Mohon tunggu...
zahwa minhatus
zahwa minhatus Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa

.

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Review Skripsi Pembatalan Poligami karena Tanpa Izin Istri Pertama Perspektif Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum

2 Juni 2024   11:35 Diperbarui: 3 Juni 2024   10:49 95
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ruang Kelas. Sumber Ilustrasi: PAXELS

Nama : Zahwa Minhatussani

Nim : 222121113

Kelas : HKI 4E

Judul: Pembatalan Poligami Karena Tanpa Izin Istri Pertama Perspektif Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Dan Kompilasi Hukum Islam (Studi Putusan Pengadilan Agama Klaten Nomor 1968/Pdt.G/2016/PA.Klt)

Penulis: Arum Sari Puspita Dewi

NIM: 152121091

Prodi: Hukum Keluarga Islam

Fakultas: Syariah

Universitas: UIN Raden Mas Said Surakarta 

Tahun Penulisan: 2022

A. Pendahuluan

 Dalam situasi apa pun, keadaan ideal seorang istri dan suami adalah sesuatu yang tidak bisa didapatkan sepenuhnya. Hal tersebut tidak akan menjadi kendala apabila suami-istri tersebut sepakat untuk mengarungi bahtera rumah tangga dengan kesiapan mental dan saling memahami diantara keduanya. Perkawinan poligami adalah perkawinan dimana suami mempunyai lebih seorang istri dalam waktu bersamaan. Dalam hal seorang suami yang hendak melakukan perkawinan poligami harus memenuhi persyaratan yang telah berlaku. Namun dalam kasus yang terjadi saat ini, seperti halnya poligami, dapat dikatakan sulit untuk ditangani.

Pada kenyataannya, dalam praktik pelaksanaan poligami masih banyak yang bertentangan dengan undang-undang hukum Indonesia, sebagaimana dibuktikan dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam yang menekankan pernyataan yang sangat jelas mengenai persyaratan nya yang dinilai rumit. Oleh karena banyaknya persyaratan yang harus dipenuhi, ada kecenderungan masyarakat melakukan penyimpangan demi terwujudnya poligami tersebut. Salah satu syarat yang harus dipenuhi ialah mendapatkan izin dari istri pertama dan harus mendapat izin dari Pengadilan sebagaimana telah diatur dalam Pasal 4 dan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Bahwa poligami perkawinan dipandang buruk dan mendapat penolakan dari pihak karena yang telah terjadi dalam praktisnya, suami meninggalkan perkawinan pertamanya dan lebih memihak perkawinannya dengan istri keduanya.

Diperketatnya persyaratan untuk melakukan poligami membuat tidak sedikit seorang suami melakukan poligami secara diam-diam dan tidak jujur. Karena poligami yang dilakukan secara diam-diam dan tidak jujur dalam perkawinan poligaminya. Apabila terjadi penyimpangan terhadap syarat tersebut, maka dapat diajukan permohonan pembatalan poligami. Hal ini terjadi pada perkara Nomor 1968/Pdt.G/2016/PA.Klt. Permohonan pembatalan poligami yang diajukan oleh Pemohon terhadap perkawinan poligami suaminya (Termohon) dengan wanita lain karena Termohon melakukan perkawinan poligaminya tanpa adanya izin dari Pemohon. Oleh karena itu penelitian ini dilakukan untuk membahas mengenai pertimbangan Hakim dan akibat hukum terhadap perkara tersebut.

Batalnya suatu perkawinan karena putusan pengadilan terjadi bila ada pihak yang mengajukan gugatan atau permohonan cerai dan/atau pembatalan perkawinan. Hal ini sebagaimana ditegaskan Pasal 37 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan bahwa: "Batalnya suatu perkawinan hanya dapat diputuskan oleh Pengadilan". Berdasarkan ketentuan dari Pasal-pasal tersebut sehingga tidak menutup kemungkinan bagi seorang istri yang dipoligami mengajukan pembatalan perkawinan.

Maka dari itu, penelitian ini untuk mengetauhi akibat hukum dari sebuah kasus yang bermula seorang suami (Termohon) yang telah menikah dengan istrinya (Pemohon) pada tanggal 25 Maret 2006 dan telah memiliki seorang anak. Kemudian Termohon melakukan poligami dengan perempuan lain yaitu Turut Termohon I tanpa sepengetahuan istrinya (Pemohon). Poligami tersebut terjadi karena Turut 8 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Pasal 37. 9Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan BAB IV Pasal 22 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1). Termohon I sedang mengandung anak dari hasil hubungan badan dengan Termohon.Tanpa adanya izin dari istri pertama (Pemohon) dan pengadilan, maka Termohon memalsukan identitasnya dengan mengaku berstatus bujang yang perkawinannya tercatat di KUA Kecamatan Sei Bedug Kabupaten Batam Kepulauan Riau (Turut Termohon II). Karena pemohon selaku istri pertama mendapat informasi perkawinan suaminya (Termohon) dengan perempuan lain (Termohon I) dan merasa dibohongi serta sangat dirugikan, maka Pemohon kemudian mengajukan gugatan pembatalan perkawinan poligami suaminya (termohon) dengan turut termohon I ke Pengadilan Agama Klaten sesuai dengan prosedur yang berlaku. Yang kemudian Pengadilan Agama Klaten menjatuhkan putusan yaitu mengabulkan permohonan pembatalan perkawinan antara suaminya (termohon) dengan istri keduanya (turut termohon I) yang diajukan oleh Pemohon dengan diterbitkannya putusan perkara Nomor 1968/Pdt.G/2016/PA. Klt.11).

Terdapat beberapa poin khusus yang akan menjadi pokok pembahasan dalam penelitian ini, pertimbangan Hakim Pengadilan Agama Klaten dalam memutus perkara pembatalan poligami karena tanpa izin istri pertama dalam perkara Nomor 1968/Pdt.G/2016/PA. Klt, perspektif Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam terhadap perkara pembatalan poligami karena tanpa izin istri pertama dalam perkara Nomor 1968/Pdt.G/2016/PA. Klt, akibat hukum yang ditimbulkan dari pembatalan poligami karena tanpa izin istri pertama dalam perkara Nomor 1968/Pdt.G/2016/2016/PA. Klt.

