“Arwan.” Pemuda itu menyambut tangan Vina sembari tersenyum.
“Aku minta maaf ya soal tadi pagi.” Vina meminta maaf untuk kesekian kalinya hari ini kepada Arwan.
“Wah mbak ini hobinya minta maaf ya, ndak apa-apa mbak.”
“Mbak? Gila loe, aku tu masih kecil jangan manggil aku mbak dunk, panggil ja Vina!”
“Ok mbak Vina, eh,,,Vina maksudnya.”
“Emang yang kamu jual apa Wan?” tanya Vina ringan.
“Ehm, yang di gerobak itu? Aku jual bakso Vi. Ikut emak aku di pasar Cimeng situ.”
Vina dan Arwan berbincang cukup lama siang itu, dari percakapan itu Vina menjadi tahu bahwa adonan yang tumpah tadi pagi adalah adonan bakso. Vina semakin merasa bersalah kepada Arwan, dia pun merasa malu dengannya karena sepagi itu Arwan sudah mulai bekerja sedangkan ia sendiri baru pulang dari senang-senang. Dalam obrolan Vina yang mendominasi pertanyaan antara mereka dan Arwan layaknya seorang tersangka atau saksi dalam sebuah kasus yang ditangani oleh pihak penyidik dari kepolisian, menceritakan semua yang ditanyakan Vina. Dari situ Vina mengetahui bahwa Arwan berasal dari Solo dan dia disini membantu orang tuanya. Dari percakapan itu Vina juga menyimpulkan bahwa Arwan adalah orang yang berpendidikan dan Vina tak percaya ketika Arwan bilang kalau dia tidak bersekolah.
“Aku pulang dulu ya Vi, emakku mungkin udah kawatir karena anaknya ini tak kunjung sampai di rumah.” Arwan meminta undur diri setelah mendengar suara adzan dhuhur.
“Ok, nice to meet you.” Sahut Vina dengan senyum.
“Nice to meet you too, I’ll see you later.” Arwan membalas sembari mendorong gerobaknya.