Dia butuh telinga untuk  berbagi kisah tentang kehidupannya  sebagai aktivis LSM HAM di Aceh.  Khalisa adalah pendengar yang baik dan penuh perhatian. Berjam-jam waktu malam-malamnya menjelang tidur  direlakan untuk mendengarkan kisah beraneka ragam dari Aceh yang dituturkan oleh Jack dengan penuh perasaan. Kisah sedih, jenaka dan juga konyol berganti-ganti mewarnai hari-hari Jack di sana.
Pada mulanya adalah salah kirim SMS. Khalisa bermaksud meminjam lima ratus ribu kepada seorang teman di Yogya tapi kemudian Jack menawarkan untuk memberikan uang itu. Kebetulan dia sedang di bandara dan melihat ATM. Khalisa dimintai nomor rekeningnya lalu lima ratus ribu pun segera berpindah ke rekeningnya. Saat itu Jack mau pulang ke Jakarta.Â
Tiga hari kemudian dia berniat menemui Khalisa di Bogor. Janji pun dibuat dan mereka memang akhirnya bisa bertemu setelah Khalisa menjadi pemandu perjalanan Jack dari tugu Kujang sampai ke tempat kosnya di dekat kampus Darmaga.
Jack mengajaknya jalan-jalan ke Puncak naik jeepnya yang berwarna merah. Kontras sekali dengan kulit Jack yang putih. Matanya agak sipit sedangkan  rambutnya ikal. Kalau tertawa, matanya membentuk sebuah garis saja. Sama seperti ketika bercerita di telpon, Jack memang sangat suka bicara.Â
Hanya saja pembicaraan mereka menjadi tidak asyik lagi setelah Jack mengangkat masalah nikah mut'ah  dan poligami. Nikah mut'ah itu istilahnya sekarang adalah kawin kontrak.Â
Keduanya terlibat perdebatan sengit di sepanjang perjalanan. Bahkan ketika makan siang di salah satu restoran di Puncak, Khalisa hampir saja kehilangan kendali untuk bisa menahan kemarahannya. Jack mengkritik perempuan yang tidak mau menjadi istri ke dua dan yang tidak mengijinkan suaminya menikah lagi. Jack menganggap perempuan semacam itu  egois atau tidak toleran terhadap sesama perempuan.Â
Menurutnya perempuan itu munafik. Dia melihat banyak perempuan entah masih  muda dan single atau sudah bersuami  terlibat affair dengan lelaki beristri. Ada juga perempuan mapan yang masih lajang dan perempuan berusia matang yang telah bersuami malah diam-diam memelihara gigolo.     Â
Cara  Jack menghakimi perempuan sebagai makhluk tidak bermoral itu sangat menyinggung perasaan Khalisa. Dia tidak terima kaumnya direndahkan oleh stigma seperti  itu. Mestinya kasus semacam itu tidak digunakan untuk menggeneralisir perempuan sebagai amoral dan munafik.Â
Perjalanan pulang dari Puncak kembali ke tempat kosnya menjadi terasa sangat lama. Jeep merah itu berjalan lamban membawa mereka sampai tujuan. Di tengah perjalanan, Jack menawarkan untuk berhenti  agar bisa melanjutkan perdebatan dan pertengkaran mereka.Â
Khalisa melotot dan bersikeras secepatnya sampai di tempat kosnya. Pertemuan itu menjadi yang pertama dan terakhir bagi mereka. Sungguh ironis. Khalisa tak lagi bisa menjadi pendengar yang baik setelah bertatap muka dengan Jack yang ternyata tak bisa menjaga perasaan perempuan.
Satu lagi yang cukup spektakuler adalah Agam yang baru dikenal lewat dua kali chatting pun ikut berpartisipasi menyumbangkan sejumlah uang.  Nampaknya  Agam bersimpati kepadanya selain karena kesulitan keuangan yang dihadapi juga penderitaan akibat endometriosis yang harus dirasakan setiap bulan.