B.Alasan memilih judul ini

Berikut beberapa alasan saya memilih mereview skripsi dengan judul Pembatalan Poligami Karena Tanpa Izin Istri Pertama Perspektif Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Dan Kompilasi Hukum Islam (Studi Putusan Pengadilan Agama Klaten Nomor 1968/Pdt.G/2016/PA.Klt):

1.Relevansi dengan Hukum Perdata, Judul ini sesuai dengan kriteria yang diperintahkan. Pembahasan skripsi ini masuk pada poin hukum perdata islam di Indonesia, yaitu mengenai perkawinan. poligami merupakan salah satu masalah yang menarik untuk dibahas. selain sifatnya yang kompleks poligami menimbulkan beberapa akibat hukum yang pastinya relevan dengan pembahasan hukum perdata.

2.Pemahaman yang Lebih Mendalam, Mereview skripsi dapat membantu saya memperoleh pemahaman yang lebih mendalam tentang kompleksitas isu poligami, dengan adanya pembahasan terkait ini dapat menambah wawasan saya mengenai Poligami yang benar maupun yang menyimpang.

3.Penguatan perspektif Perempuan, sebagai seorang Perempuan saya merasa bahwa poligami lebih berdampak kepada Perempuan dan anak, dengan mereview skripsi ini saya menemukan poin yang menarik dari penelitian ini adalah bentuk hak yang diberikan kepada istri pertama yang merasa tidak adil atas poligami yang dilakukan suaminya, hal itu menunjukkan bahwa istri memiliki hak atas pernikhannya sehingga apabila ada penyimpangan seorang istri bisa mengajukan pembatalan perkawinan kepada pihak yang berwenang. Dengan adanya hal itu saya harap kepada seluruh suami untuk memahami konteks poligami yang sebenarnya sehingga dalam poligami tetap dilakukan sesuai aturan yang berlaku tidak hanya mengedepankan sunnah yang selama ini masih banyak yang disalahartikan.

4.Penelitian dan Kontribusi Akademis, Mereview skripsi semacam itu dapat memberikan kontribusi pada penelitian akademis yang lebih luas tentang hubungan pernikahan, hak-hak perempuan, dan hukum keluarga, hal ini dapat menggugah saya untuk melakukan penelitian lain dengan topik sama dengan bentuk pembahasn yang berbeda.

5.Judul ini juga berkaitan dengan rencana skripsi yang akan saya bahas, sehingga review ini dapat memberikan pandangan baru yang berkaitan dengan topik yang akan saya bahas, skripsi ini juga dapat saya jadikan sebagai referensi saya dalam pengembangan rencana skripsi saya.

C.Pembahasan Review

Bab I; Bab I, berupa pendahuluan. Pada bab ini berisikan pendahuluan yang dijadikan acuan pembahasan pada bab-bab selanjutnya dan sekaligus sebagai gambaran keseluruhan isi Penulisan, Latar belakang masalah, Perkawinan adalah salah satu kebutuhan manusia yang meliputi lahiriah dan batiniah. Kebutuhan tersebut terdorong oleh naluri biologis manusia untuk mengembangkan keturunan yang sah. Dengan terciptanya suatu perkawinan yang sah antara laki-laki dan perempuan, diharapkan dapat menciptakan pergaulan hidup rumah tangga yang damai, tentram, dan mewujudkan rasa kasih sayang diantara suami istri. Salat satu ayat yang menerangkan mengenai perkawinan Surah Ar-Rum (30):21, Ayat tersebut menjelaskan bahwa tujuan utama perkawinan ialah untuk mendapatkan kehidupan yang lebih tenteram dan memperoleh rasa cinta dan kasih sayang yang diridhoi oleh Allah SWT. Hal itu menunjukkan bahwa perkawinan dilangsungkan juga sebagai bentuk ibadah kepada Allah SWT. Sesuai dengan tujuan perkawinan sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yaitu membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Dalam suatu perkawinan, kondisi ideal dari suami atau istri merupakan hal yang tidak dapat diperoleh sepenuhnya. Hal tersebut tidak akan menjadi kendala apabila suami-istri tersebut sepakat untuk mengarungi bahtera rumah tangga dengan kesiapan mental dan saling memahami diantara keduanya. Namun dalam kasus tertentu seperti poligami dapat menjadi salah satu kendala yang bisa dikatakan sulit untuk dihadapi. Untuk menghindari hal-hal buruk yang diakibatkan dalam perkawinan poligami seperti yang sudah terjadi dalam kehidupan masyarakat, maka Undang-Undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam memberikan pengecualian (persyaratan) terhadap seorang suami yang ingin memiliki istri lebih dari satu. Yang dijelaskan dalam Undang-Undang Perkawinan dalam Pasal 3 ayat (1) “Pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seoarang suami.” Berdasarkan Undang-Undang diatas perkawinan di Indonesia menganut asas monogami, Akan tetapi, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan KHI memperbolehkan adanya perkawinan poligami dengan dipenuhinya beberapa persyaratan.

Pembatalan perkawinan merupakan suatu pembatalan terhadap perkawinan sah yang diajukan oleh orang atau pihak karena adanya sesuatu hal yang dianggap menyalahi syarat perkawinan menurut peraturan perkawinan. Subjek yang dikaji dalam penelitian ini adalah kebijakan hukum mengenai pembatalan perkawinan poligami tanpa izin istri pertama berdasarkan kasus 1968/Pdt.G/2016/PA.Klt . Penelitian ini fokus pada analisis keputusan pengadilan, implikasi hukum, dan pertimbangan hakim dalam memutuskan kasus tersebut . Subjek penelitian ini terutama berkaitan dengan aspek hukum, kebijakan, dan normatif dalam konteks pembatalan perkawinan poligami tanpa izin istri pertama.

 Dalam kasus ini pemohon sebagai istri pertama mengajukan pembatalan perkawinan yang kemudian dikabulkan oleh Pengadilan Agama Klaten, dengan diterbitkannya putusan perkara Nomor 1968/Pdt.G/2016/PA.Klt. Penelitian ini mengeksplorasi kasus 1968/Pdt.G/2016/PA.Klt karena kasus tersebut merupakan sebuah kasus yang relevan dan menarik untuk dianalisis dalam konteks kebijakan hukum mengenai pembatalan perkawinan poligami tanpa izin istri pertama. Kasus ini memberikan landasan yang konkret untuk memahami bagaimana keputusan pengadilan, pertimbangan hakim, dan implikasi hukum dari kasus tersebut.

Dengan menganalisis kasus spesifik ini, penelitian dapat memberikan wawasan yang mendalam mengenai isu hukum yang kompleks terkait dengan pembatalan perkawinan poligami tanpa izin istri pertama .Dari kasus perkara tersebut, penulis tertarik untuk melakukan Penulisan mengenai dasar yang dijadikan oleh Hakim dalam memutuskan perkara tersebut dan juga penulis ingin mengetahui akibat hukum yang timbul setelah dijatuhkannya putusan pembatalan perkawinan tersebut dalam bentuk Penulisan yang berjudul “Pembatalan Poligami Karena Tanpa Izin Istri Perspektif Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Dan Kompilasi Hukum Islam (Studi Putusan Pengadilan Agama Klaten Nomor 1968/Pdt.G/2016/PA.Klt)”.

Berdasarkan latar belakang tersebut rumusan masalah dan tujuan dari penulis dapat diketauhi, apa saja pertimbangan Hakim dalam memutuskan perkara pembatalan poligami karena tanpa izin istri pertama di Pengadilan Agama Klaten dalam perkara Nomor 1968/Pdt.G/2016/2016/PA. Klt, perspektif Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam terhadap perkara pembatalan poligami karena tanpa izin istri pertama dalam perkara Nomor 1968/Pdt.G/2016/PA. Klt, akibat hukum yang ditimbulkan dari pembatalan poligami karena tanpa izin istri pertama dalam perkara Nomor 1968/Pdt.G/2016/2016/PA. Klt. Penelitian menganalisis kebijakan hukum mengenai pembatalan perkawinan poligami tanpa izin istri pertama, dengan kasus spesifik 1968/Pdt.G/2016/PA.Klt sebagai studi kasus. Penelitian ini menyoroti aspek normatif dan hukum terkait dengan kasus tersebut, termasuk keputusan pengadilan, pertimbangan hakim, dan implikasi hukum dari pembatalan perkawinan poligami tanpa izin istri pertama. Dengan demikian, penelitian ini bertujuan untuk memberikan pemahaman yang lebih mendalam mengenai isu hukum yang kompleks dalam konteks pembatalan perkawinan poligami tanpa izin istri pertama. Skripsi tersebut bertujuan untuk memperlihatkan pertimbangan hakim dalam memutus perkara pembatalan poligami tanpa izin istri pertama serta menggali dasar hukum yang digunakan dalam proses pembatalan perkawinan tersebut.

Manfaat dari penelitian yang dicapai penulis dalam penyusunan ini, Manfaat Teoritis Secara teoritis, hasil Penulisan ini diharapkan dapat memberikan wawasan keilmuan bagi mahasiswa khususnya mahasiswa Hukum Keluarga Islam, dan bagi perkembangan pengetahuan dan keilmuan dalam bidang hukum. Khususnya di bidang Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Kompilasi Hukum Islam, dan peraturan lainnya dalam penegakkan hukum secara teori dan praktik. Manfaat Praktis Secara praktis, hasil Penulisan ini diharapkan dapat memberikan manfaat pengetahuan kepada para pembaca dan sebagai kajian baru terhadap permasalahan Hukum Keluarga Islam dalam hal pembatalan poligami karena tanpa izin istri pertama. Dan juga dapat dipergunakan sebagai referensi para penegak hukum.

Manfaat dari penelitian ini adalah memberikan pemahaman yang lebih mendalam tentang perlindungan hak-hak istri pertama dalam kasus pembatalan perkawinan poligami tanpa izin istri pertama. Selain itu, penelitian ini juga memberikan kontribusi dalam memperluas wawasan mengenai isu hukum keluarga Islam terkait dengan pembatalan perkawinan poligami. Dengan demikian, hasil penelitian ini dapat menjadi referensi yang berharga bagi para penegak hukum dan pihak terkait dalam menangani kasus serupa di masa depan.

Kerangka teori dari penelitian ini, a) Poligami Dasar Hukum dan Syarat Poligami Menurut Peraturan Perundang-undangan beberapa landasan hukum pengaturan hukum pengaturan poligami di Indonesia yakni Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan asas perkawinan adalah monogami yang tidak bersifat mutlak, tetapi monogami terbuka, oleh karena itu tidak tertutup kemungkinan dalam keadaan tertentu seorang suami melakukan poligami yang tentunya dengan pengawasan pengadilan. Mengenai prosedur atau tata cara poligami yang resmi diatur oleh Islam memang tidak ada ketentuan secara pasti. Namun, di Indonesia dalam Pasal 56 Kompilasi Hukum Islam telah mengatur hal tersebut. b) Pembatalan perkawinan, disebabkan oleh fasakh, syiqoq, adanya cacat, ketidakmampuan suami memberi nafka, suami ghaib, dilanggarny perjanjian pra nikah.

 Kerangka teori yang digunakan dalam penelitian ini mencakup aspek hukum Islam terkait dengan perkawinan poligami, norma-norma hukum yang mengatur pembatalan perkawinan, serta prinsip-prinsip keadilan dalam konteks hukum keluarga. Selain itu, kerangka teori juga mencakup pemahaman tentang hak-hak istri pertama dalam perkawinan poligami dan perlindungan hukum yang diberikan terhadap hak-hak tersebut. Dengan demikian, kerangka teori ini memberikan landasan yang kuat untuk menganalisis dan memahami isu hukum yang terkait dengan kasus pembatalan perkawinan poligami tanpa izin istri pertama.

Metode Penelitian, Jenis Penelitian Jenis Penelitian ini adalah Penelitian literer, yaitu dengan mengumpulkan sejumlah buku-buku dengan mencari referensi teori yang relevan dengan kasus yang dibahas. Metode penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah metode pendekatan normatif. Penelitian ini dilakukan dengan mengumpulkan buku-buku yang terkait dengan masalah yang sedang dibahas untuk menganalisis kebijakan hukum mengenai pembatalan perkawinan poligami tanpa izin istri pertama. Metode pendekatan normatif ini memungkinkan penulis untuk mengkaji aspek hukum yang terkait dengan kasus tersebut berdasarkan bahan hukum primer dan sekunder. Penelitian ini memilih metode pendekatan normatif daripada metode penelitian kuantitatif karena fokusnya pada analisis kebijakan hukum dan aspek normatif dalam kasus pembatalan perkawinan poligami tanpa izin istri pertama. Dalam konteks hukum, metode pendekatan normatif lebih sesuai untuk mengkaji aspek hukum, kebijakan, dan implikasi hukum dari suatu kasus. Dengan demikian, pendekatan normatif memungkinkan peneliti untuk lebih mendalam dalam menganalisis aspek hukum dan kebijakan yang terkait dengan kasus tersebut.

 Bab II, berupa landasan teori. Pada bab ini membahas tentang perkawinan yang terdiri dari tujuan perkawinan, hukum perkawinan, rukun dan syarat perkawinan. Kemudian membahas tentang poligami yang terdiri dari, dasar hukum poligami, prosedur poligami, dan hikmah poligami. Selanjutnya membahas tentang pembatalan perkawinan yang terdiri dari, dasar hukum pembatalan perkawinan, dan penyebab pembatalan perkawinan.

Penulisan ini membahas tinjauan umum tentang perkawinan, poligami, dan pembatalan perkawinan. Perkawinan adalah sunnatullah untuk melangsungkan hidup dan memperoleh keturunan. Tujuan perkawinan dalam Islam adalah membentuk keluarga bahagia dan mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah. Hukum perkawinan ditinjau dari kondisi perseorangan meliputi wajib, sunnah, mubah, makruh, dan haram. Rukun dan syarat sahnya akad nikah dalam perkawinan juga dijelaskan. Poligami adalah sistem perkawinan di mana seorang laki-laki memiliki lebih dari satu istri, dibatasi maksimal empat istri dalam Islam. Dasar hukum poligami terdapat dalam Al-Qur'an Surah An-Nisa ayat 3.

Undang-undang menganut asas monogami terbuka, namun dalam keadaan tertentu suami dapat melakukan poligami dengan izin pengadilan. Pengaturan poligami di Indonesia diatur oleh Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menganut asas monogami tetapi memungkinkan poligami dengan izin pengadilan. Syarat-syarat poligami termasuk persetujuan istri, kemampuan suami untuk menjamin kebutuhan hidup istri dan anak, serta berlaku adil. Prosedur poligami melibatkan izin dari Pengadilan Agama.

Prosedur poligami diatur dalam Kompilasi Hukum Islam. Poligami dalam konteks penelitian ini adalah poligami yang dibatalkan karena dilakukan tanpa izin dari istri pertama, seperti yang terjadi dalam kasus di Pengadilan Agama Klaten. Dalam Islam, poligami diatur dalam Al-Qur'an Surah An-Nisa ayat 3 yang memperbolehkan seorang laki-laki memiliki hingga empat istri dengan syarat adil dalam perlakuan terhadap istri-istri tersebut. Namun, Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan di Indonesia menganut asas monogami tetapi memungkinkan poligami dengan izin pengadilan.

Peraturan Pemerintah No.9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 mengatur prosedur poligami bagi masyarakat secara umum. Selain itu, Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tentang Komplikasi Hukum Islam. Dari Beberapa dasar dan aturan yang telah dikemukakan dapat dipahami bahwa asas perkawinan adalah monogami yang tidak bersifat mutlak, tetapi monogami terbuka, sebab menurut Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dikatakan bahwa seorang suami hanya boleh mempunyai seorang istri begitu begitu pula sebaliknya. Tetapi pada Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang menyatakan bahwa “Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan”. Dengan adanya ayat (2) ini berarti Undang-undang ini menganut asas monogami terbuka, oleh karena itu tidak tertutup kemungkinan dalam keadaan tertentu seorang suami melakukan poligami yang tentunya dengan pengawasan pengadilan.

Seorang suami yang hendak berpoligami harus memenuhi syarat yang telah diatur dalam pasal 5 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yakni:

 a. Untuk dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-undang ini, harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

1) Adanya persetujuan dari istri/istri-istri;

2) Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluankeperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka;

3) Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka.

b. Persetujuan yang dimaksud pada ayat (1) huruf a pasal ini tidak diperlukan bagi seorang suami apabila isteri/isteri-isterinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian, atau apabila tidak ada kabar dari isterinya selama sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun, atau karena sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari Hakim Pengadilan.

Adapun dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 55 yang mengatur tentang persyaratan yang harus dipenuhi oleh seorang suami yang hendak beristri lebih dari satu yaitu:

1) Beristri lebih dari satu orang pada waktu yang bersamaan, terbatas hanya sampai empat orang istri.

2) Syarat utama beristri lebih dari seorang, suami harus mampu berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anaknya.

3) Apabila syarat utama yang disebut pada ayat (2) tidak mungkin dipenuhi, suami dilarang beristri lebih dari seorang.

Pasal 56 Kompilasi Hukum Islam telah mengatur hal tersebut sebagai berikut:

a. Suami yang hendak beristri lebih dari satu orang harus mendapat izin dari Pengadilan Agama.

b. Pengajuan permohonan izin dimaksud pada ayat (1) dilakukan menurut tata cara sebagaimana diatur dalam BabVIII Peraturan Pemerintah No.9 Tahun 1975.

c. Perkawinan yang dilakukan dengan istri kedua, ketiga atau keempat tanpa izin dari Pengadilan Agama, tidak mempunyai kekuatan hukum.

 Selain dalam Pasal 56, adapun dalam Pasal 57 Kompilasi Hukum Islam yang menyebutkan bahwa: Pengadilan Agama hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila:

a. Istri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai istri.

b. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan.

c. Istri tidak dapat melahirkan keturunan

Dalam kasus pembatalan poligami karena tanpa izin istri pertama, syarat-syarat poligami yang harus dipenuhi termasuk persetujuan istri pertama dan izin dari pengadilan. Jika syarat-syarat ini tidak terpenuhi, maka dapat diajukan permohonan pembatalan poligami. Hakim dalam kasus ini mempertimbangkan fakta-fakta yang ada di persidangan serta peraturan perundang-undangan yang berlaku sebelum mengambil keputusan.

Dalam konteks ini, poligami menjadi fokus penelitian karena kasus pembatalan poligami tanpa izin istri pertama menimbulkan pertanyaan mengenai pertimbangan hakim dan akibat hukum dari pembatalan tersebut. Penelitian ini penting untuk memahami perspektif hukum Islam terkait poligami dan pembatalan perkawinan. Dengan demikian, penelitian ini memberikan pemahaman yang mendalam mengenai konsep poligami, syarat-syaratnya, serta prosedur pembatalan poligami dalam konteks hukum Islam dan hukum perkawinan di Indonesia.

Pembatalan perkawinan dapat terjadi jika tidak memenuhi syarat atau rukun perkawinan, seperti poligami tanpa izin pengadilan atau perkawinan yang melanggar hukum. Pembatalan perkawinan dapat terjadi karena syiqaq, cacat, ketidakmampuan memberi nafkah, suami gaib, dan pelanggaran perjanjian. Pembatalan poligami merupakan proses hukum di mana perkawinan poligami yang dilakukan oleh seorang suami dibatalkan oleh pengadilan karena melanggar syarat-syarat yang telah ditetapkan, seperti tidak mendapatkan izin dari istri pertama sebelum melakukan poligami. Dalam kasus yang diteliti, pembatalan poligami dilakukan karena suami melakukan poligami tanpa izin dari istri pertama, sehingga melanggar ketentuan yang mengharuskan persetujuan istri sebelum melakukan poligami.

Adapun alasan-alasan yang menjadi sebab suatu perkawinan dianggap batal telah dikemukakan dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 70 dan Pasal 71, sebagai berikut :

Pasal 70, perkawinan batal apabila:

a. Suami melakukan perkawinan, sedang ia tidak berhak melakukan akad nikah karena sudah mempunyai empat orang istri sekalipun salah satu dari keempat istrinya dalam iddah talak raj‟i;

b. Seseorang menikahi bekas istrinya yang telah di li‟annya;

c. Seseorang menikahi bekas istrinya yang pernah dijatuhi tiga kali talak olehnya, kecuali bila bekas istri tersebut pernah menikah dengan pria lain kemudian bercerai lagi ba‟da al-dukhul dari pria tersebut dan telah habis masa iddahnya;

d. Perkawinan dilakukan antara dua orang yang mempunyai hubungan darah; semenda dan sesusuan sampai derajat tertentu yang menghalangi perkawinan menurut Pasal 8 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, yaitu:

1) Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus kebawah atau keatas.

2) Berhubungan darah dalam garis keturunan menyimpang yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya.

3) Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu atau ayah tiri.

4) Berhubungan sesusuan, yaitu orang tua sesusuan, anak sesusuan, dan bibi atau paman sesusuan.

5) Istri adalah saudara kandung atau sebagai bibi atau kemenakan dari istri atau istri-istrinya.

Pasal 71, suatu perkawinan dapat dibatalkan apabila:

a. Seorang melakukan poligami tanpa izin Pengadilan Agama;

b. Perempuan yang dikawini ternyata kemudian diketahui masih menjadi istri pria lain yang mafqud;

c. Perempuan yang dikawini ternyata masih dalam iddah dari suami lain;

d. Perkawinan yang melanggar batas umur perkawinan sebagaimana ditetapkan dalam pasal 7 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974;

e. Perkawinan dilangsungkan tanpa wali atau dilaksanakan oleh wali yang tidak sah;

f. Perkawinan yang dilaksanakan dengan paksaan. Jika dikaitkan dengan pengertian pembatalan perkawinan maka yang menjadi alasan pokok adanya pembatalan perkawinan adalah karena tidak terpenuhi syarat-syarat dan rukun-rukun nikah, atau karena hal-hal lain yang datang kemudian dan memtalakan kelangsungan perkawinan, seperti berikut:

 a. Batalnya perkawinan karena syarat-syarat yang tidak terpenuhi ketika akad nikah.

1) Setelah akad nikah, ternyata diketahui bahwa istrinya adalah saudara kandung atau saudara sesusuan pihak suami;

2) Suami istri masih kecil, dan diadakannya akad nikah oleh selain walinya, kemudian setelah dewasa mereka berhak meneruskan ikatan perkawinan yang dahulu atau mengakhirinya. Cara seperti ini disebut khiyar baligh. Jika yang dipilih adalah mengakhiri ikatan suami istri maka disebut fasakh baligh.

b. Batalnya perkawinan karena hal-hal yang datang setelah akad.

1) Bila salah seorang dari suami murtad atau keluar dari agama Islam dan tidak mau kembali sama sekali, maka akadnya batal karena kemurtadan yang terjadi belakangan;

2) Jika suami yang tadinya kafir masuk Islam, tetapi istri masih tetap dalam kekafirannya, yaitu tetap menjadi musyrik, maka akadnya batal. Lain halnya kalau istrinya adalah ahli kitab. Maka, akadnya tetap sah seperti semula. Sebab perkawinannya dengan ahli kitab dari semula dipandang sah.

Proses pembatalan poligami biasanya melibatkan pengajuan permohonan oleh pihak yang merasa dirugikan, seperti istri pertama, kepada pengadilan agama. Hakim akan mempertimbangkan fakta-fakta yang ada dalam persidangan serta merujuk pada peraturan perundang-undangan yang berlaku sebelum mengambil keputusan untuk membatalkan poligami tersebut.

Pembatalan poligami memiliki konsekuensi hukum yang signifikan, termasuk status hukum anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan poligami yang dibatalkan. Selain itu, pembatalan poligami juga dapat mempengaruhi hak-hak dan kewajiban hukum antara pihak-pihak yang terlibat dalam perkawinan tersebut.

Dalam Pasal 72 Kompilasi Hukum Islam, sebagaimana Pasal 27 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan menyatakan sebagai berikut:

a. Seorang suami atau istri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila perkawinan dilangsungkan di bawah ancaman yang melanggar hukum.

b. Seorang suami atau istri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi penipuan atau salah sangka mengenai diri suami atau istri.

c. Apabila ancaman telah berhenti, atau yang bersalah sangka itu menyadari keadaannya dan dalam waktu 6 (enam) bulan setelah itu masih tetap hidup sebagai suami istri, dan tidak mempergunakan haknya untuk mengajukan permohonan pembatalan, maka haknya gugur.

Pembatalan perkawinan poligami karena dilakukan secara diam-diam tanpa izin dan pemalsuan identitas. Pertimbangan hukum dan akibat hukum dari pembatalan tersebut. Saran untuk masyarakat, pegawai KUA, dan lembaga peradilan agama. Alasan pokok pembatalan perkawinan adalah karena tidak terpenuhi syarat-syarat dan rukun-rukun nikah, atau karena hal-hal lain yang datang kemudian. Pertimbangan hakim dalam memutus perkara pembatalan poligami tanpa izin istri pertama melibatkan pertimbangan berbagai faktor sebelum mengambil keputusan.

Pemohon mengajukan permohonan pembatalan poligami suaminya dengan wanita lain karena Termohon melakukan pernikahan lagi tanpa izin. Hakim memutuskan untuk membatalkan pernikahan tersebut karena melanggar syariat Islam dan undang-undang yang berlaku. Proses penyelesaian perkara dilakukan melalui mediasi dan pengadilan, dengan hakim memutuskan berdasarkan bukti-bukti yang ada. Dengan demikian, pembatalan poligami merupakan upaya hukum untuk menegakkan ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam perkawinan, melindungi hak-hak pihak yang terlibat, serta menjaga keadilan dalam institusi perkawinan menurut hukum yang berlaku.

Bab III, berupa penyajian data. Pada bab ini dijelaskan Sejarah Pengadilan Agama Klaten, Letak Geografis, Struktur Organisasi Pengadilan Agama Klaten, dan Visi dan Misi Pengadilan Agama Klaten, Prosedur Pengajuan Permohonan di Pengadilan Agama Klaten.

Lahirnya Pengadilan Agama Klaten Dengan lahirnya Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama khususnya yang diatur dalam Pasal 106 Lembaga Peradilan Agama mengalami perubahan-perubahan yang sangat mendasar. Status dan eksistensinya telah pasti, sebab lewat pasal 106 tersebut keberadaan lembaga Peradilan Agama yang dibentuk sebelum lahirnya Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 keberadaannya diakui dan disahkan dengan Undang-undang Peradilan ini. Dengan demikian Peradilan Agama menjadi mandiri sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Selama rentang waktu 5 tahun itu Mahkamah Agung membentuk Tim Kerja, untuk mempersiapkan segala sesuatunya termasuk perangkat peraturan perundang-undangan yang akan mengatur lebih lanjut, sehingga Peradilan Agama saat ini sedang memerankan eksistensinya setelah berada dalam satu atap kekuasaan kehakiman dibawah Mahkamah Agung dan pasca amandemen Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 menjadi Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006.

Dengan Undang-undang ini Peradilan Agama tercabut dari Departemen Agama dan masuk ke Mahkamah Agung, ini berarti pengakuan yuridis, politis, dan sosiologis terhadap lembaga peradilan agama sebagai salah satu penyelenggara kekuasaan kehakiman di Indonesia. Lingkungan peradilan dibagi empat:

a. Lingkungan peradilan umum adalah pengadilan negeri, pengadilan tinggi, mahkamah agung.

b. Lingkungan peradilan Agama adalah pengadilan agama, pengadilan tinggi agama, mahkamah agung.

c. Lingkungan peradilan militer adalah mahkamah militer, mahkamah militer tinggi, mahkamah agung.

d. Lingkungan peradilan tata usaha negara adalah peradilan tata usaha negara, peradilan tinggi tata usaha negara dan mahkamah agung.

Letak Geografis Pengadilan Agama Klaten Pengadilan Agama Klaten yang beralamat Jl. K.H. Samanhudi No.9 Klaten, Jawa Tengah Telp/Fax: (0272) – 321513/(0272) – 321513 ext 12 Email: admin@pa-klaten.go.id/pa_klaten@yahoo.co.id website : pa-klaten.go.id Wilayah hukum Pengadilan Agama Klaten terdiri dari 26 Kecamatan dan 401 Desa/Kelurahan.

Pertimbangan Hakim dalam Memutus Perkara Pembatalan Poligami Tanpa Izin Istri Pertama (Studi Putusan Pengadilan Agama Klaten Nomor 1968/Pdt.G/2016/PA.Klt)

1. Duduk Perkara Nomor 1968/Pdt.G/2016/PA.Klt Perkara Nomor: 1968/Pdt.G/2016/PA.Klt merupakan perkara permohonan pembatalan poligami tanpa izin istri pertama yang diajukan oleh Pemohon (istri sah) , umur 35 tahun, Agama Islam, pendidikan SMK, pekerjaan tidak bekerja, tempat tinggal Mranggen Rt.003/002, Desa Barongan, Kecamatan Manisrenggo, Kabupaten Klaten. Pemohon mengajukan permohonan pembatalan perkawinan atas pernikahan Termohon (suami), umur 38 tahun, agama Islam, pendidikan SMK, pekerjaan Tenaga Honor pada Kantor UPTD Pendidikan, Kecamatan Manisrenggo, tempat tinggal Mranggen, Rt.003/002, Desa Barongan, Kecamatan Manisrenggo, Kabupaten Klaten dengan Turut Termohon I (wanita lain), umur 30 tahun, agama Islam, pendidikan SMK, pekerjaan Guru Honor, tempat tinggal Desa Watuadeg, Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman. Pemohon dengan surat permohonannya tertanggal 19 Desember 2016 yang didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Agama Klaten. permohonan pembatalan perkawinan ini diajukan pada tanggal 19 Desember 2016 yang telah terdaftar di Kepaniteraan Pengadilan Agama Klaten Nomor 1968/Pdt.G/2016/PA.Klt. Pemohon dan Termohon merupakan pasangan suami istri yang sah. Pernikahannya dicatat oleh Pegawai Pencatat Nikah Kantor Urusan Agama Kecamatan Klaten Selatan, Kabupaten Klaten berdasarkan Kutipan Akta Nikah Nomor: 72/12/III/2006 tanggal 25 Maret 2006. Setelah menikah Pemohon dan Termohon bertempat kediaman di rumah orang tua Termohon yang beralamat Mranggen Rt003/002, Desa Barongan, Kecamatan Manisrenggo, Kabupaten Klaten. Dalam pernikahan antara Pemohon dengan Termohon sudah melakukan hubungan suami-istri dan telah dikarunia seorang anak yang lahir pada tanggal 08 Februari 2007. Kehidupan rumah tangga antara Pemohon dengan Termohon berlangsung cukup lama yang dapat dikatakan harmonis, rukun dan baik. Namun pada akhirnya Pemohon mendapatkan informasi bahwa Termohon telah melakukan pernikahan lagi dengan Turut Termohon I tanpa pengetahuan dan tanpa adanya izin dari Pemohon. Dalam pernikahan antara Termohon dan Turut Termohon I, Termohon telah melakukan pemalsuan identitasnya dengan mengaku berstatus bujang dan telah memalsukan Kartu Tanda Penduduknya dengan status sebagai perjaka. Pernikahan tersebut telah dilakukan di KUA Sei Bedug dengan kutipan Akta Nikah Nomor: 0456/060/IX/2016 pada tanggal 26 September 2016.Yang faktanya bahwa sebenarnya Termohon berstatus telah beristri yakni Pemohon. Karena adanya pernikahan Termohon dengan Turut Termohon I tanpa adanya izin dari Pemohon, maka Pemohon merasa dirugikan dan telah dibohongi oleh Termohon yang kemudian Pemohon mengajukan permohonan pembatalan poligami suaminya (Termohon) dengan wanita lain (Turut Termohon I) yang telah didaftarkan di Kepaniteraan Pegadilan Agama Klaten. Berdasarkan hal-hal tersebut, Pemohon memohon kepada Ketua Pengadilan Agama Klaten Hakim untuk segera memeriksa dan mengadili perkara ini dan menjatuhkan penetapan dengan mengabulkan permohonan Pemohon, membatalkan pernikahan suaminya (Termohon) dengan wanita lain (Turut Termohon I)

2. Pertimbangan dalam Pokok Perkara Nomor 1968/Pdt.G/2016/PA.Klt Berdasarkan duduk perkara ataupun permohonan Pemohon yang telah diajukan ke Pengadilan dan juga berdasarkan keterangan Pemohon ataupun Termohon saat di Persidangan, maka Hakim memutuskan permohonan pembatalan poligami dengan berdasarkan pertimbangan sebagai berikut: Yang menjadi pokok masalah dalam perkara ini, Pemohon sebagai istri Termohon mengajukan permohonan pembatalan terhadap Pernikahan Termohon dengan Turut Termohon I, dengan alasan bahwa pernikahan Termohon dan Turut Termohon I telah melanggar syari‟at dan undang-undang yang berlaku karena Termohon ternyata masih terikat perkawinan dengan Pemohon dan sampai saat ini belum pernah bercerai resmi. Bahwa Pemohon merupakan istri sah dari Termohon yang pernikahannya dicatat oleh Pegawai Pencatat Nikah Kantor Urusan Agama Kecamatan Klaten Selatan, Kabupaten Klaten berdasarkan Kutipan Akta Nikah Nomor: 72/12/III/2006 tanggal 26 Maret 2006. Oleh karenanya Pemohon merupakan pihak yang berwenang untuk mengajukan pembatalan perkawinan antara Termohon dan Turut Termohon I sesuai dengan ketentuan Pasal 23 huruf (d) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 73 huruf (b) Kompilasi Hukum Islam, dengan demikian Pemohon merupakan pihak yang berkepentingan hukum dalam mengajukan perkara ini. Dalam persidangan ditemukan fakta bahwa Termohon melakukan perkawinan poligaminya dengan Turut Termohon I tidak mendapatkan izin dari Pemohon yang berarti melakukan perkawinan poligaminya tanpa sepengetahuan Pemohon. Termohon memang melakukan perkawinan dengan Turut Termohon I yang dibuktikan dengan kutipan Akta Nikah Nomor: 0456/060/IX/2016 tanggal 26 September 2016 yang dikeluarkan oleh Kantor Urusan Agama Kecamatan Sei Bedug, Batam. Dalam pernikahan tersebut, Termohon melakukan pelanggaran ketentuan perundang-undangan yang berlaku dan telah memalsukan identitas sebagai perjaka.

Hakim juga menilai KUA Kecamatan Sei Bedug sebagai Turut Termohon II telah lalai dalam melaksanakan tugasnya sehingga telah menikahkan seorang laki-laki yang beristri dengan wanita lain. Hal ini sangat bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Karena pernikahan yang dilakukan dinilai tidak sah, maka Hakim berpendapat bahwa pernikahan tersebut harus dibatalkan. Hakim Pengadilan Agama Klaten dalam memutus dan mengabulkan terhadap permohonan pembatalan poligami tersebut pada dasarnya juga memperhatikan dari sisi Hukum Islam.

Hakim menggunakan Hadits yaitu dalam Kitab Al-Birr Was Sillah Wal Adab. Hadits tersebut menjelaskan bahwa dalam menjalani kehidupan untuk senantiasa jujur dalam segala ucapan maupun perbuatan. Terbukti Termohon telah melanggar syariat Islam dalam melangsungkan poligaminya tidak jujur karena telah memalsukan identitasnya sebagai perjaka dan tanpa sepengetahuan dari Pemohon. Hakim juga mempertimbangkan kemaslahatan pada perkara ini, Hakim melihat apabila perkawinan poligami terus dilanjutkan akan membawa mudharat yang lebih besar daripada maslahatnya.

 Perkawinan poligami dibatalkan adalah tindakan yang lebih baik daripada tetap mempertahankan. Dari fakta diatas pemohon telah berhasil membuktikan dalil-dalil permohonannya, dengan merujuk ketentuan yang tercantum dalam Pasal 37 Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 Pasal 71 huruf (a) Kompilasi Hukum Islam, maka Hakim menilai permohonan pemohon untuk membatalkan pernikahan Termohon dengan Turut Termohon I dapat dikabulkan. Oleh karena pernikahan Termohon I dengan Turut Termohon I dapat dibatalkan, maka kutipan Akta Nikah Nomor: 0456/060/IX/2016, tanggal 26 September 2016 yang dikeluarkan oleh KUA Kecamatan Sei Bedug, Batam harus dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum. Maka Hakim memerintahkan Termohon II sebagai Pegawai Pencatat Nikah Kecamatan untuk menarik Buku Kutipan Akta Nikah tersebut dan mencatat pembatalan perkawinan tersebut.

3. Penetapan Perkara Nomor 1968/Pdt.G/2016/PA.Klt Berdasarkan hal tersebut di atas, Hakim yang menangani perkara Nomor 1968/Pdt.G/2016/PA.Klt menetapkan hal-hal sebagai berikut:

a. Mengabulkan permohonan Pemohon;

b. Membatalkan pernikahan Termohon dengan Turut Termohon I yang dilaksanakan pada tanggal 26 September 2016;

c. Menyatakan kutipan Akta Nikah Nomor: 0456/060/IX/2016, tanggal 26 September 2016, yang dikeluarkan oleh Kantor Urusan Agama Kecamatan Sei Bedug, Batam tidak mempunyai kekuatan hukum;

d. Memerintahkan Turut Termohon II (Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan Sei Bedug, Batam) untuk menarik Buku Kutipan Akta Nikah sebagaimana tersebut pada dictum angka 3 amar putusan ini.

Proses Penyelesaian Perkara Pembatalan Poligami Tanpa Izin Istri Pertama (Studi Putusan Pengadilan Agama Klaten Nomor 1968/Pdt.G/2016/PA.Klt) Pada pembahasan berikut ini, akan dibahas proses pembatalan perkawinan karena tanpa izin istri pertama. Pembatalan perkawinan dapat diputuskan oleh hakim bila mana salah satu syarat atau rukun sah perkawinan tidak terpenuhi dan hal demikian batal oleh hukum.

Pada saat perkara tersebut masuk dalam Pengadilan Agama Klaten, perkara tersebut kemudian diterima oleh Pengadilan Agama Klaten yang nantinya akan diproses. Hakim sebelum mengadili dan memutus perkara tersebut, Hakim menerima perkara pembatalan poligami tanpa izin istri pertama Nomor 1968/Pdt.G/2016/PA.Klt mengupayakan mediasi antara pihak yang berperkara. Namun dalam upaya mediasi yang telah dilakukan tidak berhasil, Hakim kemudian mengadili serta memutuskan perkara tersebut sesuai prosedur yang ada di Pengadilan Agama Klaten.

Dengan melihat duduk perkara antara Pemohon dan Termohon serta telah melihat bukti-bukti yang ada, permohonan Pemohon untuk membatalkan perkawinan poligami suaminya (Termohon) dengan wanita lain dapat batal demi hukum karena telah bertentangan dengan ketentuan baik dari hukum yang berlaku di Indonesia maupun hukum Islam.

Perkara pengajuan permohonan pembatalan poligami tanpa izin istri pertama dengan Nomor Perkara 1968/Pdt.G/2016/PA.Klt. merupakan salah satu perkara yang kemudian dikabulkan oleh Hakim Pengadilan Agama Klaten karena dalam perkawinan poligaminya telah melanggar beberapa aturan yang telah ada dan berlaku di Indonesia.

Pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh Termohon dalam perkawinan poligaminya sudah terlihat jelas dalam salinan putusan tersebut serta pernyataan pada saat wawancara penulis dengan Hakim yang memutus perkara tersebut. Dalam Perkawinan Termohon dengan wanita lain (Turut Termohon I) telah terbukti melanggar ketentuan Pasal 3, 4, 20, dan Pasal 21 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dan juga terbukti melanggar ketentuan Pasal 71 huruf (a) Kompilasi Hukum Islam. Serta melanggar ketentuan Pasal 6 ayat (1), dan Pasal 10 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975.

Dari uraian diatas dapat diambil kesimpulan bahwa:

1. Pertimbangan Hakim Pengadilan Agama Klaten adalah: Bahwa perkawinan poligami yang dilakukan oleh Termohon dengan Turut Termohon I dilakukan secara diam-diam tanpa sepengetahuan Pemohon (istri) dan tanpa adanya izin dari Pengadilan Agama Klaten. serta Termohon dalam melangsungkan poligaminya telah memalsukan identitas sebagai perjaka. Fakta tersebut diperkuat dengan keterangan dari Pemohon serta Termohon dan bukti KTP dari Termohon saat di Persidangan.

2. Pertimbangan Hakim Pengadilan Agama Klaten perspektif Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam dalam dalam mengabulkan permohonan pembatalan poligami perkara Nomor: 1968/Pdt.G/2016/PA.Klt adalah: Dalam Perkawinan Termohon dengan wanita lain (Turut Termohon I) telah terbukti melanggar ketentuan, antara lain:

1) Pasal 3, 4, dan 5 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan serta Pasal 71 huruf (a) poligaminya tanpa adanya izin dari Pemohon dan tidak mengajukan permohonan poligaminya ke Pengadilan Agama.

2) Pasal 20 dan Pasal 21 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yaitu perkawinan poligami Termohon tetap mengingat Termohon sudah beristri.

3) Pasal 6 ayat (1), dan Pasal 10 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, yaitu Termohon tidak memenuhi syarat-syarat perkawinan sebab adanya pemalsuan identitas sehingga terdapat halangan untuk melangsungkan perkawinan.

D.Rencana Skripsi

Untuk rencana yang nantinya akan saya tulis sebagai tugas akhir adalah mengenai "Hak waris Istri kedua dari pernikahan poligami yang tidak dicatatkan" pembahasan ini lebih menekankan kepada aspek hukumnya dan juga akibat hukum dari pernikahan tersebut Apakah dari pernikahan Siri Seorang Istri juga berhak mendapatkan waris, selain itu juga untuk mengetauhi kedudukan istri kedua dari pernikahan siri. Nantinya rencana skripsi ini akan menggunakan metode kualitatif yaitu dilakukan secara wawancara.

Rancangan skripsi tersebut akan membahas beberapa aspek dalam perkawinan seperti perkawinan poligami, hakwaris, kedudukan pernikahan yang tidak dicatatkan. Dalam hal ini, saya mengambil beberapa dasar hukum baik menurut undang undang maupun menurut hukum islam.

Hak waris adalah salah satu aspek penting dalam hukum Islam dan hukum adat Indonesia, yang mempengaruhi kehidupan masyarakat, terutama dalam hal pewarisan harta warisan. Hak waris pernikahan poligami dalam hukum Islam dan hukum adat memiliki perbedaan yang signifikan, yang memerlukan analisis lebih lanjut untuk memahami dan mengembangkan hukum waris yang lebih adil dan berkeadilan.

Hak waris istri kedua dalam hukum Islam dan hukum adat di Indonesia masih menjadi permasalahan yang kompleks dan memerlukan analisis lebih lanjut. Dalam hukum Islam, hak waris istri kedua diatur dalam beberapa ayat Al-Quran dan hadis, serta dalam beberapa kitab hukum Islam yang relevan. Sementara dalam hukum adat, hak waris istri kedua diatur melalui tradisi dan kebiasaan Masyarakat.

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif dengan analisis data yang diperoleh dari sumber primer dan sekunder yang relevan. Data primer diperoleh melalui wawancara dengan ahli waris dan pewaris, serta melalui analisis dokumen-dokumen yang terkait dengan hukum waris. Data sekunder diperoleh dari sumber-sumber akademis dan dokumen-dokumen hukum yang relevan. Tujuan dari penulisan itu ialah untuk mengetauhi apakah istri kedua yang dinikahi secara siri tetap berhak mendapat waris, dan bagaimana hakim maupun pihak berwenang dalam menentukan warisan tersebut.

Penelitian itu nantinya diharapkan dapat memberikan informasi kewarisan meliputi perlindungan hak-hak para ahli waris, mengembangkan penalaran, dan memberikan regulasi agar terlaksananya ketentuan waris dengan baik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun