" Ah Ibu sirik aja," balas Rinta pura-pura marah, "Nah tuh ada SMS buat Ibu. Pasti dari Revi. Brownies. Berondong manis,"  Rinta ganti meledek Khalisa
Benar juga kata Rinta. Â Revi menyapanya sekedar menanyakan kabar. Khalisa menghitung mundur enam jam untuk mengetahui waktu di Hannover. Â Revi masih harus menyelesaikan master di sana. Selepas SMU Â Revi memilih melanjutkan pendidikan ke Jerman meskipun harus berpisah dengan kedua orangtuanya di Jakarta. Beberapa tahun kemudian, adiknya juga menyusul ke sana. Mereka tinggal satu apartemen dan kuliah di universitas yang sama. Setahun sekali mereka pulang ke Jakarta.
Tadinya Khalisa mengira orangtua Revi pastilah kaya karena bisa menyekolahkan kedua anaknya ke Jerman. Â Revi mengaku berasal dari keluarga biasa bahkan ayahnya sudah pensiun sekarang. Agar bisa bertahan hidup di negeri orang, mereka harus bekerja sambil kuliah.Â
Menjelang datangnya liburan panjang, mereka bersiap-siap mencari pekerjaan di pabrik. Ketika teman-temannya bisa menikmati liburan dengan jalan-jalan keliling Eropa, mereka terjebak dalam pekerjaan. Hanya sekali-sekali mereka bisa melewatkan liburan dengan mengunjungi beberapa obyek wisata di sekitar Eropa.
Samar-samar terdengar suara Trinita sedang berbicara di telpon. Nada bicaranya riang kadang diselingi tawa. Pasti bukan telpon dari Suaminya. Trinita sering mengeluh kalau Suaminya menelpon biasanya minta kiriman uang. Menurutnya itu tidak lazim karena seharusnya Suami yang menafkahi istri.
Keputusan Trinita menikah dulu memang lebih didorong oleh sikap emosionalnya. Orang tua kedua pihak sama-sama tidak menyetujui hubungan mereka tetapi justru semakin menguatkan niat Trinita untuk menikah. Akhirnya kedua orang tua mereka terpaksa menyetujui pernikahan itu. Ternyata kehidupan rumahtangga mereka banyak didera kesulitan ekonomi.Â
Suami Trinita yang lulusan SMA hanya bisa mendapatkan pekerjaan sebagai sales snack anak. Pekerjaan itu mengharuskannya berpindah-pindah wilayah pemasaran hampir meliputi seluruh Kalimantan Barat. Perjalanan ditempuh dengan bersepeda motor dan itu sangat melelahkan. Apalagi untuk Suami Trinita yang fisiknya lemah. Terlalu lama berada di bawah terik matahari sering membuatnya mimisan. Trinita berharap Suaminya bisa mendapatkan pekerjaan lain yang lebih sesuai dengan kondisinya.Â
Sayang sekali, sebelum mendapatkan pekerjaan baru malah ia sudah lebih dulu diberhentikan dari pekerjaannya. Mau tak mau Trinita harus mengambil alih sebagai pencari nafkah utama dalam keluarga sementara Suaminya berusaha mendapatkan pekerjaan baru. Kalau akhirnya ia memutuskan berburu beasiswa agar bisa melanjutkan ke program master itu karena memang menjadi tuntutan yang harus dipenuhinya sebagai dosen. Meskipun untuk memenuhinya harus jauh meninggalkan keluarga.
      "Mr. Baldi ya ?" Khalisa bertanya menyelidik. Trinita mengangguk dengan keriangan terpancar dari raut wajahnya.
      "Dimana  dia sekarang? Lagi sibuk apa?" kembali Khalisa  ingin tahu.
Mr Baldi adalah sebutan yang diberikan  Khalisa kepada dosen Statistik. Trinita sangat mengagumi lelaki setengah baya berkepala botak dan berwajah sinis itu. Entah bagaimana awalnya hingga mereka bisa begitu dekat. Kalau tidak salah pada awal kuliah tatapan mata Trinita berhasil meruntuhkan keangkuhan lelaki itu.Â