Halaman belakang rumah Hani yang besar itu sudah ramai dengan tamu-tamu undangan. Hani mengenalkanku dengan beberapa orang. Aku mengucapkan salam dan tersenyum sopan.
Aku yakin semua orang disini pasti sudah tahu siapa aku. Dan pastinya orang tua Hani yang sangat baik hati itu sudah berpesan kepada tamu-tamunya untuk bersikap biasa saja kepadaku, karena sejak tadi sedikitpun tak kulihat tatapan-tatapan iba dari mereka. Dan aku sangat menghargai itu.
Aku menyapa beberapa teman sekelas yang belum sempat kuakrabi. Mereka tersenyum dan membalas sapaanku.
Ferry mencarikanku tempat duduk yang cukup teduh di bawah pohon dekat meja prasmanan. Aku bersyukur dalam hati. Karena sebenarnya kepalaku masih terasa pusing. Tapi aku tak mau membuat cemas Ferry dan Hani.
“Kamu jangan makan yang ini Vid, nanti mual lagi. Yang ini saja. Nah, ini juga boleh. Wah ada salad buah nih. Kamu suka kan. Aku ambil juga ya,” kata Ferry sembari sibuk memilihkan makanan untukku.
“Eh Fer…. nggak usah banyak-banyak. Makanku kan sedikit,” ujarku melihat tumpukan yang menggunung pada piring di tangan Ferry.
“Tenang. Ini porsi berdua kok,” sahut Ferry sambil tertawa.
“Oh…” aku ikut tertawa.
“Memang aneh sekali sih,” terdengar suara laki-laki dari deretan kursi di belakangku, “Alat apa ya, yang dia gunakan? Tidak ada satupun benda tajam di dalam sel yang bisa mengakibatkan luka seperti itu. Seperti luka tusukan pisau tajam .”
“Mungkin ada penyusup dari luar yang dendam pada si Agus itu ?” kata laki-laki yang lain.