Mohon tunggu...
Yuni Retnowati
Yuni Retnowati Mohon Tunggu... Dosen - Biarkan jejakmu menginspirasi banyak orang

Dosen komunikasi penyuka film horor dan thriller , cat lover, single mom

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Hati Perempuan (Bagian 1: Tiga Kuntum Bunga Liar)

23 Februari 2020   06:20 Diperbarui: 23 Februari 2020   06:36 443
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perempuan sering diibaratkan sebagai bunga. Indah dipandang karena beraneka rupa bentuk dan warnanya. Semerbak wangi baunya memberikan sensasi yang tak mudah dilupakan. Keindahan dan keharuman yang tidak begitu saja diperoleh. Perlu meluangkan waktu dan mengeluarkan biaya tertentu untuk merawatnya agar kelak bisa menghadirkan bunga-bunga indah yang menebarkan keharuman ke mana-mana. 

Apakah perempuan memang sekuntum bunga yang hanya indah dipandang? Diciptakan hanya untuk dipandangi penampilannya dan dikagumi kecantikannya. Ah...lalu untuk apa kehidupan ini diberikan kepada mereka? Terlalu sederhana mengibaratkan perempuan sebagai bunga.

Tidak semua bunga membutuhkan perawatan yang menyita banyak waktu apalagi menguras banyak biaya agar bisa tetap tumbuh dengan keindahan dan keharuman yang menawan. 

Bunga-bunga liar yang indah dan tahan lama seperti edelweis tak perlu perawatan apapun. Teratai yang indah rupa dan warnanya bisa begitu saja tumbuh di tanah berlumpur dan rawa-rawa. Kuntum-kuntum mawar yang harumnya bertahan begitu lama bisa tetap indah dalam teriknya matahari. Anggrek yang keindahannya membuat banyak orang terpikat ternyata tak membutuhkan banyak air agar tetap mempesona.

Dinar, Khalisa dan Trinita  pun mencoba mengibaratkan diri mereka dengan bunga sambil duduk-duduk di samping rumah di lantai atas. Dari sana tiga perempuan itu bisa melihat sawah yang letaknya tepat di samping rumah. Beberapa petak sawah terhampar di antara deretan rumah di sisi barat dan timur daerah pemukiman itu. 

Tiga perempuan itu tampak bagai tiga kuntum bunga liar yang menyembul di sisi timur. Dinar adalah teratai yang mekar indah, Khalisa serupa edelweis yang tegar dalam segala cuaca dan Trinita laksana mawar berduri yang menarik tapi tak sembarang orang berani memetiknya.

Dinar adalah Ibu kos yang menyewakan tiga buah kamar di lantai atas itu untuk mahasiswa pascasarjana. Biasanya mahasiswa yang kos di situ sepantaran dengannya, sudah menikah  dan sudah bekerja. Kali ini yang kos memang lebih beragam. Ada dua orang yang sebaya dengannya. Khalisa dan Via yang sama-sama sudah bekerja tetapi menyandang status berbeda. 

Via belum menikah sedangkan Khalisa janda beranak satu. Trinita sudah menikah dan anaknya juga satu. Anak mereka sama-sama perempuan. Bedanya anak Khalisa sudah ABG berusia sekitar tiga belas tahun, sedangkan anak Trinita baru masuk TK. Selain mereka bertiga, masih ada tiga penghuni lain. 

Dini, Ica dan Rinta yang sama-sama belum menikah dan belum bekerja. Mereka fresh graduate dari S1 yang langsung melanjutkan ke S2 dengan harapan kelak setelah lulus bisa memperoleh peluang kerja yang lebih luas. Entah mereka memilih menjadi bunga apa tetapi tampaknya jalan yang harus mereka lewati tidaklah semulus yang biasa dilalui gadis- gadis seusia mereka.

Dini dibiayai orangtuanya untuk SPP tetapi uang saku tiap bulan sangat minim karena harus dibagi dengan adiknya yang kuliah S1. Dini lebih sering mengalah dengan menerima jumlah uang yang lebih sedikit dibanding adiknya. Jika ia kekurangan maka dengan berbagai cara ia  harus bisa mengatasinya meskipun teman-teman tidak menyukai caranya. 

Dini memang sering terlihat jalan dengan laki-laki kemudian diajak makan atau dibelikan pakaian. Tak jarang ia mendapat uang untuk sekedar beli makan atau kosmetik. Laki-laki itu bisa siapa saja.  

Teman kuliah pascasarjana, alumni dari Perguruan Tinggi yang sama dengan Dini yang kini telah punya kedudukan lumayan yang tentu saja punya kelebihan uang untuk sekedar menyenangkan Dini, atau para lelaki kesepian yang dikenalnya di mall atau di internet.

Ica sangat jauh berbeda dengan Dini. Ayahnya meninggal ketika Ica kelas tiga SD. Ibunya seorang diri membesarkan Ica dan ketiga saudara lelakinya dari hasil mengolah sawah warisan suami.  Sejak SD ia dimasukkan ke sekolah Muhammadiyah yang memberikan dasar keimanan dan pengetahuan agama yang kuat. 

Pendidikan SMA dijalani di sebuah pesantren kemudian berhasil melanjutkan ke Perguruan Tinggi Negeri yang ternama di daerah asalnya. Sejak kuliah ia sudah bisa membiayai hidupnya sendiri dengan menjadi asisten peneliti dan asisten dosen. Selepas kuliah ia bekerja di almamaternya sebagai sekretaris program pascasarjana. Tiap bulan ia menyisihkan sebagian dari gajinya hingga dirasa cukup untuk biaya studi lanjut S2. 

Ia berhenti dari pekerjaannya dan meninggalkan daerah asalnya untuk meraih cita-cita besarnya. Berbekal tabungan yang dikumpulkan selama bekerja itulah Ica mencoba mewujudkan mimpinya untuk meningkatkan kehidupannya. Jika kekurangan ia akan bekerja sebagai tenaga lapangan membantu peneliti dan juga bisa mengerjakan olah data penelitian. Ica pantang menengadahkan tangan dan menerima uang dengan cuma-cuma.

Rinta lain lagi, ia diuntungkan oleh posisinya sebagai anak bungsu dalam keluarganya. Sebetulnya hampir sama dengan Ica, ia ditinggalkan ayahnya waktu masih SD. Ibunya yang hanya berjualan lontong sayur mendapat amanah dari Suaminya agar menyekolahkan anak setinggi-tingginya padahal ada enam anak yang ditinggalkan. Semua Kakak Rinta memang menjadi sarjana dan dua di antaranya bergelar master.

Rinta awalnya meneruskan ke S2 atas biaya Kakak-kakaknya tapi kemudian ia berhasil mendapatkan beasiswa. Tentu saja uang saku yang diterima tiap bulan tidak  berlebih tetapi dibandingkan dengan Dini maupun Ica, ia yang paling aman dari segi keuangan. 

Sayangnya, Rinta sangat boros dalam pengeluaran untuk pulsa. Hampir setiap hari ia mengisi pulsa HP-nya untuk berkomunikasi dengan teman, pacar dan saudara-saudaranya.

Tiga perempuan itu masih berbincang hingga matahari tergelincir ke barat. Via pulang dari kampus ketika mereka mengakhiri percakapan. Di lantai bawah, anak Dinar yang paling kecil menangis meraung-raung karena diganggu kakaknya. Restu memang selalu usil mengganggu Alfi yang cengeng. Biasanya Kiki, anak sulungnya yang sudah SMU akan menghentikan tangisan Alfi tapi hari ini Kiki pulang terlambat karena ada kegiatan tambahan di sekolahnya.  

Dinar segera turun ke lantai bawah dan meredakan tangis Alfi dengan selembar uang ribuan. Begitu saktinya uang itu hingga tangisan Alfi segera terhenti. Gadis kecil itu berlari keluar untuk menukarkan lembaran uangnya dengan jajanan di warung sebelah. Restu bertambah gusar lalu mengejarnya dan jeritan Alfi kembali terdengar melengking hingga ke lantai atas. Dinar tak peduli, ia memanaskan sayur dan menggoreng kembali ikan emas yang tadi dibelinya di pasar Caringin. Tak lupa ia menjerang air panas untuk mandi Suaminya yang sebentar lagi pulang.

Di lantai atas terlihat pemandangan yang berbeda. Via duduk menghadap hamparan sawah ditemani Ica. Mereka terlibat percakapan ringan tentang pestisida, pupuk dan harga jual gabah. Sementara Dini dengan suara lembut manja menerima telpon entah dari siapa. Terlalu banyak laki-laki dalam kehidupan gadis itu.

         "Hai ratu SMS, jangan senyum-senyum sendiri nanti keterusan bisa berbahaya, " ledek Khalisa begitu melihat Rinta duduk di pojok teras sambil tak henti-hentinya memencet keypad HP-nya.

         " Ah Ibu sirik aja," balas Rinta pura-pura marah, "Nah tuh ada SMS buat Ibu. Pasti dari Revi. Brownies. Berondong manis,"  Rinta ganti meledek Khalisa

Benar juga kata Rinta.  Revi menyapanya sekedar menanyakan kabar. Khalisa menghitung mundur enam jam untuk mengetahui waktu di Hannover.  Revi masih harus menyelesaikan master di sana. Selepas SMU  Revi memilih melanjutkan pendidikan ke Jerman meskipun harus berpisah dengan kedua orangtuanya di Jakarta. Beberapa tahun kemudian, adiknya juga menyusul ke sana. Mereka tinggal satu apartemen dan kuliah di universitas yang sama. Setahun sekali mereka pulang ke Jakarta.

Tadinya Khalisa mengira orangtua Revi pastilah kaya karena bisa menyekolahkan kedua anaknya ke Jerman.  Revi mengaku berasal dari keluarga biasa bahkan ayahnya sudah pensiun sekarang. Agar bisa bertahan hidup di negeri orang, mereka harus bekerja sambil kuliah. 

Menjelang datangnya liburan panjang, mereka bersiap-siap mencari pekerjaan di pabrik. Ketika teman-temannya bisa menikmati liburan dengan jalan-jalan keliling Eropa, mereka terjebak dalam pekerjaan. Hanya sekali-sekali mereka bisa melewatkan liburan dengan mengunjungi beberapa obyek wisata di sekitar Eropa.

Samar-samar terdengar suara Trinita sedang berbicara di telpon. Nada bicaranya riang kadang diselingi tawa. Pasti bukan telpon dari Suaminya. Trinita sering mengeluh kalau Suaminya menelpon biasanya minta kiriman uang. Menurutnya itu tidak lazim karena seharusnya Suami yang menafkahi istri.

Keputusan Trinita menikah dulu memang lebih didorong oleh sikap emosionalnya. Orang tua kedua pihak sama-sama tidak menyetujui hubungan mereka tetapi justru semakin menguatkan niat Trinita untuk menikah. Akhirnya kedua orang tua mereka terpaksa menyetujui pernikahan itu. Ternyata kehidupan rumahtangga mereka banyak didera kesulitan ekonomi. 

Suami Trinita yang lulusan SMA hanya bisa mendapatkan pekerjaan sebagai sales snack anak. Pekerjaan itu mengharuskannya berpindah-pindah wilayah pemasaran hampir meliputi seluruh Kalimantan Barat. Perjalanan ditempuh dengan bersepeda motor dan itu sangat melelahkan. Apalagi untuk Suami Trinita yang fisiknya lemah. Terlalu lama berada di bawah terik matahari sering membuatnya mimisan. Trinita berharap Suaminya bisa mendapatkan pekerjaan lain yang lebih sesuai dengan kondisinya. 

Sayang sekali, sebelum mendapatkan pekerjaan baru malah ia sudah lebih dulu diberhentikan dari pekerjaannya. Mau tak mau Trinita harus mengambil alih sebagai pencari nafkah utama dalam keluarga sementara Suaminya berusaha mendapatkan pekerjaan baru. Kalau akhirnya ia memutuskan berburu beasiswa agar bisa melanjutkan ke program master itu karena memang menjadi tuntutan yang harus dipenuhinya sebagai dosen. Meskipun untuk memenuhinya harus jauh meninggalkan keluarga.

            "Mr. Baldi ya ?" Khalisa bertanya menyelidik. Trinita mengangguk dengan keriangan terpancar dari raut wajahnya.

           "Dimana  dia sekarang? Lagi sibuk apa?" kembali Khalisa  ingin tahu.

Mr Baldi adalah sebutan yang diberikan  Khalisa kepada dosen Statistik. Trinita sangat mengagumi lelaki setengah baya berkepala botak dan berwajah sinis itu. Entah bagaimana awalnya hingga mereka bisa begitu dekat. Kalau tidak salah pada awal kuliah tatapan mata Trinita berhasil meruntuhkan keangkuhan lelaki itu. 

Cinta pada pandangan pertama. O, begitu anehnya cinta. Trinita melihat sebuah tantangan menghadang di depannya sekaligus ia melihat figur yang dirindukannya pada sosok lelaki itu. Pelindung yang menjanjikan kedamaian lewat kemapanan hidup dan kematangan pikiran. Hal yang tak bisa didapatkan dari Suaminya.

         "Dia sedang mengisi pelatihan di Padang. Seminggu katanya." sahutnya menyimpan kerinduan.

Kesibukan Mr. Baldi tak menyisakan banyak waktu untuk bisa bertemu dengan Trinita. Apalagi  kuliah Statistik sudah berakhir di semester satu. Meskipun demikian, Trinita tak kurang akal agar bisa bertemu dengan pujaan hatinya itu.

Berbagai alasan disusun berbagai rencana dijalankan agar bisa mencuri sedikit waktunya. Biasanya Trinita beralasan minta diajari analisa data hasil penelitian dengan menggunakan berbagai uji statistik. Beberapa kali pula ia membawa oleh-oleh atau bingkisan kecil untuk Mr. Baldi.

Awal semester ini sehabis libur panjang ia merengek-rengek kepada Khalisa dan Ica minta ditemani ke Jakarta untuk bertemu  Mr Baldi  di lembaga riset pemasaran tempatnya bekerja yang lain. Khalisa dan Ica melihat kerinduan yang begitu dalam di mata Trinita sehingga tak tega mengabaikan permintaannya. Trinita berdalih membutuhkan bimbingan untuk menyiapkan proposal penelitian yang akan diajukan untuk penelitian unggulan daerah. Waktu Mr. Baldi yang sangat berharga itu tak mungkin dilewatkan hanya untuk berbincang santai.

        "Wah nggak ada waktu nih buat candle light dinner," canda Khalisa kemudian yang ditanggapi Trinita dengan wajah tersipu. Pernah suatu kali karena sudah tak sanggup menahan keinginan untuk bertemu, Trinita meminta pada Mr. Baldi untuk bisa makan malam  berdua di sebuah restoran di Bogor tapi lelaki itu tak bisa memenuhinya. 

Sepertinya ia hidup hanya untuk bekerja dengan angka-angka dan menyebarkan ilmu dari satu forum ke forum yang lain. Akhirnya memang mereka hanya bisa berkomunikasi lewat telpon dan sekali-sekali bertemu di lembaga penelitian kampus di sela-sela jam kerja Mr. Baldi.

         "Apa yang kamu inginkan darinya Ta?"  tanya Khalisa didorong rasa ingin tahu.

         "Entahlah Mbak, " mata Trinita menerawang jauh lalu pelan-pelan binar itu menghampiri tatapannya, "Dia sudah punya keluarga, aku juga demikian. Aku hanya ingin dia tetap menyimpan namaku di dalam hatinya, mengingatku kapan saja. Aku tak ingin memilikinya karena itu sangat tidak mungkin."

         "Kamu mencintainya?" Khalisa mencari jawaban dari tatapan Trinita.

        " Ya." Jawabnya mantap, " Apakah itu salah?" Trinita ganti bertanya sambil menatap Khalisa dengan tajam

       "Beberapa kali jatuh cinta dalam hidup itu  hal yang wajar,"  kata Khalisa kemudian.

      "Mbak juga pernah mengalaminya?" desak Trinita seolah menemukan tempat yang aman untuk berbagi.

      "Kamu tahu kan, ada banyak laki-laki dalam hidupku saat ini? Bahkan saat aku masih bersuami dulu pun aku pernah mengalami keadaan seperti yang kamu alami saat ini. Sayangnya aku tak seberani kamu untuk mengekspresikannya. Aku hanya diam-diam menikmati rasa cinta itu sendirian. "

Trinita tertawa kecil. "Rugi dong!" tukasnya

      "Kalau kamu sudah melakukan apa saja dengan Mr. Baldi?" tanya Khalisa penasaran.

       "Waktu ketemu dia minggu lalu di fakultas, karena sudah sore menjelang Maghrib dan sudah sepi, aku memberanikan diri memeluknya. Aku peluk dia dari depan seperti anak kecil yang menggelendot manja pada ayahnya. Dia balas memelukku juga. Lalu dia tanya padaku, apa yang kamu inginkan dariku ? Kujawab, ingin anak dari Bapak. Dia bilang, nggak boleh. Ya,  meskipun aku kecewa tapi sangat menghargainya. Ternyata dia lelaki yang baik."

Khalisa tak percaya rasanya mendengar cerita Trinita. Betapa nekadnya perempuan ini. Ruang sepi di hatinya itu berusaha diisinya dengan figur mengagumkan Mr. Baldi. "Kamu nggak tahu Ta, dia sudah haji lo."

       "Iya Mbak, aku tahu, tapi haji juga manusia kan?" candanya kemudian diiringi derai tawa mereka berdua.

Sesaat mereka terdiam ketika Dini masuk kamar untuk mengambil charger HP sambil masih terus berbicara di telpon dengan suara manjanya. Samar-samar suara Via dan Ica masih terdengar di luar lalu terdengar pula tawa khas Rinta yang nampaknya juga sedang menelpon.

      "Bagaimana hubungan Mbak dengan lawyer " ganti Trinita bertanya. Khalisa memang pernah bercerita tentang laki-laki itu. Mereka menyebut Dion dengan lawyer, sesuai dengan profesinya sebagai pengacara. Ketika itu Dion masih beristri dan istrinya yang berasal dari Singkawang itu ternyata adik kelas Trinita semasa SMA.

       "Kita sudah lama nggak ada kontak sejak dia mengatakan akan bercerai dengan istrinya. Waktu aku mencari data penelitian di Pengadilan Agama Yogya secara iseng aku bertanya kepada salah satu panitera di sana apakah ada nama Dion dalam sidang perceraian  beberapa bulan yang lalu. Ternyata memang Dion dan Anisa sudah bercerai. Katanya prosesnya sangat singkat, hanya tiga kali sidang sudah bisa diputuskan."

      " Ya, dia kan pengacara Mbak, jadi bisa pakai trik-trik tertentu biar cepat putus,"  sahut Tata.

      " Tapi itu nggak ada artinya sama sekali buatku Ta. " sambung Khalisa seperti sebuah keluhan. "Hubungan kami tanpa komitmen apa-apa. Mungkin karena kita sama-sama pernah terluka dan sama-sama kesepian."

      "Mbak mencintainya ?" sekarang ganti Trinita yang mencoba menyelami isi hati Khalisa.

       "Aku jatuh cinta padanya saat pertama kali bertemu dengannya. Entah kenapa aku merasa hidupku begitu bersemangat melihat matanya bersinar optimis dan mendengar tutur katanya yang tegas penuh semangat."
       " Ya jelaslah Mbak, dia kan pengacara,  memang harus begitu "

       " Sekarang aku benci dengan semua itu, Ta," terkesan kejengkelan dalam nada bicara Khalisa.

       "Ternyata cinta dan benci itu begitu dekat ya?" ujar Trinita sambil tersenyum menggoda. " Bagaimana kalau dia datang lagi dalam kehidupan Mbak?"

       "Aku nggak tahu Ta."

      "Kukira Mbak masih akan tetap mau menerimanya kembali."

       "Kok kamu bisa yakin begitu Ta?" Khalisa menatapnya ingin tahu.

      "Selama Mbak masih sendiri apa salahnya membuka lagi hati Mbak untuk dia. Mbak sudah lama dekat dengannya, sudah cukup mengenalnya. Dia juga tidak pernah melukai hati Mbak. Kalau dia menjauh dan menghilang sesaat, mungkin memang dia perlu waktu untuk memulihkan luka hatinya pasca perceraian."

      "Tapi apa yang bisa kuharapkan darinya Ta? Tidak ada kepastian tentang hubungan kami."

     "Maksud Mbak pernikahan?" tanya Trinita , "Pernikahan menuntut cinta, tapi cinta tidak menuntut pernikahan. "

     "Ah, kamu sok filosofis Ta," ledek Khalisa yang disambung dengan derai tawa  Trinita.

Rinta masuk kamar dengan kegembiraan yang terpancar dari seluruh wajahnya. Melihat Khalisa dan Trinita tertawa makin melipatgandakan kegembiraannya.

      "Kamu ditelpon cowokmu yang mana Rin?" sambut Khalisa begitu melihat Rinta ikut bergabung dengan mereka.

     "Ah, Ibu ini, cowok Rinta ya cuma satu. Sony. Yang lain teman biasa aja," balasnya sembari senyum-senyum. "Maklum banyak fans," sambungnya lagi sambil  berlagak menyombongkan diri. "Gimana kabar Brownies-nya yang di Jerman Bu?"

      "Ah mau tahu aja," sahut Khalisa membuat Rinta makin penasaran.

     "Pilih mana Bu, lawyer atau Revi?"

      "Revi aja Mbak, nanti kita bisa keliling Eropa, naik gondola di Italia," celetuk Trinita bersemangat.

      "Dunia khayal. Dunia khayal !" teriak Khalisa yang disambung tawa cekikikan mereka.

Revi mewakili impian ideal Khalisa semasa remaja. Lelaki berotak cemerlang, bertubuh atletis dan berani menghadapi tantangan hidup. Tipe seperti itulah yang disukai dan yang dibawa ke mana pun ia pergi. Hal lain yang lebih spesifik adalah berpendidikan teknik dan tingginya lebih dari seratus tujuh puluh sentimeter. 

Menurutnya, lelaki yang mempelajari bidang teknik kelihatan lebih macho dan lebih pintar. Sedangkan badan lelaki yang cukup tinggi menjanjikan rasa aman bagi perempuan yang berada di sampingnya. Takdir lelaki sebagai pelindung menuntut fisik yang cukup kuat yang salah satunya ditandai dengan tinggi badan yang cukup. 

Apalagi Revi mengenyam pendidikan luar negeri, satu hal yang juga menjadi impian Khalisa. Secara tidak sadar Khalisa membuat proyeksi-proyeksi tertentu pada diri Revi. Menurut kepercayaan kuno suku Indian, dalam diri setiap laki-laki ada serpihan kewanitaan (anima) dan dalam diri setiap perempuan ada serpihan kepriaan (animus). Khalisa merasa telah menemukan anima  pada Revi.

Terlepas dari anima yang berkembang secara wajar dalam proyeksi bawah sadar itu, Khalisa dilanda kegelisahan yang kerap mengganggu pikirannya. Hampir semua lelaki yang pernah dekat dengannya adalah lelaki yang jauh lebih muda darinya.  Dion sembilan tahun lebih muda darinya sedangkan Revi setahun lebih tua dari Dion.  

Entah kenapa ia justru merasa nyaman bersama mereka yang lebih muda darinya. Edward, salah seorang temannya,  pernah mengatakan itu terjadi karena Khalisa ingin menunjukkan superioritas dengan menjadi penganyom dan penolong bagi mereka.

     "Kamu maunya didengar, dipatuhi dan disanjung. Ada superioritas terhadap laki-laki. Bukan kamu sub ordinat pria melainkan pria yang menjadi sub ordinatmu. Kalau diadakan analisis transaksional maka komunikasi yang kamu gunakan adalah adult to child communication bukan adult to adult communication. Mereka akan mendengar dan kamu yang bicara. Mereka lebih suka menyanjungmu dan kamu suka menasehati mereka," Edward memberi ulasan panjang lebar yang makin meresahkan hati Khalisa. Apalagi Edward menganggap kecenderungan menyukai lelaki yang jauh lebih muda itu sebagai kelainan.

Bahkan Trinita yang selama ini sering bersamanya pun memberi penilaian yang sama dengan Edward. "Kelainan itu Mbak, mulailah berubah. Mereka yang lebih muda belum tentu mau diajak hubungan yang lebih serius."

Sebetulnya keresahan yang mengusiknya akhir-akhir ini tidak hanya bersumber dari kecenderungannya menyukai lelaki lebih muda tetapi juga karena rasa cintanya cenderung tertuju pada lelaki yang pernah terluka.  

Rasa iba pelan-pelan menjelma menjadi cinta kasih. Kisah cinta seperti itu telah ia mainkan beberapa kali sejak masa remajanya dulu. Kisah serupa juga dilakoninya dengan Adi, mantan suaminya yang dua tahun lebih muda darinya.

Adi dikenal sebagai mahasiswa yang suka berkelahi dan selalu mencari-cari masalah. Waktu lebih banyak dihabiskan di tempat parkir kampusnya dan jalanan dari pada di ruang kuliah. Ketika Arman mengenalkan pada Khaliasa  tak  terbersit niatnya untuk menjadi kekasih mahasiswa asal Bugis itu. 

Arman pun hanya minta Khalisa untuk membantu Adi agar bisa lebih berkonsentrasi pada kuliahnya dari pada menghabiskan waktu untuk hal-hal tak berguna dengan teman-temannya yang juga tak tahu  untuk apa bertindak brutal di jalanan. Namun di luar kendalinya, rasa cinta itu tumbuh di antara keduanya. Tak bisa dihindari dan tak bisa dicegah. Meskipun terbuka begitu banyak peluang untuk meninggalkan Adi.

Barangkali pernikahannya tak akan pernah terjadi kalau saja Khalisa lebih berani mengambil sikap dan bertindak bijak. Nyatanya ia hanya bisa menyerah pada kehendakNya tanpa sedikit pun upaya untuk memperjuangkan kebebasan hidupnya sebagai manusia. Ketika Ibu menetapkan tanggal pernikahannya, Khalisa tak bisa membantahnya. 

Pernikahannya dengan Adi pun berlangsung lebih cepat dari dugaannya. Tanpa dihadiri seorang pun dari pihak keluarga Adi. Ibu hanya merasa perlu memberitahu Kakak sulung Adi yang tinggal di Makassar kalau Adi akan dinikahkan dengan Khalisa. Sang Kakak pun hanya bisa menyetujui tanpa pernah berusaha datang menemui keluarga Khalisa atau sekedar menyumbang biaya pernikahannya. 

Tidak sepeser pun dikeluarkan olehnya. Ibu yang membelikan sepasang cincin emas yang digunakan dalam prosesi pertunangan. Sebenarnya acara itu tak diperlukan lagi ketika Adi dan Khalisa sudah resmi menikah, tetapi Ibu tetap ngotot melangsungkan acara pertunangan sehari sebelum pernikahan.

Pernikahan Adi dan Khalisa terancam gagal ketika Bu Dimeng mengadukan Adi sebagai pencuri dan penipu. Bu Dimeng adalah istri mantan Bupati Palopo, tempat dulu Ayah Adi pernah mengabdi sebagai pembantu di rumahnya. Menurut cerita versi Adi, Pak Dimeng itu Oomnya . Entah bagaimana silsilah dalam keluarganya Khalisa tak tertarik untuk mengetahui. 

Setahunya sejak mulai kuliah, Adi tinggal di rumah Pak Dimeng. Adi baru ke luar dari rumah itu setelah berpacaran dengan Khalisa. Dia bilang kalau Bu Dimeng kecewa karena ia tidak menurut dijodohkan dengan Anna, anak temannya. Kekecewaan itulah yang membuatnya ingin menggagalkan pernikahan Adi dengan Khalisa.

Dengan melaporkan Adi ke Polsek diharapkan Khalisa dan keluarganya tak lagi berniat melanjutkan pernikahan. Ternyata harapan Bu Dimeng tak terpenuhi. Meskipun Ibu sampai jatuh pingsan menerima surat panggilan dari Polsek, pernikahan itu tetap dilanjutkan. Malahan Ibu sengaja memajukan waktu ijab kabul menjadi sehari lebih cepat. 

Khawatir kalau-kalau Bu Dimeng datang pada saat pesta pernikahan dan mengacaukan segalanya. Memang Adi mengirimkan undangan pernikahannya kepada keluarga Dimeng. Tapi itu justru membuat Bu Dimeng meradang lalu melaporkan Adi sebagai penipu dan pencuri.

Tanggal pemanggilan untuk diperiksa Polsek tepat sehari setelah pernikahan. Jam sembilan pagi Adi harus menjalani pemeriksaan di Polsek Tegalrejo Yogyakarta. Padahal pernikahan mereka dilangsungkan di Jepara,  rumah orangtua Khalisa. Karena itulah tengah malam seusai pesta   pernikahan, Adi dan Khalisa harus berangkat ke Yogya. Khalisa pun harus datang sebagai saksi. Entah kesaksian apa yang diharapkan darinya. 

Selama berpacaran dengan Adi justru Khalisa yang harus sering menanggung kebutuhan hidup Adi. Kalau uang kos belum dibayar, ia yang akan membayarnya. Kalau Adi kekurangan uang bulanan untuk makan dan keperluan kuliah, Khalisa akan turun tangan membantunya. Kadang uang itu berasal dari tabungannya atau gajinya setelah mulai bekerja di Jakarta. Tapi lebih sering ia meminta uang kepada orangtuanya dengan berbagai macam alasan agar bisa membantu Adi.

Setelah sampai di Yogya, Adi dan Khalisa segera menuju rumah Bu Dimeng. Di sana, Adi meminta maaf karena telah mengecewakan Bu Dimeng.  Adi juga memohon agar Bu Dimeng mau mencabut tuduhannya sehingga ia terbebas dari jeratan hukum. 

Namun tak semudah itu memohon kepada mantan Ibu Bupati. Untunglah, Pak Dimeng lebih terbuka hatinya untuk memaafkan kesalahan Adi selama tinggal bersamanya. Juga karena Tante Darsih , adik Bapak Khalisa, ikut memohon dengan merendah sambil menangis agar Adi dibebaskan dari tuntutan hukum.

       "Tapi aku minta setelah ini  mereka harus diceraikan," kata Bu Dimeng sengit. Tante Darsih hanya mengangguk tanpa menyela sedikit pun.  "Adi itu kelakuanya tidak baik. Kasihan nanti Khalisa kalau jadi istrinya. Ini demi kebaikan Khalisa."

Ternyata semua perkataan Bu Dimeng memang benar. Sayangnya, Khalisa dan keluarganya tak pernah mempercayainya. Mereka masih tetap percaya kalau Bu Dimeng melakukan pelaporan itu karena merasa dikecewakan Adi yang menolak dijodohkan dengan anak temannya. Begitu pintarnya Adi meyakinkan orangtua Khalisa sampai-sampai mereka percaya bahwa Adi adalah jodoh terbaik untuk anaknya.

Pada tahun-tahun awal pernikahannya begitu banyak kekecewaan yang menumpuk di hati Khalisa. Adi tetap tak menyadari perannya sebagai Suami . Dia menghabiskan banyak waktu untuk bersenang-senang dengan teman-temannya. 

Pulang ke rumah sudah malam lalu tidur sepanjang siang. Dia banyak mengisi waktunya untuk bermain, ngobrol dan keluyuran ke sana ke mari tak jelas arahnya. Khalisa yang harus banting tulang mencukupi kebutuhan keluarga. Apalagi setelah Gea lahir dan butuh banyak biaya.

Adi tak berhasil menyelesaikan kuliahnya karena lebih suka bergaul dengan pemuda kampung di sekitar rumah kontrakan mereka. Kalau malam main kartu lalu ngobrol di pos ronda. Dini hari baru pulang lalu dilanjutkan dengan tidur sepanjang hari. Kalau siangnya terbangun, Adi akan mencari teman-temannya untuk diajak main karambol atau menerbangkan burung merpati di sekitar kampung. Tak  pernah berpikir bagaimana mendapatkan uang. 

Khalisa telah mendapat gaji dan orangtuanya selalu membantu keuangan mereka jka kekurangan. Membayar pembantu dan membelikan perabotan rumah tangga. Bahkan rumah tempat mereka tinggal itu pun pemberian orang tua Khalisa. Kemudian setelah Gea lahir, Bapak Khalisa membelikan mobil untuk mereka. Mobil yang akhirnya menyulut petaka karena dengan mobil itulah Adi berhasil menaikkan pamor dan gengsinya di depan para perempuan lajang. 

Khalisa yang sibuk bekerja untuk menafkahi keluarga harus menelan kekecewaan mengetahui Suaminya bermain dengan beberapa perempuan muda yang mengira Adi benar-benar berlimpahan materi.

Adi tak pernah berubah meskipun usianya terus bertambah. Dia lebih suka menggantungkan hidup pada Khalisa dan keluarganya dari pada harus bersusah payah mencari nafkah. Setiap kali mendapat pekerjaan, paling lama dua bulan dia akan berhenti dari pekerjaan itu. Selalu ada banyak alasan untuk berhenti dari pekerjaannya.

Kalau dia sedang kalut dan banyak pikiran, dia minta ijin pulang ke Makasar lalu minta Khalisa mengongkosinya naik pesawat pulang pergi Yogya -Makasar. Dia marah kalau tak ada uang. Bisa sebulan lebih di Makassar dan tak bisa pulang ke Yogya kalau tidak dikirimi uang untuk ongkos pulang.

Orangtua dan saudara Adi di Makasar mengira kehidupan Adi di Yogya sangat membanggakan. Hidup berlimpahan materi karena sukses dalam pekerjaan. Karena itu pula, adik bungsu Adi pun dikirimkan ke Yogya untuk melanjutkan kuliah. Dia tinggal bersama Adi dan keluarganya. Saat itulah baru terbuka kondisi kehidupan Adi yang sebenarnya. Kuliah tak selesai dan menjadi  beban Khalisa karena tak punya pekerjaan.

Lama-lama Khalisa tak tahan menjalani kehidupan suami istri dengan Adi. Menguras banyak energi untuk bekerja dan juga melukai perasaannya sebagai istri. Beberapa kali Khalisa memergoki Adi sedang bersama perempuan lain. Pengorbanan Khalisa mencurahkan banyak waktu untuk bekerja agar bisa mencukupi kebutuhan keluarga ternyata mendapat balasan yang menyakitkan dari Suaminya. 

Tak tahan dengan semua itu, Khalisa pun menggugatnya untuk minta cerai. Usaha itu setidaknya sudah pernah dilakukan pada lima tahun usia pernikahan mereka meskipun akhirnya gugatan itu dicabut. Khalisa masih memberikan kesempatan kepada Adi untuk bisa memperbaiki diri. 

Ternyata tak pernah ada niat untuk menuju kehidupan yang lebih baik. Tak ada kesungguhan hati untuk memperbaiki diri. Akhirnya setelah sepuluh tahun mengarungi kehidupan berumahtangga, Khalisa merasa mantap mengakhiri pernikahannya dengan Adi. Gea yang saat itu baru tujuh tahun ikut dengannya sedangkan Adi kembali ke Makasar.

Bagaimana kabarnya kini Khalisa tak lagi peduli. Sudah menikah lagi atau belum bukan lagi urusannya. Khalisa pun tak pernah menuntut apapun dari Adi. Dia sendiri yang membiayai kehidupan Gea hingga saat ini.

Hidup menjanda tidaklah sesulit yang pernah dibayangkan dulu. Semua orang bersikap baik kepadanya.. Gea mendapat banyak perhatian dan kasih sayang dari orang-orang di sekitarnya. Kakek Nenek sangat menyayanginya dan terkesan memanjakannya secara berlebihan.  Akibatnya, Gea kurang mandiri dibanding teman-teman seusianya.

Ketika Khalisa memutuskan untuk melanjutkan studi pascasarjana barulah Gea pelan-pelan belajar untuk bisa hidup mandiri. Khalisa di Bogor dan Gea di Yogya membuat hubungan mereka terasa berbeda. Gea harus menahan kerinduan karena tak bisa setiap hari melihat wajah Mama yang disayanginya . 

Berbagai kesulitan dan masalah yang dihadapi harus coba dipecahkan tanpa bantuan Mama. Kakek yang menemaninya di Yogya selama Mama menuntut ilmu di Bogor.Kakek sangat perhitungan dalam pengeluaran sehingga Gea merasa dibatasi dalam memenuhi keinginannya. Itulah harga yang harus dibayar untuk meraih cita-cita Mama. 

Awalnya memang Khalisa tak tega harus meninggalkan Gea  tapi kemudian dibulatkan tekadnya untuk mengambil kesempatan itu. Bukankah sudah lama dia berkeinginan untuk melanjutkan studi pascasarjana?

Bogor menjadi tujuannya karena dulu selepas SMA dia pernah kuliah di sana tapi tak dilanjutkan setelah Kakak satu-satunya meninggal. Khalisa tak ingin menambah kesedihan orangtuanya dengan kuliah di tempat yang jauh. Karena itulah dia memutuskan untuk kuliah di Yogya saja yang jaraknya terjangkau dalam setengah hari perjalanan untuk pulang  ke Jepara. 

Sekian lama dia melupakan banyak hal tentang Bogor lantas muncul lagi niatnya untuk merampungkan studi di kampusnya dulu di Bogor. Aplikasi beasiswanya pun diterima dan Khalisa bisa menggapai cita-citanya yang sempat tertunda itu.

Kuliah lagi membuatnya merasa kembali muda. Bersama teman-teman dengan cita-cita yang sama, Khalisa merasa tertantang untuk menaklukkan berbagai rupa kesulitan yang dihadapinya. Kesulitan menyerap mata kuliah baru beriringan juga dengan kesulitan mengatur keuangan. Beasiswa yang sering terlambat menuntutnya untuk memperhitungkan setiap pengeluaran. 

Gajinya yang diterima dari  kampus sepenuhnya diserahkan kepada Bapak agar diatur penggunaannya untuk mencukupi kebutuhan di Yogya. Sementara dia harus rela hidup hemat bahkan kekurangan dengan uang saku dari beasiswa yang seringkali tak tentu datangnya.

Teman-teman kuliahnya ternyata sangat perhatian dan baik kepadanya. Hampir semuanya sudah bekerja kecuali Dini dan Ica.  Mereka kerap membayari makan siang Khalisa. Ada juga yang sering membayari ongkos foto kopi buku referensi dan materi kuliah. Khalisa tak pernah meminta itu tapi mereka nampaknya tak keberatan melakukannya. Kadang Khalisa malu karena sering dibayari.

Di samping kebaikan dan kemurahan hati teman-teman kuliahnya itu,   Khalisa merasa ada juga teman kuliahnya yang nampak merendahkannya karena dia seorang janda. Tapi dia tak terlalu memikirkannya. Hanya kadang-kadang saja timbul kejengkelannya. Kenapa mereka yang berpendidikan tinggi masih mempunyai stigma negatif pada janda?  Mestinya mereka bisa meluaskan pandangannya.

Pak Anwar yang mencoba mendekatinya pun dicurigai termasuk dari  bagian teman yang merendahkannya sebagai janda. Semua teman pun tahu kalau lelaki Aceh itu sudah beranak istri tapi kenapa masih saja berusaha mendekati Khalisa. 

Kepada Khalisa dia bilang kalau teman-teman kuliahnya mengira mereka sedang  berpacaran. Itu sangat tidak masuk akal. Khalisa curiga, jangan-jangan gosip itu sengaja dihembuskan sendiri oleh Pak Anwar agar dia bisa melegitimasi hubungannya dengan Khalisa. Benar-benar cerdik dia  memanfaatkan peluang.

            "Azas manfaat harus dijalankan. Manfaatkan saja dia selagi kita bisa mendapatkan banyak keuntungan darinya," Trinita mengutarakan niatnya tanpa malu-malu.

          Pak Anwar menjadi sangat royal jika bersama Khalisa dan teman-temannya. Seringkali dia menraktir teman-teman sekelas untuk makan bersama di restoran di kota Bogor. Mereka akan  diajak pergi bersama-sama naik mobilnya lalu dibebaskan memilih restoran mana saja yang diinginkan. Pulangnya pun boleh membungkus makanan untuk dimakan di rumah. Pak Anwar pun selalu memberikan uang untuk naik angkot pulang ke kos masing-masing karena dia tak bisa mengantarkan pulang. Tidak tanggung-tanggung, uang transportnya lima puluh ribu padahal ongkos naik angkot dua kali tiap orang  hanya dua ribu lima ratus.

Kalau Pak Anwar bersikap royal kepadanya karena ada pamrih itu bisa dinalar akal sehat. No pay no gain atau there's no free lunch itu paham yang diyakininya. Tidak ada yang gratis di dunia ini. Uang, perhatian dan pelayanan yang diberikannya berharap balasan yang sepadan. 

Maka ketika beberapa waktu lalu Khalisa membawa kue-kue oleh-oleh dari Dion ke kampus dan membagi kepada teman-teman, lelaki itu begitu marah. Dia seperti anak kecil yang terabaikan lalu berubah kalap.

         "Jangan makan kue murahan itu nanti sakit perut. Ikut aku aja nanti kutraktir pizza atau apa saja yang kalian mau !" dia berkoar-koar seperti gagak yang hampir sekarat tapi tak ada yang peduli.

Dion dari Makasar mendarat di Jakarta. Dia merasa perlu menemui Khalisa di Bogor  sebelum melanjutkan perjalanan pulang ke Yogya. Oleh-oleh yang dibawanya adalah oleh-oleh yang diberikan oleh kliennya di sana. Selain kue-kue juga ada beberapa t-shirt bergambar rumah Toraja yang  salah satunya diberikan kepada Khalisa.

Pada awalnya Pak  Anwar tahu tentang Dion dari teman-teman sekos Khalisa. Setelah itu Khalisa malah sering menyebut nama Dion atau bercerita tentangnya kepada Pak Anwar. Pada waktu itu tidak ada masalah meskipun dari raut wajahnya terbaca rasa cemburu yang tak bisa disembunyikan. Namun kemudian sesi berbagi kue oleh-oleh Dion di kelas itu telah menyulut kemarahannya. 

Dia tak mau mengantarkan Khalisa pulang hari itu dan hari-hari selanjutnya. Tak ada komunikasi lagi di antara keduanya hingga beberapa lama  sampai akhirnya dia kembali memperbaiki hubungannya dengan Khalisa di akhir semester.  

Dia menawarkan diri mengantarkan Khalisa ke agen travel ketika Khalisa mau pulang ke  Yogya. Sebelum travel berangkat dia mengulurkan beberapa lembar uang yang ternyata jumlahnya satu juta. Memaksa Khalisa menerimanya.

            "Ini ada sedikit uang untuk  Gea. Belikan apa saja yang dia mau. Ajak makan yang enak-enak !" pesannya sebelum travel berangkat dan meninggalkannya sendiri kembali bermobil pulang ke rumahya untuk bertemu anak istrinya.  

Perhatian Khalisa terbeli oleh sejumlah rupiah.  Dia sudah dibayar agar mau bersikap baik kepada Pak Anwar. Azas manfaat ajaran Trinita kembali meresahkannya. Dia memanfaatkan Pak Anwar tapi sebaliknya Pak Anwar tidak bisa mengambil manfaat darinya. Paling banter lelaki itu hanya diijinkan memegangi tangannya. Tidak lebih dari itu. Pertukarannya memang tidak adil bagi Pak Anwar.

Namun rupanya masih ada laki-laki yang tidak sealiran dengan pemikiran Pak Anwar. Bersedia berbuat baik kepadanya tanpa mengharap imbalan tertentu. Tidak berlaku azas manfaat.  Barangkali berganti menjadi strategi menguras simpati meskipun itu tidak sengaja dilakukan. 

Ketika Khalisa mengisahkan kesulitan-kesulitan yang dihadapinya tergeraklah hati mereka untuk membantu meskipun Khalisa tidak bermaksud minta bantuan. Hanya ingin didengarkan untuk mengurangi beban yang ditanggungnya.

Ada empat laki-laki yang dikenalnya lewat chatting. Dua di antaranya pernah bertemu sedangkan dua lainnya hanya dikenal lewat nama dan suara. Kesamaannya adalah mereka mentransfer uang untuk membantu Khalisa. Situasinya waktu itu memang sangat sulit untuk Khalisa. Sudah  tiga bulan tidak menerima gaji sementara beasiswanya juga sering terlambat masuk rekening. 

Ketua yayasan menghentikan gajinya secara sepihak  tanpa pemberitahuan karena mendapat informasi yang salah. Khalisa diduga telah diterima bekerja di Perguruan Tinggi lain. Perlu waktu untuk mendapatkan haknya kembali. Selagi dia kekurangan seperti itu, bantuan datang dari lelaki budiman yang entah digerakkan oleh kekuatan apa hingga mampu mengentaskannya dari kesulitan.

Husein berasal dari Semarang tapi tinggal di Jakarta. Statusnya duda beranak satu. Anaknya tinggal bersama istrinya di Solo. Menurut penuturannya mereka sudah lama bercerai. Kesibukan kerja barangkali yang menghalangi laki-laki itu segera mencari pengganti istrinya. 

Ada kemungkinan juga dia belum ingin menikah lagi karena masih trauma dengan pernikahan sebelumnya. Penyebab perceraiannya tidak pernah diungkapkan dan Khalisa merasa bukan haknya untuk bertanya lebih jauh mengenai hal itu.

Khalisa pernah bertemu dengan Husein dua kali. Sekali di Yogya waktu Husein menghadiri sebuah acara semacam seminar. Pertemuan ke dua di Semarang sewaktu Khalisa menjadi saksi untuk kasus perdata yang ditangani Dion. Husein mengajaknya makan bahkan menraktir semua orang termasuk klien dan tim pengacara dari lembaga hukum milik Dion. Pulangnya, Khalisa dibelikan banyak oleh-oleh untuk Gea.

Pekerjaan Husein sebagai konsultan IT membuatnya banyak berkeliling Indonesia bahkan hingga Singapura. Khalisa berkenalan dengan Husein sekitar dua tahun yang lalu lewat Yahoo Messenger. Sebenarnya cuma sekali chatting lalu sering menelpon setelah mereka bertukar nomor HP.  Ah, tidak terlalu sering juga. 

Husein datang dan pergi sesuka hati. Kalau dia tidak terlalu sibuk maka bisa menelpon begitu lama untuk bercanda dan bercerita hal-hal ringan sehari-hari. Tapi kalau tiba-tiba dia menghilang lama tanpa ada kabar , itu artinya dia sibuk dan tak ingin diganggu. 

Akhirnya Khalisa hanya menunggu kapan dia  menelponnya. Kadang setelah begitu lama tak ada kabar lantas dia menelpon dengan nomor baru yang tak dikenali. Entah kenapa dia kerap berganti nomor HP sehingga memang sulit dihubungi pada saat dibutuhkan.

Husein minta nomor rekeningnya setelah  Khalisa menuturkan kisahnya lewat telpon. Esok paginya Khalisa mendapati  saldo rekeningnya bertambah.  "Jangan dilihat jumlahnya ya, tapi ini bentuk perhatian dari seorang teman," begitu katanya setelah mentransfer uang lima ratus ribu ke rekeningnya.

Teman lain yang dikenalnya dengan cara yang sama dan tipe yang hampir mirip dengan Husein bernama Ichan.  Bedanya adalah Ichan beristri dengan tiga anak. Pekerjaannya di salah satu jaringan provider telpon seluler GSM membuatnya ditempatkan di wilayah Kalimantan. Dia terpaksa harus terpisah dengan keluarga untuk waktu lama. Sekali dalam dua atau bulan dia bisa libur paling lama seminggu untuk bertemu dan berkumpul dengan anak istrinya yang tinggal di Bogor.

Ichan adalah lelaki periang yang kerap membuat Khalisa tertawa terbahak-bahak dengan kisah-kisahnya tentang orang-orang yang ditemuinya di Kalimantan. Tukang ojek yang bergaya dengan HP model terbaru atau gadis-gadis desa yang hobi berkirim SMS.  Biasanya Ichan menelpon malam-malam ketika dia sedang menempuh perjalanan di perbatasan propinsi. 

Dia hanya butuh teman bicara untuk mengusir kejenuhan dalam perjalanan yang katanya begitu lama karena kondisi jalanan yang jelek. Kalau di Jawa bisa ditempuh kurang dari satu jam untuk jarak yang sama tapi di sana bisa sampai tiga jam lebih.

Khalisa tak pernah bertemu Ichan. Hanya mengenal nama dan suara. Kadang Ichan menelpon ketika di bandara dan bersiap kembali ke Kalimantan setelah menghabiskan waktu dengan keluarganya. Dari suaranya saja khalisa langsung bisa mengenalnya meskipun dia menggunakan nomor HP yang lain. Sama seperti Husein, dia pun tidak bisa dipastikan mempertahankan satu nomor yang sama dalam jangka waktu lama.

Ichan pun membantu meminjaminya uang untuk membayar SPP ketika beasiswanya habis dan harus membayar dengan uang sendiri. Sayangnya bertepatan dengan dia mengambil uang kiriman Ichan di ATM, sisa uang di dompetnya terkuras habis. Khalisa masih tak percaya kalau uangnya dicuri. Kapan dan siapa pelakunya dia tak tahu. 

Dompet itu digeletakkan di atas meja kamar kosnya yang berhadapan langsung dengan jendela yang terbuka. Tepat di depan jendela itu teras rumah Ibu kos di lantai atas. Ketika itu ada dua laki-laki yang bekerja di counter HP dekat kos  sedang bertemu Dini yang katanya akan menjual HP-nya. 

Mereka berbicara di teras itu beberapa lama ketika Khalisa sedang menonton TV di kamar Ica. Keesokan paginya Khalisa baru tahu kalau dompetnya kosong sewaktu mau membayar ongkos angkot ke kampus. Tidak ada uang selembar pun di sana. Untung ada uang recehan yang bisa dipakai untuk membayar angkot.

            "Kamu tidak usah menganggap sebagai utang," kata Ichan lewat telpon ketika mendengar cerita Khalisa tentang kesialannya hari itu. Uang kiriman Ichan itu lima ratus ribu sebagai SPP bagi mahasiswa pascasarjana yang  hanya tinggal melakukan revisi tesis. Uang itu direlakan Ichan sebagai bantuan bukan pinjaman.

Kenalan Khalisa lainnya yang juga merelakan lima ratus ribu untuk membantunya adalah Jack. Cara perkenalan yang sama dengan Husein maupun Ichan.  Tapi Jack paling sering menelpon dibandingkan Ichan maupun Husein.   

Dia butuh telinga untuk  berbagi kisah tentang kehidupannya  sebagai aktivis LSM HAM di Aceh.  Khalisa adalah pendengar yang baik dan penuh perhatian. Berjam-jam waktu malam-malamnya menjelang tidur  direlakan untuk mendengarkan kisah beraneka ragam dari Aceh yang dituturkan oleh Jack dengan penuh perasaan. Kisah sedih, jenaka dan juga konyol berganti-ganti mewarnai hari-hari Jack di sana.

Pada mulanya adalah salah kirim SMS. Khalisa bermaksud meminjam lima ratus ribu kepada seorang teman di Yogya tapi kemudian Jack menawarkan untuk memberikan uang itu. Kebetulan dia sedang di bandara dan melihat ATM. Khalisa dimintai nomor rekeningnya lalu lima ratus ribu pun segera berpindah ke rekeningnya. Saat itu Jack mau pulang ke Jakarta. 

Tiga hari kemudian dia berniat menemui Khalisa di Bogor. Janji pun dibuat dan mereka memang akhirnya bisa bertemu setelah Khalisa menjadi pemandu perjalanan Jack dari tugu Kujang sampai ke tempat kosnya di dekat kampus Darmaga.

Jack mengajaknya jalan-jalan ke Puncak naik jeepnya yang berwarna merah. Kontras sekali dengan kulit Jack yang putih. Matanya agak sipit sedangkan  rambutnya ikal. Kalau tertawa, matanya membentuk sebuah garis saja. Sama seperti ketika bercerita di telpon, Jack memang sangat suka bicara. 

Hanya saja pembicaraan mereka menjadi tidak asyik lagi setelah Jack mengangkat masalah nikah mut'ah  dan poligami. Nikah mut'ah itu istilahnya sekarang adalah kawin kontrak. 

Keduanya terlibat perdebatan sengit di sepanjang perjalanan. Bahkan ketika makan siang di salah satu restoran di Puncak, Khalisa hampir saja kehilangan kendali untuk bisa menahan kemarahannya. Jack mengkritik perempuan yang tidak mau menjadi istri ke dua dan yang tidak mengijinkan suaminya menikah lagi. Jack menganggap perempuan semacam itu  egois atau tidak toleran terhadap sesama perempuan. 

Menurutnya perempuan itu munafik. Dia melihat banyak perempuan entah masih  muda dan single atau sudah bersuami  terlibat affair dengan lelaki beristri. Ada juga perempuan mapan yang masih lajang dan perempuan berusia matang yang telah bersuami malah diam-diam memelihara gigolo.         

Cara  Jack menghakimi perempuan sebagai makhluk tidak bermoral itu sangat menyinggung perasaan Khalisa. Dia tidak terima kaumnya direndahkan oleh stigma seperti  itu. Mestinya kasus semacam itu tidak digunakan untuk menggeneralisir perempuan sebagai amoral dan munafik. 

Perjalanan pulang dari Puncak kembali ke tempat kosnya menjadi terasa sangat lama. Jeep merah itu berjalan lamban membawa mereka sampai tujuan. Di tengah perjalanan, Jack menawarkan untuk berhenti  agar bisa melanjutkan perdebatan dan pertengkaran mereka. 

Khalisa melotot dan bersikeras secepatnya sampai di tempat kosnya. Pertemuan itu menjadi yang pertama dan terakhir bagi mereka. Sungguh ironis. Khalisa tak lagi bisa menjadi pendengar yang baik setelah bertatap muka dengan Jack yang ternyata tak bisa menjaga perasaan perempuan.

Satu lagi yang cukup spektakuler adalah Agam yang baru dikenal lewat dua kali chatting pun ikut berpartisipasi menyumbangkan sejumlah uang.  Nampaknya  Agam bersimpati kepadanya selain karena kesulitan keuangan yang dihadapi juga penderitaan akibat endometriosis yang harus dirasakan setiap bulan.

 Agam baru setahun kehilangan istri karena kanker rahim. Ada kesamaan nasib  sebagai perempuan antara Khalisa dan mendiang Istrinya yang membuatnya terikat dan ingin berbuat baik.    

Khalisa tak pernah bertemu Agam meski dia tinggal di Jakarta. Agam juga tak  berniat meminta nomor HP-nya untuk bisa berbicara dengannya lewat telpon. Mereka hanya terikat dalam komunikasi di alam maya yang hanya dua kali itu. Karena pekerjaannya dia harus melakukan internet banking dalam pengiriman uang. 

Pada saat yang bersamaan dia meminta nomor rekening Khalisa untuk dikirimi uang. Tidak banyak jumlahnya. Hanya dua ratus ribu. Tapi itu sungguh berarti untuk Khalisa yang sedang kesulitan keuangan di akhir bulan.  Setidaknya bisa untuk makan selama beberapa hari. Bisa sampai sepuluh atau tiga belas hari tergantung makanan seperti apa yang dibeli.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun