"Bahaya Sedentary Lifestyle Pada Remaja"
I. ABSTRAK
Gaya hidup sedentari, yang ditandai dengan aktivitas fisik yang minimal dan waktu lama yang dihabiskan untuk duduk atau berbaring, semakin menjadi perhatian utama dalam kesehatan masyarakat, terutama di kalangan remaja. Penelitian menunjukkan bahwa gaya hidup ini dapat berdampak negatif pada kesehatan fisik dan mental remaja.
Ii. PENDAHULUAN
Gaya hidup sedentari, yang merujuk pada aktivitas minimal dan waktu lama yang dihabiskan dalam posisi duduk atau berbaring, semakin menjadi isu penting dalam kesehatan masyarakat global, khususnya di kalangan remaja. Di era digital saat ini, remaja sering kali menghabiskan waktu mereka dengan aktivitas yang memerlukan sedikit atau tidak ada gerakan fisik, seperti menggunakan perangkat elektronik, menonton televisi, dan bermain video game. Perubahan pola hidup ini berpotensi menimbulkan dampak negatif yang signifikan terhadap kesehatan fisik dan mental mereka.
Penelitian menunjukkan bahwa waktu duduk yang berlebihan dikaitkan dengan berbagai masalah kesehatan, termasuk obesitas, gangguan metabolik, dan peningkatan risiko penyakit kardiovaskular. Selain itu, gaya hidup sedentari juga berhubungan dengan masalah kesehatan mental, seperti kecemasan dan depresi. Kurangnya aktivitas fisik dapat mengganggu keseimbangan energi dan memperburuk kualitas tidur, yang merupakan faktor penting dalam kesejahteraan umum remaja.
Faktor-faktor yang mempengaruhi gaya hidup sedentari pada remaja meliputi aksesibilitas teknologi, pola makan yang tidak sehat, serta kurangnya dorongan atau kesempatan untuk berpartisipasi dalam aktivitas fisik terstruktur. Terlebih lagi, lingkungan sosial dan budaya, seperti norma sosial yang mendukung penggunaan perangkat elektronik atau kurangnya fasilitas untuk olahraga, turut berperan dalam membentuk kebiasaan ini.
Oleh karena itu, penting untuk memahami dampak dari gaya hidup sedentari serta faktor-faktor yang mempengaruhinya guna mengembangkan strategi yang efektif untuk mengurangi risiko dan meningkatkan kesehatan remaja. Artikel ini akan mengeksplorasi pengaruh gaya hidup sedentari pada kesehatan fisik dan mental remaja, serta memberikan rekomendasi untuk intervensi yang dapat membantu mengatasi masalah ini.
III. KAJIAN LITERATURÂ
1. Remaja
Remaja berasal dari bahasa latin "adolescere" yang berarti tumbuh atau tumbuh menjadi dewasa. Istilah ini memiliki arti luas yang mencakup kematangan fisik, mental, emosional, dan sosial. Masa remaja dengan jelas menunjukkan sifat transisi atau peralihan karena remaja belum memperoleh status dewasa dan tidak lagi memiliki status anak (Putri, Nurwati & Budiarti, 2016)
2.Tahap dan perkembangan remaja Berdasarkan proses penyesuaian menuju kedewasaan, ada tiga tahap perkembangan remaja menurut Soetjiningsih (2010, dalam Firdaus, 2018), yaitu :
a) Remaja awal (early adolescent) usia 12-15 tahunPada tahap ini akan terjadi perubahan pada tubuh remaja dan disertai pengembangan pikiran-pikiran baru, sehingga cepat tertarik pada lawan jenis dan mudah terangsang secara erotis. Dengan hanya sentuhan pada bahu oleh lawan jenis, ia sudah akan berfantasi otak.
b) Remaja madya (middle adolescent) usia 15-18 tahunPada tahap ini remaja membutuhkan teman-teman, ia akan senang bila banyak teman yang mengakuinya Terdapat kecenderungan mencintai dirinya sendiri, dengan menyukai teman-teman yang sama pada dirinya, juga ia berada dalam kondisi kebingungan karena tidak tahu memilih mana yang peka atau tidak peduli, ramai-ramai atau sendiri, optimistis atau pesimistis, idealitas atau materialis, dan sebagainya.
c) Remaja akhir (late adolescent) usia 18-21 tahun Tahap ini adalah tahap dimana masa konsolidasi menuju periode dewasa dan ditandai dengan pencapaian lima hal, yakni
1.Minat makin yang akan mantap terhadap fungsi intelek
2 Egonya akan mencari kesempatan untuk bersatu dengan orang lain dan dalam pengalaman-pengalaman baru.
3.Terbentuknya identitas seksual yang tidak berubah lagi
4.Egosentrisme (terlalu mencari perhatian pada diri sendiri) diganti dengan keseimbangan dan kepentingan diri sendiri dengan orang lain
3.Sedentary Lifestyle Kata sedentary berasal dari Bahasa latin "sedere" yang artinya "duduk" (Mandriyarini, 2016). Sedentary lifestylemerupakan gaya hidup dengan kurang aktivitas fisik di mana orang menghabiskan banyak waktu berbaring, duduk, membaca, menonton televisi, bermain mobile phone, melakukan sedikit atau tidak berolahraga (Desmawati, 2019). Seseorang dengan sedentary lifestyle lebih banyak mengabaikan aktivitas fisik atau melakukan kegiatan yang tidak membutuhkan banyak energi. Hal tersebut kini terlihat lebih banyak orang duduk di depan televisi dan komputer (Mar'ah, 2017)
4.Klasifikasi Sedentary Lifestyle
a) Sedentary lifestyle rendah
Tingkat sedentary lifestyle rendah yaitu perilaku duduk atau berbaring seperti kerja di depan komputer, membaca, bermain game, dan menonton TV selama kurang dari 2 jam (Fajanah, 2018). Dilaporkan bahwa seseorang dengan aktivitas harian paling sedikit, dan menggantikan waktu duduk 30 menit dengan aktivitas ringan akan mengurangi risiko kematian sebesar 14%. Sedangkan bila digantikan dengan aktivitas fisik sedang hingga berat akan mengurangi risiko kematian sebesar 45%. Departemen Kesehatan Pemerintah Australia merekomendasikan untuk anak-anak usia 5-17 tahun, perilaku menetap di depan layar untuk hiburan (sedentary lifestyle) harus dibatasi hingga 2 jam sehari dan mereka disarankan untuk terlibat dalam interaksi serta pengalaman sosial yang positif (Park et al., 2020).
b) Sedentary lifestyle sedang
Pada tingkat ini, perilaku duduk atau berbaring seperti kerja di depan komputer, membaca, bermain game, dan menonton TV selama 2-5 jam (Fajanah, 2018). Seseorang yang menonton televisi selama 4 jam sehari memiliki risiko kematian 1,5 kali lebih tinggi dibandingkan dengan orang yang menonton televisi selama <2 jam sehari (Park et al., 2020).
c) Sedentary lifestyle tinggi
Perilaku duduk atau berbaring seperti kerja di depan komputer, membaca, bermain game, dan menonton TV selama lebih dari 5 jam (Fajanah, 2018). Seseorang yang menonton televisi selama 6 jam sehari memiliki risiko kematian 2 kali lipat lebih tinggi dibandingkan dengan orang yang menonton televisi <2 jam sehari (Park et al., 2020). Selain itu,remaja dengan sedentary lifestyle lebih dari 6 jam per hari memiliki risiko 2,27 kali untuk mengalami hipertensi obesitik (Oematan & Oematan, 2021).
5.Perilaku Sedentary Lifestyle
Beberapa perilaku sedentary yang pada umumnya dilakukan oleh remaja adalah sebagai berikut (Amini, 2016).
a) Menonton televisi
Menonton televisi yang dilakukan dengan posisi duduk atau berbaring memiliki nilai energi expenditure 1.0 METs. Energi expenditure akan semakin rendah apabila waktu yang digunakan untuk menonton televisi semakin lama. Menonton televisi juga akan berpengaruh pada perilaku makan yang akhirnya memicu terjadinya obesitas. Hubungan tersebut berkaitan dengan adanya makanan dan minuman yang dikonsumsi selama menonton televisi. Menonton televisi yang diikuti dengan makan (snack) akan menunda rasa kenyang dan sinyal rasa kenyang berkurang, sehingga menyebabkan tingginya asupan makan selama menonton televisi. Pada umumnya, jenis makanan yang dikonsumsi remaja saat menonton televisi adalah makanan yang tinggi kalori, tinggi kolesterol, dan rendah serat. Perilaku tersebut terkombinasi dengan rendahnya energy expenditure saat menonton televisi yang akan menyebabkan obesitas.
b) Penggunaan kendaraan sebagai alat transportasi ke sekolahPenggunaan kendaraan untuk berangkat ke sekolah berasosiasi dengan tinggi rendahnya energi yang dikeluarkan. Berjalan atau mengayuh sepeda merupakan aktivitas fisik yang dapat dilakukan saat pergi sekolah. Saat ini remaja sudah difasilitasi alat transportasi, baik transportasi umum maupun pribadi. Penggunaan alat transportasi berasosiasi dengan rendahnya energy expenditure dan berkontribusi pada terjadinya obesitas (Amini, 2016). Dalam artikel Indonesia Sport Nutritionist Association menyebutkan bahwa seseorang yang menaik bus atau mobil memiliki energi expenditure sebesar 1.0 METs (Fajar, 2018).Â
c) Bermain video game
Tingginya Indeks Massa Tubuh dan rendahnya aktivitas fisik berhubunganÂ
dengan bermain video game, karena membutuhkan pergerakan tubuh yang sangat minim. Bermain video game seringkali hanya membutuhkan gerakan satu tangan, kondisi itu mendukung remaja untuk makan camilan dan bermain game berbarengan. Pada umumnya waktu yang digunakan untuk bermain game tidak sebentar, lamanya waktu bermain game berasosiasi dengan lamanya waktu duduk dan dapat berpengaruh pada jumlah camilan yang masuk, yang mengakibatkan obesitas. Suatu penelitian mengungkapkan jika bermain video game sebagai pengganti aktivitas fisik, maka risiko obesitas akan meningkat, ditambah bila digunakan untuk menonton televisi atau beristirahat, akan mempengaruhi energi expenditure.d) Penggunaan internetKini handphone dan komputer sudah tidak asing di semua kalangan terutama remaja, serta saat ini mudah ditemukan tempat-tempat yang menyediakan jaringan internet yang dimana remaja lebih leluasa untuk berselancar di internet, berkomunikasi melalui media sosial, dan sebagainya. Remaja tidak bisa lepas dari gadget-nya, seperti halnya saat menunggu angkutan umum di halte mereka sibuk berselancar di internet dengan gadgetmasing-masing. Penggunaan internet itulah mempengaruhi rendahnya energi expenditure karena pada umumnya penggunaan internet dilakukan tanpa menggerakkan anggota tubuh selain jari. Suatu penelitian mengungkapkan bahwaÂ
penggunaan internet berhubungan dengan rendahnya aktivitas fisik (Zach & Lissitsa,Â
2016)Â
6. Faktor yang MempengaruhiÂ
Sedentary Lifestyle
a) PengetahuanÂ
Kurangnya pengetahuan tentang sedentary lifestyle dan dampak yangÂ
ditimbulkannya akan menyebabkan seseorang melakukan sedentary lifestyle
tanpa disadari (Huntington, 2019).
b) SikapÂ
Sikap merupakan tahap awal seseorang untuk melakukan sedentary lifestyle,
biasanya diawali dengan berbagai pengalaman, pendapat, atau prinsip.Â
Sehingga seseorang memilih untuk melakukan sedentary lifestyle atau
melakukan aktivitas yang aktif (Wardana, 2020).
c) Hobi atau kesenangan
Hobi seseorang berbeda-beda, mulai dari hobi yang membuat seseorang aktif
bergerak hingga hobi yang membuat seseorang tidak aktif bergerak. HobiÂ
seperti bermain game, menonton televisi, berbaring, duduk, bermain social media,Â
merupakan hobi yang berisiko untuk seseorang melakukan aktivitas yangÂ
menetap lama (sedentary lifestyle) (Fajanah, 2018).
d) Jenis kelaminÂ
Jenis kelamin menjadi faktor yang mempengaruhi perilaku sedentaryÂ
lifestyle karena selama masa anak-anak hingga masa remaja perilaku sedentaryÂ
lifestyle meningkat. Selama masa kanak-kanak dan masa peralihan menjadiÂ
remaja, umumnya baik perempuan ataupun laki-laki lebih banyak melakukanÂ
kegiatan di depan televisi (menonton) dan penggunaan komputer, namun pada laki-
laki remaja biasanya menghabiskan waktulebih banyak dibandingkan perempuanÂ
terutama dalam hal bermain game (Inyang & Stella, dalam Mar'ah, 2017). BeberapaÂ
penelitian juga menunjukkan bahwa dikalangan laki-laki lebih banyakÂ
menggunakan waktunya untuk bermain game atau menonton video dibandingkanÂ
dengan perempuan (Fajanah, 2018).Secara genetik, laki-laki lebih rentanÂ
menjadi pecandu game dibandingkan dengan perempuan. Dalam penelitian SunÂ
Yewen (Dalam Febriansyah, 2018) menunjukan bahwa terdapat perubahanÂ
fungsi otak di gyrus frontal superior pada laki-laki yang dimana gyrus frontalÂ
merupakan area lobus yang mengendalikan kesadaran dan impuls.Â
Sedangkan pada perempuan pecandu game tidak menunjukan perubahan fungsiÂ
otak apa pun (Febriansyah, 2018).
e) Fasilitas atau kemudahan
Fasilitas kemudahan di era revolusi industri 4.0 sudah ditunjang olehÂ
teknologi yang memudahkan seseorang untuk melakukan pekerjaan, misalnyaÂ
dalam transaksi jual beli. Transaksi jual beli saat ini dapat dilakukan secara online,Â
termasuk kebutuhan pokok serta gedung instansi sudah banyak menggunakan liftÂ
sehingga membuat seseorang menjadi malas bergerak (sedentary lifestyle)Â
(Wardana, 2020). Adanya kemajuan teknologi yang semakin canggih,Â
menyebabkan kurangnya kegiatan yang dilakukan secara manual, yangÂ
menjadikan aktivitas fisik remaja berkurang dan meningkatkan sedentaryÂ
lifestyle (Inyang & Stella, dalam Mar'ah, 2017).
f) TransportasiÂ
Transportasi merupakan alat yang digunakan seseorang untuk bepergian keÂ
suatu tempat tujuan dengan menggunakan benda seperti, sepeda motor, mobil, bus,Â
kereta, pesawat, dan kendaraan lainnya. Untuk penggunaan alat transportasiÂ
biasanya digunakan untuk menempuh jarak yang jauh, namun dengan semakinÂ
maraknya alat transportasi, untuk menempuh jarak yang dekat seseorangÂ
cenderung memilih menggunakan alat transportasi. Hal tersebut menyebabkanÂ
seseorang melakukan sedentary lifestyle (Fajanah, 2018)
g) Pendapatan orang tuaÂ
Pendapatan orang tua berpengaruh terhadap sedentary lifestyle pada remaja.Â
Status sosial ekonomi yang tinggiÂ
cenderung melakukan sedentary lifestyle karena memiliki banyak fasilitas sepertiÂ
televisi di rumah dan di dalam kamar. Adanya televisi di dalam kamar membuatÂ
seseorang melakukan sedentary lifestyle (Fajanah, 2018). Saat berakhir pekan,Â
rata-rata anak menghabiskan waktu 4-5 jam untuk melakukan sedentary lifestyleÂ
seperti duduk atau berbaring untuk menonton televisi, bermain game,Â
membaca, dan lain sebagainya. Semakin baik status sosial ekonomi suatu keluarga,Â
maka akan semakin mudah mendapatkan fasilitas-fasilitas yang mendorongÂ
peningkatan sedentary lifestyle (Inyang & Stella, dalam Mar'ah, 2017).
h) Sosial geografis
Tempat tinggal dengan wilayah urban (perkotaan) dan rural (pedesaan) memilikiÂ
perbedaan dari segi fasilitas dan kemudahan dimana hal itu berkontribusiÂ
dalam sedentary lifestyle. Tempat tinggal dapat memainkan peran utama dalamÂ
gaya hidup remaja. Remaja yang tinggal di daerah rural kurang terpapar denganÂ
sedentary lifestyle, karena remaja pedesaan lebih memilih waktu luangnyaÂ
untuk melakukan aktivitas fisik daripada dengan remaja di daerah perkotaanÂ
(Wardana, 2020). Selain faktor-faktor di atas, menurut theÂ
Mexican Ministry of Health, faktor yang mempengaruhi sedentary lifestyleÂ
diantaranya kurangnya area hijau, sedikitÂ
waktu luang, lalu lintas kendaraan dan polusi, serta perubahan teknologi sepertiÂ
penggunaan video game, lebih lama di depan TV atau computer (CE NoticiasÂ
Financieras, 2021).
7. Dampak Sedentary Lifestyle
Seseorang yang kurang gerak (sedentary lifestyle) akan mengalami perubahanÂ
dalam metabolisme, tubuh mengalami kesulitan memetabolisme lemak dan gulaÂ
yang menyebabkannya masuk ke sistem kekebalan tubuh, memiliki sirkulasi darahÂ
yang buruk, mengobarkan tubuh dan mengembangkan ketidakseimbanganÂ
hormon. Sedentary lifestyle menyebabkan risiko kesehatan yang signifikan danÂ
merupakan faktor kunci dalam perkembangan penyakit tidak menular seperti diabetes, hipertensi, osteoporosis, dan kanker (CE Noticias Financieras,Â
2021). Berdasarkan hasil penelitian terdapat beberapa dampak fisik padaÂ
kesehatan akibat sedentary lifestyle pada remaja, yaitu
a) Obesitas
Obesitas merupakan ketidakseimbangan antara asupan energi (energy intake)
dengan energi yang digunakan (energy expenditure) dalam waktu yang lama,Â
yang berakhir dengan penumpukan lemak berlebih (WHO dalam P2PTM KemenkesÂ
RI, 2018). Obesitas, terjadi karena jumlah konsumsi kalori lebih tinggi dibandingkanÂ
dengan pengeluaran kebutuhan energi. Obesitas berhubungan dengan lemak diÂ
dalam tubuh yang dibutuhkan untuk menyimpan energi sebagai penyekatÂ
panas, penyerap guncangan, dan lain-lain.
Wanita lebih banyak memiliki lemak di dalam tubuh dibandingkan dengan priaÂ
(Fajanah, 2018). Social Health Security(EsHealth) memperingatkan bahwaÂ
sedentary lifestyle masa kanak-kanak di masa pandemi akan meningkatkan risikoÂ
kelebihan berat badan atau obesitas yang mengarah pada tekanan darah tinggi danÂ
masalah kesehatan lainnya (CE Noticias Financieras, 2020). Medline Plus jugaÂ
mengatakan, sedentary lifestyle memiliki konsekuensi yang serius seperti kaloriÂ
yang terbakar lebih sedikit, sehingga lebih mungkin untuk menambah berat badanÂ
(CE Noticias Financieras, 2021). Jumlah kalori yang diserap melalui makanan,Â
aktivitas fisik, dan metabolisme tubuh akan mempengaruhi pada pemeliharanÂ
berat badan (Fajanah, 2018). Hasil penelitian menyarankan sedentaryÂ
lifestyle pada remaja tidak akan membuat kegemukan apabila remaja melakukanÂ
aktifitas fisik (Mann et al., 2017). Dalam penelitian Al Rahmad (2019),Â
menyebutkan bahwa sedentary lifestyle mempunyai risiko sebesar 4,6 kaliÂ
terhadap kejadian obesitas.
b) Diabetes Mellitus
Diabetes melitus merupakan penyakit yang ditandai dengan hiperglikemia danÂ
gangguan metabolism karbohidrat, lemak, dan protein serta kekurangan sekresiÂ
insulin (diabetes tipe 1) atau resistensi insulin (diabetes tipe 2). Gejalanya berupa
polidipsi, poliuria, polifagia, penurunan berat badan dan kesemutan (Fajanah,Â
2018). Kondisi yang menyebabkan obesitas diantaranya, kelebihan beratÂ
badan, diet tinggi lemak dan rendah karbohidrat, kurangnya aktivitas fisik danÂ
olahraga, serta faktor genetik (Wardana, 2020). Sedentary lifestyle memilikiÂ
kontribusi penting dalam terjadinya penyakit diabetes melitus tipe 2.Â
Seseorang dengan sedentary lifestyleseperti membaca, duduk, menontonÂ
televisi dapat meningkatkan pola makan dan berat badan yang dapat menyebabkanÂ
diabetes melitus, karena tubuh akan kelebihan energi yang dimana seharusnyaÂ
energi diubah menjadi glikogen. Ketika otot tidak bekerja, kelebihan energi akanÂ
diubah menjadi lemak, kemudian disimpan di rongga perut menjadi lemakÂ
fiseral, selanjutnya kelebihan lemak tubuh dapat menyebabkan peradangan yangÂ
memicu resistensi insulin. Insulin yang bermasalah menyebabkan tubuh tidakÂ
dapat mengolah glukosa, sehingga terjadi peningkatan glukosa dalam darah di atasÂ
rata-rata. Hal tersebut membuat pankreas rentan mengalami kerusakan karenaÂ
semakin cepat kerja pankreas untuk memproduksi insulin agar kadar gulaÂ
darah seimbang yang akhirnya menyebabkan diabetes (Wardana, 2020).Â
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Bertoglia et al. (2017), pada populasi diÂ
Chile menunjukkan bahwa sedentary lifestyle menjadi faktor risiko (54%)Â
diabetes melitus tipe 2, dan pada laki-laki yang berperilaku sedentary lifestyleÂ
memiliki peluang lebih besar mengalamiÂ
diabetes melitus tipe 2.
c) Hiperkolesterolemia (Kolesterol tinggiÂ
dalam darah)
Hiperkolesterolemia merupakan keadaan dimana tubuh mengalami kelebihanÂ
kolesterol di dalam darah, dikatakan tidak normal apabila jumlah kolesterol
mencapai 200mg/dl atau lebih. Kolesterol berfungsi untuk mensintesis beberapa zat-
zat metabolic yang memiliki peranan seperti air empedu dan beberapa hormon.Â
Hepar dapat menghasilkan kolesterol yang dibawa oleh lipoprotein melaluiÂ
darah berasal dari karbohidrat, protein, dan lemak. Kolesterol dapat mengendapÂ
pada dinding pembuluh darah arteri, yang dimana hal tersebut merupakan penyebabÂ
terjadinya stroke dan serangan jantung. Penyebab terjadinya hiperkolesterolemiaÂ
adalah banyaknya konsumsi makanan yang berlemak, kurang aktivitas fisik,Â
stress, terlalu banyak makan (Irianto, 2018 dalam Wardana, 2020). SeseorangÂ
dengan sedentary lifestyle akan meningkatkan kadar kolesterol di dalamÂ
tubuh. Pembentukan energi berupa Adenosin TriPhosphate (ATP) padaÂ
makanan yang dikonsumsi terjadi ketika seseorang melakukan aktivitas fisikÂ
Fajanah, 2018). Sebagian makanan yang dikonsumsi dapat diubah secara langsungÂ
menjadi Adenosin TriPhosphate (ATP) dan sebagian disimpan dalam bentukÂ
kolesterol. Seseorang yang rutin melakukan aktivitas fisik, makaÂ
kebutuhan Adenosin TriPhosphate (ATP) semakin banyak dan mengakibatkanÂ
sedikitnya pembentukan kolesterol jenuh dan kolesterol jahat atau Low DenaityÂ
Lipoprotein (LDL) dan meningkatnya kolesterol baik atau High DenaityÂ
Lipoprotein (HDL). Sebaliknya bila seseorang melakukan sedentary lifestyle,Â
akan menyebabkan kolesterol tubuh meningkat (Wardana, 2020).
d) Hipertensi
Hipertensi atau tekanan darah tinggi merupakan peningkatan tekanan darahÂ
sistolik lebih dari 140 mmHg dan diasloikÂ
lebih dari 90 mmHg pada waktu 2 kali pengukuran dengan jeda waktu 5 menitÂ
dalam keadaan tenang dan istirahat yang cukup. Tekanan darah mengalamiÂ
peningkatan dalam jangka waktu yangÂ
lama (persisten) akan menyebabkan kerusakan ginjal (gagal ginjal), penyakitÂ
jantung, dan stroke (Kemenkes RI, 2014 dalam Wardana, 2020). SedentaryÂ
lifestyle merupakan faktor risiko terjadinya hipertensi. Apabila seseorangÂ
melakukan aktivitas fisik secara rutin, maka akan dapat menurunkan tahananÂ
perifer yang dimana hal tersebut menurunkan tekanan darah. RemajaÂ
dengan sedentary lifestyle yang tinggi (>6Â
jam/hari) akan berisiko 2,27 kali mengalami hipertensi obesitik (OematanÂ
& Oematan, 2021).
e) Osteoporosis dan penyakitÂ
muskuloskeletal
Osteoporosis merupakan suatu penyakit yang ditandai oleh berkurangnya massaÂ
tulang dan kerusakan mikroarsitektur tulang yang menyebabkan tulang menjadiÂ
rapuh dan meningkatkan risiko cedera atau patah tulang (Hamijoyo, 2021).Â
Faktor terjadinya osteoporosis dibagiÂ
menjadi faktor yang dapat diubah dan tidak dapat diubah. Faktor yang dapatÂ
diubah adalah kebiasaan merokok, konsumsi alkohol, kurang gizi, kurangÂ
aktivitas dan olahraga, jatuh berulang, sedangkan faktor yang tidak dapat diubahÂ
adalah umur, jenis kelamin, riwayat keluarga, menopause, penggunaan obatÂ
kortikosteroid, dan rheumatoid arthritis (Wardana, 2020). Akibat dariÂ
osteoporosis adalah timbulnya rasa nyeri, berubahnya bentuk tubuh, danÂ
kemampuan fisik berkurang (Fajanah, 2018). Sedentary lifestyle berkaitanÂ
dengan defisiensi vitamin B dan D yang dapat menyebabkan seseorang mengalamiÂ
osteoporosis. Vitamin D berfungsi sebagai sarana pembentukan tulang yangÂ
dimana vitamin tersebut didapat salah satunya dari sinar ultraviolet (Wardana,Â
2020). Sedentary lifestyle >10 jam sehari berpengaruh terhadap nyeri lutut kronisÂ
dan wanita dengan melakukan >10 jam waktu sedentari yang dibarengi aktivitasÂ
tinggi akan sangat memungkinkan mengalami nyeri lutut kronis (Park et al., 2020).
f) Penyakit Jantung Koroner
Penyakit jantung koroner adalah penyakit degeneratif yang disebabkan karenaÂ
penyumbatan pada pembuluh darah arteri oleh lipid yang mengakibatkan kekakuanÂ
pada vena dan peredaran darah terganggu,Â
sehingga aliran darah ke jantung terhambat, kerja jantung mengalamiÂ
gangguan, aliran darah ke seluruh tubuh berkurang yang akhirnya oksigen diÂ
dalam tubuh berkurang dan dapat menyebabkan terjadinya henti jantungÂ
secara tiba-tiba. Penyebab terjadinya penyakit jantung koroner adalahÂ
hipertensi, diabetes melitus, stress, polaÂ
makan, gaya hidup, fraksi lemak (TG,HDL, LDL), kurangnya aktivitas fisik danÂ
olahraga, riwayat penyakit jantung, obesitas, dan kebiasaan merokok (Irianto,Â
2018 dalam Wardana, 2020). Sedentary lifestyle merupakan faktorÂ
risiko terjadinya penyakit jantung koroner. Otot kerja jantung menurun saatÂ
seseorang berperilaku sedentari yang dimana hal tersebut mengakibatkanÂ
penyakit jantung koroner (Fajanah, 2018).Â
Dalam penelitian Yurni (2018)menyebutkan bahwa risikoÂ
cardiovaskular disease (CVD) akan meningkat sebesar 1.68 kali ketika dudukÂ
terlalu lama, juga saat menatap layar monitor terlalu lama meningkatkan risikoÂ
CVD sebesar 2.25 kali, yang dimana perilaku tersebut termasuk sedentaryÂ
lifestyle.
g) KankerÂ
Sedentary lifestyle dapat memicu terjadinya kanker payudara dan kankerÂ
usus besar, karena tubuh tidak banyak melakukan gerakan. Hal ini disebabkanÂ
karena otot dan sel jaringan dalam tubuh yang non aktif dapat memicu terjadinyaÂ
perkembangan sel kanker yang memiliki angka morbiditas dan mortalitas tinggi.Â
Dalam penelitian Park et al. (2020)melaporkan bahwa risiko kanker 13%Â
lebih tinggi pada kelompok dengan waktu sedentari terlama dibandingkan denganÂ
kelompok dengan waktu sedentari terpendek, dan penelitian lain melaporkanÂ
bahwa waktu sedentari meningkatkan risiko kanker secara keseluruhan sebesarÂ
20%.
h) Depresi
Sedentary lifestyle dapat meningkatkan risiko depresi karena kurangnyaÂ
komunikasi langsung dan interaksi sosial yang kurang, atau kurangnya waktu untukÂ
melakukan aktivitas fisik yang membantu mencegah dan mengobati depresi.Â
Perilaku sedentari yang pasif seperti menonton televisi, duduk, mendengarkanÂ
musik, dan duduk mengobrol menjadi risiko depresi dibandingkan denganÂ
perilaku membaca buku atau koran, mengemudi, rapat, dan merajut atauÂ
menjahit (Park et al., 2020). Kegiatan menonton televisi yang terlalu lama akanÂ
berisiko 1,13 kali mengalami depresi,Â
sedangkan penggunaan internet atau komputer yang lama berisiko 1,22 kaliÂ
terhadap depresi (Yurni, 2018). GejalaÂ
depresi meningkat 3 kali lipat pada perempuan dengan sedentary lifestyleÂ
dibanding laki-laki. Perempuan dengan perilaku sedentary lifestyle >7 jam perhariÂ
akan meningkat dibandingkan perempuan dengan perilaku sedentary lifestyle <4 jamÂ
perhari (Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia, 2015)
IV. PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil analisis pada tabel 2 gambaran sedentary lifestyle pada remaja, dari 50 responden (100%) didapatkan seluruh (100%) responden remaja di masa pandemi Covid-19 melakukan sedentary lifestyle. Dari 50 responden penelitian menunjukan hampir seluruh responden mengalami sedentary lifestyle tinggi sebanyak 42 responden (84%) dan sebagian kecil responden mengalami sedentary lifestyle sedang sebanyak 8 responden (16%). Tidak satu pun responden mengalami sedentary lifestyle rendah. Jenis sedentary lifestyle yang sering dilakukan oleh remaja adalah duduk bersantai dengan bermain handphone/chatting dengan rata-rata waktu yang digunakan adalah 3,72 jam dalam sehari. Berdasarkan jenis kelamin, setengahnya responden berjenis kelamin laki-laki memiliki sedentary lifestyle tinggi (50%). Secara genetik jenis kelamin laki-laki lebih rentan menjadi pecandu game dibandingkan dengan perempuan. Pada laki-laki menunjukan adanya perubahan fungsi otak di gyrus frontal superior yang merupakan pengendali kesadaran dan impuls, sedangkan pada perempuan pecandu game tida menunjukan perubahan fungsi otak apa pun (Febriansyah, 2018). Terdapat hubungan yang signifikan antara respon otak dengan perilaku kecanduan game online. Penggunaan functional magnetic resonance imaging (fMRI) dalam perekaman respon otak menunjukkan aktivasi yang lebih besar (pada thalamus dan medial frontal gyrus) pada remaja laki-laki dibandingkan dengan remaja perempuan (Dong et al,. 2018 dalam Sari et al., 2020) serta aktivasi otak laki-laki lebih aktif ketika bermain game online(Sari et al., 2020).Peneliti mengasumsikan banyaknya remaja dengan sedentary lifestyle kategori tinggi disebabkan karena rendahnya aktivitas fisik remaja di masa pandemi covid-19 (82%). Hal tersebut juga dikarenakan terbatasnya aktivitas keluar rumah untuk mencegah penyebaran covid-19.
V. PENUTUP
KesimpulanÂ
Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan data, peneliti memperoleh simpulan yang dapat diambil dari penelitian mengenai Gambaran Sedentary Lifestyle pada Remaja di Masa Pandemi Covid-19 menunjukkan hampir seluruh remaja di SMA Kota Bandung (84%) melakukan sedentary lifestyle kategori tinggi di masa pandemi Covid-19 dan remaja yang lainnya melakukan sedentary lifestyle (16%) dengan kategori sedang.
SaranÂ
Bagi peneliti selanjutnya, diharapkan dapat menjadi referensi yang akan mengangkat tema yang sama tetapi dengan sudut pandang berbeda, misalnya menambahkan jenis variabel, mencarihubungan antara variabel dan menggunakan teknik sampling yang berbeda misalnya purposive sampling, serta lebih memperbanyak responden agar hasilnya lebih representatif.Bagi tempat penelitian, diharapkan dapat dijadikan bahan untuk memberikan promosi kesehatan dan pemiliharaan kesehatan tentang gaya hidup sehat pada keluarga dan anak dengan menjelaskan informasi tentang bahaya sedentary. lifestyle terhadap kejadian obesitas.Â
VI. REFERENSI
Al Rahmad, A. H. (2019). Sedentari Sebagai Faktor Kelebihan Berat Badan Remaja. Jurnal Vokasi Kesehatan, 5(1), 16--21.
Amini, A. Z. (2016). Sedentary Lifestyle sebagai Faktor Risiko Obesitas pada Remaja SMP Stunting Usia 12-15 Tahun di Kota Semarang.
Arief, N. A., Kuntjoro, B. F. T., & Suroto. (2020). Gambaran Aktifitas Fisik dan Perilaku Pasif Mahasiswa Pendidikan Olahraga Selama Pandemi Covid-19. Multilateral Jurnal Pendidikan Jasmani Dan Olahraga, 19(2), 175--183. https://doi.org/10.20527/multilateral.v19i2.9564
Bastiyan, N. M., & Nurhayati, F. (2019). Hubungan Antara AktivitasSedentari Dengan Kejadian Overweight (Pada Siswa Kelas Vii Dan Viii Smp Islam As Sakinah Sidoarjo). Jurnal Pendidikan Olahraga Dan Kesehatan, 7(2), 325--328
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H