Disini tidak ada siapa-siapa.
Berkali-kali ia menabrak dinding lorong yang berkelok-kelok. Â
Ia tidak bisa melihat dengan jelas dalam lorong yang gelap ini. Mata tuanya sudah sedikit rabun.
Aku terus mengejar.
Larinya semakin lambat.
Ya. Begitu. Semakin lambat.
Sebentar lagi dia akan kelelahan. Dan aku bisa menyusulnya.
Lorongnya mendadak buntu. Dia terpojok.
Aku maju sambil menghunus pisauku.
Pak Agus memohon-mohon dengan tubuh gemetar.
Aku tak peduli.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!