Mohon tunggu...
Zalfa Qodisah Arindita
Zalfa Qodisah Arindita Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa

topik konten yang akan kami bawakan mengenai hukum perdata Islam di Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Review Buku Hukum Perkawinan Islam Karya M. Mahmudin Bunyamin, Lc., M.A dan Agus Hermanto, M.H.I

14 Maret 2024   19:00 Diperbarui: 14 Maret 2024   19:02 162
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Review buku Hukum Perkawinan Islam karya H. Mahmudin Bunyamin, Lc., M.A. dan

Agus Hermanto, M.H.I.

Zalfa Qodisah Arindita_222121106

Pendahuluan

Hukum perkawinan merupakan bagian penting dari sistem hukum sebuah negara yang mengatur berbagai aspek terkait pernikahan, hubungan suami istri, perceraian, poligami dan keluarga. Hukum perkawinan biasanya mengatur proses pernikahan, hak dan kewajiban suami istri, hak anak, pembagian harta bersama, perceraian, poligami, perkawinan beda agama, perkawinan hamil dan perlindungan keluarga. Tujuan hukum perkawinan adalah untuk menjaga ketertiban sosial, moralitas, dan keharmonisan keluarga serta melindungi para pihak yang terlibat dalam pernikahan dan memastikan keadilan dan kesejahteraan bagi semua anggota keluarga. Setiap negara memiliki peraturan yang berbeda tentang hukum perkawinan karena nilai-nilai, budaya, dan agama mereka. Tetapi hukum perkawinan biasanya didasarkan pada prinsip-prinsip dasar tentang hak asasi manusia, kesetaraan gender, dan perlindungan anak.

Dengan adanya hukum perkawinan yang jelas dan tegas, setiap orang yang menikah dapat merasa aman, dilindungi, dan mendapatkan perlakuan yang adil sesuai dengan adat istiadat. Hukum perkawinan ini juga sangat berfungsi sebagai pedoman yang jelas dalam menjalankan suatu hubungan rumah tangga atau keluarga. Karena tidak sedikit keluarga yang mengalami kehancuran karena tidak adanya pedoman yang jelas. Selain itu ajaran islam juga memiliki peran yang penting dalam menciptakan rumah tangga yang harmonis, yang penuh dengan kasih sayang dan berhasil dalam pemenuhan hak dan kewajiban suami maupun istri.

Pembahasan

Pengertian perkawinan

Perkawinan berasal dari kata "kawin" secara bahasa Indonesia yang secara etimologi memiliki arti membentuk keluarga dengan lawan jenis (melakukan hubungan kelamin atau bersetubuh). Perkawinan juga disebut sebagai pernikahan yang berasal dari kata "nikah" yang artinya al-jam'u dan al-dhhamu,yang memiliki arti kumpul atau mengumpulkan, saling memasukkan dan bersetubuh. Sedangkan secara terminologi, nikah adalah akad yang ditetapkan syara untuk memperbolehkan laki-laki dan perempuan bersenang-senang dan menghalalkan hal tersebut.

Menurut undang-undang perkawinan memiliki pengertian yaitu ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan yang maha esa. Disamping itu, kompilasi hukum islam juga menjelaskan apa pengertian dari perkawinan yaitu akad yang kuat atau miitsaqan ghalizhan untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya adalah ibadah.

Hukum perkawinan

Wajib, pernikahan akan menjadi wajib untuk seseorang yang sudah siap baik secara mental maupun finansial, dan seseorang itu memiliki kekuatan kuat untuk menyalurkan hasrat seksual dalam dirinya, serta seseorang itu takut akan melakukan perzinaan apabila tidak menikah.

Sunnah, pernikahan akan menjadi sunnah atau dianjurkan apabila seseorang sudah memiliki kemampuan mental maupun finansial serta memiliki hasrat seksual untuk menikah, namun memiliki keyakinan bahwa ia masih bisa mengendalikan dirinya agar tidak melakukan sesuatu yang dilarang Allah atau zina.

Haram, pernikahan akan menjadi haram apabila seseorang mengetahui bahwa dirinya tidak dapat memenuhi kewajibannya baik secara lahiriyah maupun secara batiniyah sebagai seorang suami kepada istrinya.

Makruh, pernikahan menjadi makruh apabila seorang laki-laki tidak membutuhkan pernikahan, baik disebabkan tidak mampu memenuhi hak calon istri yang bersifat lahiriyah maupun tidak memiliki hasrat seksual, namun calon istri tidak merasa terganggu atas ketidakmampuan calon suami tersebut.

Mubah, pernikahan menjadi boleh dilakukan ataupun boleh ditinggalkan apabila tidak ada sesuatu yang mewajibkan untuk melakukan atau keharusan untuk meninggalkan sesuai dengan syariat.

Syarat dan rukun perkawinan

Pertama, akad nikah

Akad nikah merupakan suatu perjanjian dari kedua belah pihak (mempelai perempuan dan mempelai laki-laki) yang berupa dalam ijab dan qabul. Adapun syarat dari akad nikah yaitu adanya pernyataan ijab dan qabul, ijab dan qabul harus diucapkan secara bersambung dan memiliki maksud yang jelas.

Kedua, calon mempelai pria dan calon mempelai wanita

Adapun syarat bagi kedua calon mempelai yaitu beragama islam, jelas bahwa ia perempuan ataupun laki-laki, dan tidak adanya penghalang perkawinan.

Ketiga, wali dalam perkawinan

Wali merupakan orang yang bertindak atas nama mempelai perempuan dalam suatu akad nikah. Menurut undang-undang no 20 wali harus seorang laki-laki muslim, aqil dan baligh.

Keempat, saksi

Menurut kompilasi hukum islam, saksi haruslah seorang laki-laki muslim, yang adil, akil, baligh, tidak memiliki ketergangguan ingatan dan bukan seseorang yang tuna rungu.

Kelima, mahar

Mahar atau mas kawin merupakan sesuatu yang dapat berupa uang ataupun barang yang diberikan dari mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan pada saat terjadinya akad. Pada pasal 31 undang-undang perkawinan disebutkan bahwa mahar berdasarkan atas asas kesederhanaan dan kemudahan yang dianjurkan oleh islam.

Tujuan perkawinan

Secara aspek personal, pernikahan bertujuan untuk seorang laki-laki maupun perempuan dapat menyalurkan nafsu seksualnya secara sah serta untuk mendapatkan keturunan.

Secara aspek ritual, perkawinan merupakan salah satu sunnah nabi dan perintah Allah.

Secara sosial, perkawinan ini bertujuan untuk menciptakan rumah tangga yang baik sebagai fondasi masyarakat yang baik, selain itu perkawinan juga membedakan manusia dengan makhluk lain untuk menyalurkan kepentingan yang sama.

Hak dan kewajiban suami istri

Undang-undang perkawinan Bab VI pasal 30 sampai dengan pasal 34 mengatur mengenai hak dan kewajiban suami istri. Dalam kompilasi hukum islam, hak dan kewajiban suami istri diatur dalam Bab XII pasal 77 sampai dengan pasal 84. Undang-undang perkawinan pasal 30 menyatakan "suami istri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar dari susunan Masyarakat". Sementara dalam kompilasi hukum islam pasal 77 ayat 1 menyatakan "suami istri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang sakinah, mawadah dan rahmah yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat.

Larangan perkawinan

Perkawinan merupakan sesuatu yang sangat dianjurkan dalam islam, namun ada beberapa hal yang membuat perkawinan dilarang untuk dilaksanakan. Menurut syara, larangan perkawinan dibagi menjadi dua yaitu halangan abadi (haram ta'bid) dan halangan sementara (haram gairu ta'bid atau ta'qit).

Mahram ta'bid merupakan orang-orang yang selamanya dilarang untuk dinikahi atau dikawini. Larangan untuk dinikahi selamanya ini disepakati terdiri dari nasab (keturunan), saudara persusuan, dan kerabat semenda.

Haram gairu ta'bid atau ta'qit atau wanita-wanita yang haram dinikahi sementara, sehingga apabila penghalang tersebut sudah tidak ada maka dapat dinikahi. Adapun hal-hal yang melarang terjadinya perkawinan ini yaitu:

Pertama, halangan bilangan yaitu menikahi wanita lebih dari empat

Kedua, halangan mengumpulkan yaitu menikahi dua orang perempuan yang bersaudara dalam waktu yang bersamaan

Ketiga, halanagn kafir, wanita musyrik atau yang menyembah selain Allah

Keempat halangan ihram, wanita yang sedang melakukan ihram tidak boleh dinikahi

Kelima, halangan iddah, wanita yang sedang dalam masa iddah, baik iddah cerai atau iddah ditinggal mati

Keenam, halangan peristrian, wanita yang ditalak tiga haram menikah lagi dengan suaminya kecuali jika menikah lagi dengan orang lain dan telah bercampur serta telah dicerai oleh suami terakhir dan telah selesai masa iddahnya, wanita yang masih terikat dalam perkawinan dengan laki-laki lain.

Dalam kompilasi hukum islam pasal 40 disebutkan sebab-sebab laki-laki dan perempuan dilarang melangsungkan perkawinan karena

pertama, wanita yang bersangkutan masih terikat satu perkawinan dengan pria lain

kedua, wanita yang masih berada dalam masa iddah dengan pria lain

ketiga, wanita yang tidak beragama islam.

Pengertian hadanah

Secara etimologi, hadanah berasal dari kata hadana yang memiliki arti menghimpun, tinggal, memelihara, mengasuh dan memeluk. Sedangkan secara terminologi hadanah memiliki arti pendidikan dan pemeliharaan anak sejak lahir sampai bisa berdiri sendiri. Namun menurut istilah ahli fiqh, hadanah berarti melindungi anak dari segala bahaya yang mungkin menimpanya, menjaga kesehatan jasmani dan rohaninya, menjaga makanan dan kebersihan, dan berusaha mendidiknya sampai dia mampu berdiri sendiri dalam kehidupan sebagai seorang muslim.

Adapun syarat-syarat bagi seseorang yang memelihara anak yaitu balig dan berakal, merdeka, islam, terpercaya dan berbudi luhur, seseorang yang mengasuh dalam kondisi aman, seseorang yang mempu mendidik, tidak mempunyai penyakit yang tidak dapat disembuhkan, dan bukan seorang mufasir.

Orang yang berhak melakukan hadanah

Pertama, ibu kandung. Apabila ibu kandung tidak dapat melaksanakannya maka diserahkan kepada ibunya ibu atau nenek, apabila nenek dan seterusnya ke atas. Jika masih berhalangan, maka dapat diserahkan kepada nenek dari pihak ayah atau ibunya ayah. Kemudian setelahnya kepada saudara kandung dari anak tersebut.

Kedua, ayah kandung. Jika berhalangan maka selanjutnya kepada ayahnya ayah atau kakek dan seterusnya ke atas. Kemudian saudara laki-laki sekandung, saudara laki-laki seayah.

Untuk kepentingan anak dan pemeliharannya terdapat syarat-syarat hadanah bagi hadin

  • Tidak teriakat dalam suatu pekerjaan yang membuat ia tidak dapat melakukan pemeliharaan dengan baik. Seperti contoh bahwa seorang hadanah menghabiskan seluruh waktunya di tempat kerja.
  • Hadanah harus merupakan orang yang bertanggungjawab,maka ia harus mukallaf, baligh, berakal dan tidak memiliki gangguan dalam ingatannya.
  • Seorang yang merawat hendaknya memiliki kemampuan untyk melakukan hadanah. Dalam merawat anak, seseorang harus dapat menjamin pemeliharaan dan pendidikannya terutama yang berhubungan dengan budi pekerti.
  • Akan lebih baik bahwa seorang hadanah tidak memiliki suami yang bukan mahram bagi sang anak sehingga hadinah itu berhak melakukan hadanah
  • Hadanah setidaknya orang yang tidak membenci anak-anak

Hak dan kewajiban orangtua terhadap hadanah anak

Adapun tanggungjawab orang tua terhadap anak yaitu

Pertama, mengajarkan kepada anak agar memiliki sikap dapat menebarkan kebaikan atau manfaat bagi orang lain.

Kedua, memberi nama anak dan memanggi anak dengan nama yang baik

Ketiga, mengajarkan anak dengan ilmu-ilmu agama

Keempat, mengajari anak tentang akhlak yang mulia dan menjauhkan anak dari akhlak-akhlak yang tercela

Kelima, memberi tahu dan mengjari cara menghargai dan memhormati orang tua, guru, teman dan tetangga.

Adapun anak memiliki hak-hak sebagai berikut

Pertama, hak untuk hidup

Kedua, hak pengasuhan dan penyusuan (hadanah)

Ketiga, hsk mendapatkan kasih saying

Keempat, hak mendapatkan perlindungan dan nafkah di dalam keluarga

Kelima, hak pendidikan dalam keluarga

Keenam, hak mendapatkan kebutuhan pokok sebagai warna negara

Poligami

Poligami disebut ta'did zaujah (bilangan pasangan) dalam Bahasa arab. Kata poligami terdiri dari dua kata yaitu "poli" yang memiliki arti banyak dan "gami" yang berarti istri. Sehingga dapat disebutkan bahwa poligami adalah seorang suami yang memiliki istri banyak dalam waktu yang bersamaan.

Para ahli membedakan istilah bagi suami yang memiliki istri banyak atapun istri yang memiliki suami banyak. Suami yang memiliki istri lebih dari satu disebut poligami, sedangkan istri yang memiliki suami lebih dari satu disebut poliandri.

Orang-orang hindu, bangsa israil, Persia, arab, romawi, babilonia dan bangsa yahudi sudah mengenal poligami dan membolehkan poligami sebelum datangnya islam. Dr. august forel juga mengatakan bahwa poligami sudah dijalankan oleh bangsa-bangsa sejak zaman primitif, bahkan hingga sekarang.

Poligami dalam islam

Islam memperbolehkan poligami sampai memiliki empat orang istri namun dengan syarat dapat berlaku adil kepada setiap istrinya, baik adil dalam melayani istri secara lahitiyah maupun batiniyah. Namun apabila seorang suami takut tidak dapat berbuat adil, maka lebih baik menikahi seorang perempuan satu saja. Hal ini berdasarkan firman Allah SWT dalam quran surah an-nisa ayat 3.

Islam memandang poligami lebih banyak mudaratnya daripada manfaatnya karena manusia menurut fitrahnya mempunyai watak cemburu, iri hati, dan suka mengeluh. Sifat-sifat tersebut akan mudah timbul dalam kehidupan poligami, sehingga resiko konflik dalam hubungan antara suami istri atau konflik antara istri-istri akan jauh lebih besar. Sehingga, islam menyarankan untuk seorang suami hanya memiliki satu istri saja atau monogami, sehingga akan meminimalisir adanya konflik dalam hubungan berumah tangga.

Dalam islam, untuk melakukan poligami harus memenuhi syarat-syarat tertentu yaitu

Pertama, jumlah maksimal istri yang boleh dipoligami paling banyak yaitu empat orang. Apabila diantara keempat istrinya ada yang meninggal atau bercerai, maka suami diperbolehkan memiliki istri yang lain.

Kedua, seorang suami harus bisa berlaku adil kepada istri-istri dan anak-anaknya menyangkut masalah lahiriah seperti pembagian waktu, pemberian nafkah dan sebagainya.

Hukum poligami di Indonesia

Di Indonesia, poligami diatur dalam undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan pasal 3,4 dan 5 yang menentukan bahwa perkawinan berasas monogami, tetapi membuka kemungkinan atas izin pengadilan untuk memperbolehkan terjadinya poligami.

Permintaan izin tersebut dalam bentuk pengajuan perkara yang bersifat kontentius atau sengketa. Sesuai peraturan undang-undang nomor 4 tahun 1974, permohonan poligami dikabulkan dengan alasan-alasan sebagai berikut

  • Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai seorang istri
  • Istri memiliki cacat atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan
  • Istri tidak dapar memberikan keturunan

Adapun persyaratan-persyaratan lain yang harus dipenuhi oleh laki-laki sesuai dengan pasal 5 yaitu

  • Harus dengan persetujuan dari istri
  • Harus ada kepastian bahwa suami mampu menjamin dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan istri dan anak-anak mereka
  • Harus ada jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka.

Batas usia perkawinan

Ayat-ayat dalam al-qur'an tidak ada yang menjelaskan mengenai batasan usia menikah. Adapun ayat al-qur'an yang membahas terkait kelayakan seseoramg untuk menikah terdapat pada surat an-nur ayat 32 dan 59. Dalam ayat 32 surat an-nur ditafsirkan oleh maraghy bahwa para laki-laki atau perempuan yang mampu untuk menikah dan menjalankan hak suam istri seperti berbadan sehat, mempunyai harta dan lain-lain. Namun secara historis, batasan usia pernikahan dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW dengan aisyah yaitu berusia 9 tahun. Adapun batasan usia 15 tahun sebagaimana yang diriwayatkan ibnu umar.

Landasan normatife dilihat dari kacamata sosiologis tentang batasan usia baliq atau batasan usia nikah dapat disimpulkan bahwa dasar minimal pembatasan adalah 15 tahun, meskipun aisyah berumur 9 tahun ketika dinikahi Rasulullah. Diumur 15 tahun, diambil pemahaman bahwa umur tersebut merupakan awal kedewasaan bagi anak laki-laki. Adapun bagi perempuan, 9 tahun, untuk daerah seperti Madinah telah dianggap memiliki kedewasaan.

Batasan usia perkawinan di Indonesia

Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, ada perubahan yang menjangkau batas usia untuk melakukan perkawinan. Batas minimal umur perkawinan bagi wanita dinaikkan menjadi 19 (sembilan belas) tahun, sama dengan batas minimal umur perkawinan bagi pria. Usia yang dimaksudkan dianggap cukup matang secara mental dan fisik untuk melangsungkan pernikahan dengan tujuan mewujudkan tujuan perkawinan tanpa perceraian dan menghasilkan keturunan yang sehat dan berkualitas. Selain itu, diharapkan bahwa kenaikan batas umur wanita untuk menikah menjadi 16 (enam belas) tahun akan mengurangi laju kelahiran dan mengurangi resiko kematian ibu dan anak. Selain itu, hak-hak anak juga dapat dipenuhi untuk memaksimalkan pertumbuhan anak, yang mencakup pendampingan orang tua dan akses ke pendidikan setinggi mungkin.

Pasal 6 undang-undang no 1 tahun 1974 membahas secara lengkap tentang izin dari pihak orang tua atau wali dan usia pernikahan

1) Perkawinan harus didasarkan pada keinginan kedua calon mempelai.

2) Izin kedua orang tua diperlukan untuk melangsungkan perkawinan bagi orang yang belum mencapai usia 21 (dua puluh satu) tahun.

3) Jika salah satu dari kedua orang tua meninggal dunia atau tidak dapat menyatakan kehendaknya, izin yang dimaksud dalam ayat (2) pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya.

4) Izn dapat diperoleh dari wali, orang yang memelihara, atau orang yang memiliki hubungan darah dalam garis keturunan lurus kebawah selama orang tua masih hidup atau dalam keadaan di mana mereka tidak dapat menyatakan kehendaknya.

5) Jika ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut dalam ayat (2), (3), dan (4) pasal ini, atau salah seorang atau lebih dari mereka tidak menyatakan kehendaknya, pengadilan dalam daerah hukum tempat orang yang akan melangsungkan perkawinan dapat memberikan izir atas permintaan orang tersebut setelah mendengarkan orang-orang tersebut dalam ayat (2), (3), dan (4) pasal ini.

 

Nikah mut'ah

Nikah mutah adalah akad yang dilakukan oleh seorang aki-laki terhadap perempuan dengan menggunakan lafazh mattu, istimta" atau sejenisnya. Ada yang mengatakan nikah mutah disebut juga kawin kontrak (mu'aqqat) dengan jangka waktu tertentu atau tidak tertentu, tanpa wali atau saksi. Sayyid Sabiq mengatakan bahwa nikah murah disebut juga kawin sementara atau kawin putus karena laki-laki yang mengawini perempuannya itu menentukan waktu.

Syarat-syarat nikah mut'ah menurut Syi'ah Imamiyah adalah sebagai berikut

1 Ucapan ijab kabulnya dengan lafazh zawwajtuka atau ankahtuka atau matta tuka

2 Calon istri harus seorang muslimah atau kitabiyah, tetap diutamakan muslimah

3. Harus dengan mahar dan harus disebutkan maharnya

4 Batas waktunya jelas

5. Batas waktunya diputuskan berdasarkan persetujuan masing-masing.

Adapun hukum yang berkaitan dengan nikah murah adalah sebagai berikut.

1. Jika maskawinnya tidak disebutkan, tetapi batas waktunya disebut, akad nikahnya batal. Jika maharnya disebutkan, sedangkan batas waktunya tidak disebutkan, perkawinannya menjadi kawin biasa.

2. Tidak ada hukum untuk membuat syarat-syarat sebelum akad nikah, sekiranya disebutkan, harus dipatuhi.

3. Suami boleh mendatangi calon istrinya dengan waktu yang telah ditentukan oleh masing-masing pihak.

4. Suami boleh melakukan azal tanpa izin calon istrinya.

5. Anak yang lahir menjadi anaknya walaupun ia melakukan azal.

6. Tidak ada talak dan tidak ada lian.

7. Tidak ada hak waris antara suami istri.

8. Anaknya berhak mewarisi dari ayah dan ibunya, dan ayah atau ibunya berhak mewarisi dari anaknya.

9. Masa iddah dua kali masa haid, bagi yang masih berhaid. Adapun wanita yang sudah berhenti haidnya, masa iddah- nya 45 hari dan iddah wafatnya 4 bulan 10 hari.

10. Tidak dibenarkan melakukan akad baru sebelum habis masa yang telah ditentukan, tetapi suami boleh dengan ridanya menghibahkan sisa waktu untuk istrinya.

Hukum nikah mut'ah

Sebagian besar fuquha menganggap nikah mut'ah tidak sah, tetapi Syi'ah imamiyah tetap mengizinkannya.
Menurut fuqaha Ahlu Sunnah, nikah mut'ah hukumnya haram dari zaman Rasulullah SAW hingga saat ini dan bahkan sampai hari kiamat, karena Rasulullah SAW telah mengharamkan enam kali dalam beberapa kesempatan.

Menurut fuqaha Syi'ah Imamiyah, nikah mut'ah diizinkan karena tidak ada ayat yang melarangnya, dan dihalalkan bagi laki-laki dalam keadaan safar (bepergian) maupun mugim (menetap). Sampai saat ini, nikah mut'ah masih diizinkan.

Nikah sirri

Orang Indonesia memiliki dua pendapat tentang nikah sirri. Pertama, nikah sirri dipahami sebagai sebuah akad nikah yang tidak dicatat di Pegawai Pencatat Nikah, namun syarat dan rukunnya sudah sesuai dengan hukum Islam. Kedua, nikah sirri didefinisikan sebagai pernikahan yang dilakukan tanpa wali nikah yang sah dari pihak perempuan.

Wilian Suyuti Musthafa menjelaskan bahwa nikah sirri dapat dibedakan menjadi dua jenis.

1. Akad nikah yang dilakukan oleh seorang laki-laki dan seorang perempuan tanpa hadirnya orang tua atau wali dari pihak perempuan. Dalam bentuk pernikahan ini akad nikah hanya dihadiri oleh laki-laki dan perempuan yang akan melaksanakan akad nikah, dua orang saksi, dan guru atau ulama yang menikahkan tanpa memperoleh pendelegasian dari wali nikah yang berhak. Padahal, guru atau ulama tersebut dalam pandangan hukum Islam tidak berwenang menjadi wali nikah karena ia tidak termasuk prioritas dalam wali nikah.

2. Akad nikah yang telah memenuhi syarat dan rukun suatu perkawinan yang legal sesuai dengan ketentuan hukum Islam, tetapi tidak dicatatkan sesuai dengan kehendak Undang-Undang Perkawinan di Indonesia.

Adapun masalah pencatatan perkawinan yang tidak dilaksanakan tidak mengganggu keabsahan suatu perkawinan yang telah dilaksanakan sesuai hukum Islam karena hanya menyangkut aspek administratif. Hanya, apabila suatu per- kawinan tidak dicatatkan, suami istri tersebut tidak memiliki bukti autentik bahwa mereka melaksanakan suatu perkawinan yang sah. Berdasarkan aspek yuridis, akibatnya perkawinan tersebut tidak diakui pemerintah sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum (no legal force). Oleh karena itu, perkawinan tersebut tidak dilindungi oleh hukum, bahkan dianggap tidak pernah ada.

Akibat nikah sirri

  • Istri sirri tidak dianggap sebagai istri sah secara hukum. Mereka tidak berhak atas nafkah dan warisan jika suami mereka meninggal dunia, serta tidak berhak atas pembagian harta jika perpisahan terjadi.
  • Istri sirri sering dianggap sebagai istri simpanan atau tinggal serumah dengan laki-laki tanpa ikatan perkawinan, yang membuatnya sulit bersosialisasi secara sosial.
  • Menurut hukum negara, ketidaksahnya perkawinan sirri berdampak negatif pada status anak yang dilahirkan, yang dianggap sebagai anak tidak sah. Akibatnya, anak hanya memiliki hubungan perdata dengan ibunya dan keluarganya (Pasal 42 dan 43 UU Perkawinan, Pasal 100 KHI). Dalam akta kelahirannya, hanya dicantumkan nama ibu yang melahirkannya karena statusnya sebagai anak luar nikah.

Hukum nikah sirri

Sistem hukum Indonesia tidak mengenal istilah nikah sirri dan semacamnya, dan tidak mengatur secara khusus dalam sebuah peraturan. Secara sosiologis, istilah ini diberikan bagi perkawinan yang tidak dicatatkan dan dianggap dilakukan tanpa memenuhi ketentuan Undang-undang yang berlaku, khususnya tentang pencatatan perkawinan yang diatur dalam UU Perkawinan Pasal 2 ayat 2.

Hal ini berarti, perkawinan dianggap sah apabila telah dilakukan menurut hukum Islam (menurut hukum agama dan kepercayaan yang sama dari pasangan calon suami istri). Selain itu, pasangan suami istri tersebut, berdasarkan Pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan, mempunyai kewajiban mencatatkan perkawinannya ke KUA (Pegawai Pencatat Nikah) dan mendapatkan buku nikah sebagai bukti pencatatan perkawinan.

Nikah hamil

Nikah hamil sering diartikan dalam kajian Arab dengan istilah al-tazawwuj ni al-haml, artinya perkawinan seorang pria dengan seorang wanita yang sedang hamil. Hal ini terdapat dua kemungkinan; dihamili terlebih dahulu sebelum dinikahi atau dihamili oleh orang lain, kemudian menikah dengan orang yang bukan menghamilinya.

Bayi yang dilahirkan dari hasil pernikahan hamil disebut oleh ahli hukum Islam sebagai istilah ibn al-zinaa atau ibn al- mula'ana. Jadi, nama tersebut dinisbatkan kepada kedua orangtua yang telah berbuat zina atau melakukan perbuatan dosa. Adapun bayi yang dilahirkannya tetap suci dari dosa dan tidak mewarisi atas dosa yang dilakukan oleh kedua orangtuanya.

Menurut para ulama, di antaranya Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafi'i, dan Imam Hanbali, pernikahan keduanya sah dan boleh bercampur sebagaimana suami istri, dengan ketentuan apabila pria tersebut yang menghamilinya kemudian ia mengawininya, tetap keduanya dianggap sebagai pezina. Ibnu Hazm berpendapat bahwa keduanya boleh dinikahkan dan boleh bercampur, dengan ketentuan apabila telah bertobat dan menjalani hukuman dera

Menurut KHI Bab VIII Pasal 5 ayat (1), (2) dan (3) disebutkan:

1. Seorang wanita hamil diluar nikah, dapat dikawinkan dengan seorang wanita yang menghamilinya.

2. Perkawinan dengan wanita hamil yang tersebut dalam ayat (1) dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu dilahirkan anaknya.

3. Dengan dilangsungkannya pada saat wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir.

Nikah beda agama

Dalam hal pernikahan beda agama ada beberapa pendapat para ulama tentang hukumnya

  • Menikahi wanita musyrik
  • Seorang muslim diharamkan untuk menikah dengan seorang kafir majusi, bai kia menyembah api, komunisme, politeisme, perempuan zindiq, maupun berhala.
  • Menikahi perempuan ahli kitab
  • Seorang laki-laki muslim diperbolehkan dan halal untuk menikahi seorang perempuan ahli kitab yang merdeka, hal ini berdasarkan firman Allah dalam surah al-maidah ayat 5.

Majelis Ulama Indonesia (MUI) memberikan fatwa bahwa pernikahan beda agama haram hukumnya. Hal ini berdasarkan Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 211, Al-Ma'idah ayat 5, Al- Mumtahanah ayat 10, dan At-Tahrim ayat 6. Selain Al-Quran, juga hadis Rasulullah SAW., "Barang siapa telah kawin, ia telah memelihara setengah dari imannya, karena itu, hendaklah ia takwa kepada Allah dan bagian yang lain" (H.R. Al-Tabrani).

Oleh sebab itu, MUI berpendapat bahwa pernikahan beda agama hukumnya haram. MUI menambahkan tentang perkawinan laki-laki Muslim dengan ahli kitab, "Setelah mempertimbangkan mudaratnya lebih besar dari pada maslahatnya, MUI memfatwakan bahwa pernikahan itu haram hukumnya."

Adapun ulama Nahdhatul Ulama (NU) juga telah menetap- kan fatwa tentang nikah beda agama. Ulama NU menegaskan bahwa nikah dengan orang yang berbeda agama di Indonesia hukumnya tidak sah (haram)."

Majlis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah juga telah menetapkan fatwa tentang nikah beda agama. Secara tegas ulama Muhammadiyah menyatakan bahwa seorang wanita Muslim dilarang menikah dengan laki-laki non-Muslim. Hal ini sesuai dengan Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 211.

Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 Pasal 2 ayat 1 disebutkan bahwa: "Pernikahan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu."

Mafsadat nikah beda agama

Nikah beda agama memiliki mafsadat dan mudarat yang sangat besar dibandingkan dengan manfaatnya, terlebih berkaitan dengan akidah dan syariat orang muslim.

Dari segi akidah dapat dikatakan orang kafir mengajak pada kekafiran. Karena orang musyrik tidak memiliki agama yang benar yang dapat membimbing mereka dan tidak memiliki pedoman menuju jalan yang benar.

Kemudian dari segi syariat, pernikahan beda agama mendatangkan banyak mudharat, diantaranya yaitu

  • Nikah beda agama sama dengan zina
  • Menikah beda agama tidak mengandung pahala ibadah
  • Pernikahan beda agama dapat menghilangkan hak waris.

Perceraian atau talak

Talak diambil dari kata ithlaq, artinya melepaskan atau irsal artinya memutuskan atau tarkun artinya meninggalkan, firaakun artinya perpisahan. Dalam istilah agama, talak adalah melepaskan hubungan perkawinan atau bubarnya perkawinan. Dalam Kompilasi Hukum Islam, talak adalah ikrar suami di hadapan sidang Pengadilan Agama karena suatu sebab tertentu. menurut istilah syara' talak yaitu melepas tali perkawinan dan mengakhiri hubungan suami istri.

Macam-macam talak

Secara garis besar, ditinjau dari boleh dan tidaknya rujuk, talak dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu

1. Talak Raj'i

Talak raj'i adalah talak ketika suami masih mempunyai hak untuk merujuk atau talak yang masih memungkinkan bagi suami untuk kembali kepada istrinya tanpa akad nikah baru. Talak pertama dan kedua yang dijatuhkan suami terhadap istri yang sudah pernah dicampuri dan bukan atas permintaan istri yang disertai tebusan ('iwad), selama masih dalam masa iddah disebut juga talak raj'i.

Dengan demikian, apabila seorang suami menjatuhkan talak pertama atas istri, suami dapat merujuknya tanpa harus melakukan akad nikah baru selama masa iddah-nya belum habis. Al-Syiba'i berpendapat bahwa talak raj'i adalah talak yang untuk kembalinya istri kepada suaminya tidak memerlukan pembaruan akad nikah, tidak memerlukan mahar, serta tidak memerlukan persaksian.

2.Talak Ba'in

Talak ba'in adalah talak yang tidak memungkinkan suaminya untuk rujuk kepada istrinya, kecuali dengan melakukan akad nikah baru. Talak ba'in ada dua macam, yaitu sebagai berikut.

a. Talak ba'in sughra (kecil), yaitu talak satu atau dua yang dijatuhkan kepada istri yang belum pernah dikumpuli, talak satu atau dua yang dilakukan atas permintaan istri dengan membayar tebusan ('iwadh), atau talak satu atau dua yang dijatuhkan kepada istri yang pernah dikumpuli bukan atas permintaan dan tidak membayar iwadh setelah masa iddah-nya habis

b. Talak ba'in kubra (besar) adalah talak yang telah dijatuhkan sebanyak tiga kali. Suami yang telah menjatuhkan talak tiga kali tidak boleh rujuk kepada istrinya, kecuali istrinya tersebut telah melakukan pernikahan dengan laki-laki lain dan telah melakukan hubungan jima' dengan suami baru, kemudian terjadi perceraian. Dalam perceraian baru itu tidak boleh direncanakan sebelumnya. Dengan kata lain, suami yang telah menjatuhkan talak tiga kali terhadap istrinya, tiba-tiba menyesal, tidak boleh meminta orang lain untuk menikahi istrinya itu, dengan meminta setelah beberapa waktu menggaulinya kemudian menceraikannya.

Hukum Talak

Dilihat dari sisi kemaslahatan dan kemudaratannya, hukum talak ada lima.

1. Apabila terjadi perselisihan antara suami istri lalu tidak ada jalan yang ditempuh, kecuali dengan mendatangkan dua saksi yang mengurus perkara keduanya. Jika kedua hakim tersebut memandang bahwa perceraian lebih baik bagi mereka, saat itulah talak menjadi wajib. Jadi, jika sebuah rumah tangga mendatangkan keburukan, perselisihan, pertengkaran, bahkan menjerumuskan keduanya dalam kemaksiatan, hukum talak adalah wajib baginya.

2. Makruh, yaitu talak yang dilakukan tanpa adanya tuntutan dan kebutuhan

3. Mubah, yaitu talak yang dilakukan karena adanya kebutuhan. Misalnya, karena buruknya akhlak istri dan kurang baiknya pergaulan yang hanya mendatangkan mudarat dan menjauhkan mereka dari tujuan pernikahan.

4. Sunah, yaitu talak yang dilakukan ketika istri mengabaikan hak-hak Allah SWT. yang telah diwajibkan kepadanya. Misalnya, shalat, puasa, dan kewajiban lainnya, sedangkan suami juga sudah tidak mampu memaksanya atau istrinya sudah tidak lagi mampu menjaga kehormatan dirinya.

5. Mahzhur (terlarang), yaitu talak yang dilakukan ketika istri sedang haid. Para ulama di Mesir telah sepakat mengharamkannya. Talak ini juga disebut dengan talak bid'ah karena suami yang menceraikannya itu menyalahi sunnah Rasulullah SAW. dan perintah Allah SWT.

Pembubaran perkawinan yang terdapat dalam KUHP (BW) pada bab ke-10 berkaitan dengan bagian ketiga dalam KUHP (BW) tentang perceraian perkawinan. Sebagaimana terdapat dalam Pasal 208 dikatakan dalam perceraian suatu perkawinan sekali-kali tak dapat tercapai dengan persetujuan antara kedua belah pihak, alasan-alasan yang menjadikan perceraian adalah sebagai berikut:

1. zina;

2. meninggalkan tempat tinggal bersama dengan iktikad jahat;

3. penghukuman dengan hukuman penjara lima tahun lamanya atau dengan hukuman yang lebih berat, yang diucapkan setelah perkawinan;

4. melukai berat atau mengenainya, dilakukan oleh suami atau oleh istri terhadap istri atau suaminya sehingga membahayakan jiwa pihak yang dilukai atau dianiaya, atau mengakibatkan luka-luka yang membahayakan.

Kesimpulan

Sebagai umat muslim, sangatlah penting untuk memahami hukum perkawinan dalam islam sebagai landasan sehingga dapat menjalankan kehidupan berumah tangga yang sesuai dengan ajaran agama. Dari belajar mengenai hukum perkawinan kita banyak mengetahui tentang persyaratan perkawinan menurut islam, memahami hak dan kewajiban seorang suami dan istri, mengerti apa-apa saja yang menjadi larangan dalam perkawinan. Dengan adanya hukum perkawinan dan hukum perkawinan islam ini, kita dapat mengetahui dan mempelajari apa saja problematika dalam rumah tangga. Dan kita juga belajar bagaimana cara penyelesaian masalah tersebut yang tentu saja sesuai dengan al-qur'an maupun sesuai dengan undang-undang perkawinan.

Inspirasi yang saya dapatkan dari buku ini

  • Penting sekali bagi saya maupun seseorang untuk memahami suatu hukum dengan tujuan menambah pengetahuan dan menjadikannya landasan dalam kehidupan
  • Saya dapat memahami bahwa posisi hak dan kewajiban menduduki tempat yang seimbang
  • Buku ini menginspirasi saya untuk lebih dalam lagi mempelajari mengenai hukum islam, terlebih lagi mengenai hukum perkawinan itu sendiri

Bibliography

Bunyamin mahmudin, hermanto agus. Hukum Perkawinan Islam. Cetakan 1. Bandung. CV Pustaka Setia. 2017

 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun