kebingungan, Cucu?"
tanya Juru Mrentani, patih dan sekaligus penasihat Mataram.
"Bila dalam kebingungan,
sebaiknya kaubertanya pada orang yang
tahu! Agar kau tak tersesat di jalan."
Â
"Eyang Juru...." Pembayun menghaturkan sembah
sembari mengangkat sedikit wajahnya yang
semuram purnama berlapis awan tipis. "Bagaimana
hamba yang hanya seorang wanita lemah ini
dapat menundukkan Wanabaya? "
Â
"Selama memiliki keyakinan,
Cucu akan mampu menundukkan Wanabaya.
Hanya dua syarat dapat menaklukkan musuhmu itu.
Pertama, mandilah di Sendang Kasiyan!
Ke dua, menyamarlah sebagai ledhek
bernama Lara Kasiyan!"
Â
Menangkap maksud di balik penuturan Juru Mrentani,
bentangan langit di mata Pembayun tampak cerah,
sekalipun purnama masih terbungkus awan.
Â
/8/
Hanya mengenakan kain mori setinggi dada,
Pembayun turun ke Sendang Kasiyan.
Duduk bersimpuh menghadap arah timur,
asal mula dari sumber kehidupan.
Â
Dalam hening samadi, Pembayun
melafalkan mantram, "Hyang Jagad Bhatara,
Penguasa Semesta Raya. Turunkan kekuasaan-Mu,
Cahaya Ratih yang dipuja Dharmaja dalam Smaradahana,
menyelimuti raga dan jiwa hamba. Cahaya asmara yang
akan memancarkan sinarnya lewat enam indera."
Â
Tengah malam hari ke tujuh,
titik kulminasi langit terbuka sebesar bawang.
Bersama memancarnya cahaya kebiruan yang
menembus ubun kepala Pembayun.
Menyatu dengan aliran darah dan napas.
Itulah cahaya Ratih yang memancar melalui seluruh indera.
Â
Bersama matahari baru yang
lahir dari rahim malam, Pembayun yang
berubah nama Lara Kasiyan itu
merasa terlahir kembali sebagai Ratih
: bunga dari Kahyangan Cakrakembang.
Â
/9/
Bersama rombongan: tukang gong,
tukang saron, tukang peking, dan tukang kendang.
Lara Kasiyan mengamen sebagai ledhek
dari kampung ke kampung, dari desa ke desa.
Â
Menyaksikan kecantikan paras
dan keluwesan gerak Lara Kasiyan yang
memikat laksana magnit, banyak lelaki tergoda.
Banyak anak muda meninggalkan kekasihnya.
Banyak suami menceraikan istrinya.
Â
Namun sebagai wanita berjiwa sentosa, Lara Kasiyan
tak bergeming dengan godaan harta-benda yang
menyilaukan mata dari setiap lelaki buaya.
Karena hanya satu yang tersimpan di benak kepalanya
: menaklukkan Wanabaya dengan api asmara.
Â
/10/
Di antara obor-obor yang
menyala di arena pertunjukan ledhek,
gamelan bertalu menggugah jiwa-jiwa terlelap.
Lara Kasiyan menari dengan sangat memikat.
Wanabaya yang duduk di pendapa bersama kerabat,
tersihir oleh setiap gerakan Lara Kasiyan yang
diam-diam membangunkan hasrat kejantanannya.
Â
Lantaran tak kuasa mengendalikan gejolak berahi,
Wanabaya turun ke arena. Menari bersama Lara Kasiyan.
Jiwanya membumbung tinggi bagai layang-layang dimabuk angin,
tatkala ledhek itu melemparkan kerlingan mata
: senjata sakti yang dapat membunuh lawan tanpa melukai.
Â
Di luar arena, para penonton bersorak galak,
tatkala Lara Kasihan terjatuh lunglai di pelukan Wanabaya
: lelaki pilihan dewa sebagai titisan Kamajaya.
Â
Keduanya terbakar api asmara
yang tak terduga-duga.
Â
/11/
Tujuh bulan sudah, Lara Kasiyan
mengandung benih kasih Wanabaya.
Saat itulah, Laya Kasiyan membongkar jati diri.
Bukan sebagai ledhek putri Ki Cerma Carita, melainkan
putri sulung Senapati, raja agung Mataram.
Â
Mendengar penuturan Pembayun, gigi Wanabaya bergemeretak.
Tangannya yang bergetar amat dahsyat ingin menikamkan keris ligan
di lambung Pembayun. Namun berkat kepasrahan sang putri, padamlah
amarah Wanabaya. Menyalalah kemudian kasihnya yang tak terperi.
Â
"Maaflah aku, Diajeng! Aku khilaf." Wanabaya
menyarangkan keris ligan ke kerangkanya. "Untuk menebus
kekhilafanku, aku akan penuhi segala permintaan Diajeng.
Sekalipun harus menyeberangi lautan api."
Â
"Bukan harta atau benda yang hamba pinta, Kangmas."
Pembayun merapatkan duduknya di sisi Wanabaya.
"Tapi, ketulusan Kangmas Wanabaya untuk bersedia
menghaturkan sembah bakti pada Ramanda Senapati."
Â
"Apa?" Wanabaya sontak beranjak dari kursi.
"Tak Sudi aku menghaturkan sembah bakti pada Senapati.
Itu artinya, aku tunduk pada satru-ku sendiri."
Â
"Memang, Ramanda Senapati adalah satru Kangmas.
Tapi, itu dulu. Sekarang, Ramanda adalah mertua.
Tidaklah elok, seorang anak mantu yang
tak berbakti pada mertuanya sendiri."
Â
Wanabaya menghempaskan napas untuk melonggarkan rongga dadanya
yang serasa tersumbat sebongkah batu. "Baiklah! Aku penuhi keinginanmu,
Diajeng. Tapi, ijinkan aku membawa pasukan dan Baruklinting."
"Kangmas...." Pembayun meremas jari-jari Wanabaya.
"Tidak lazim, anak mantu yang menghadap mertua
seperti orang mau berperang."
Â
Tak ada sepatah kata yang
terucap lagi dari setangkup bibir Wanabaya.
Seluruh kata serasa tersekat di tenggorokan.
Terkunci rapat-rapat.
Â
/12/
Dengan kereta yang ditarik delapan kuda, Pembayun
dan Wanabaya meninggalkan Pedukuhan Mangir.
Menuju Mataram. Buat menghaturkan
sembah bakti pada Senapati.
Â
Di hadapan Senapati yang dingin bersinggasana di atas batu gilang,
Wanabaya bersila dengan wajah tertunduk tajam ke bumi
Namun saat menghaturkan sembah, Wanabaya
merasakan hempasan tajam angin selatan yang
membenturkan kepalanya ke batu keramat.
Â
Kepala Wanabaya pecah terbelah.
Darah yang menyembur membasahi
kaki Senapati. Membasahi batu gilang.
Membasahi bumi Mataram
yang masih perawan.
Â
Menyaksikan Wanabaya tewas di kaki mertuanya sendiri,
Pembayun menjerit selantang petir musim ke sembilan.
Bumi Mataram serasa digoncang gempa yang
tak tertandingi kedahsyatannya. Sebelum
langit tampak kelam. Sebelum merasakan
dirinya serupa layang-layang yang
terputus dari benang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H