Ketika mereka telah turun dari kuda dan mengikat hewan-hewan itu di beberapa pepohonan, segera mereka melangkah menghampiri para penyambutnya.
Beberapa depa dari empat orang penghuni rumah itu, lelaki tegap kekar itu segera melepas tutup wajahnya. Ia tersenyum lebar sambil memandang seorang gadis yang berdiri di depan rumah besar itu.
Gadis itu menutup mulutnya yang menganga dengan kedua telapak tangan. Ia terkejut melihat siapa lelaki tegap kekar yang juga memandang dirinya.
"Ayah !!!!" Pekik Sekar Arum. Ia lantas berlari menghampiri Ki Ageng Gajah Alit. Semua yang menyaksikan tertawa, melihat gadis itu tiba-tiba memeluk kaki ayahnya.
Ke Ageng Gajah Alit segera mengangkat pundak anak bungsunya, ia meminta agar gadis itu berdiri. Sekar Arum mengusap kedua matanya yang basah, cairan bening membasahi pipinya.
"Tak aku sangka ayahanda datang kemari. Saat dipertempuran beberapa hari lalu aku sudah melihat lelaki mirip ayah, dalam deretan prajurit berkuda."
"Memang aku yang memimpin pasukan itu."
"Ketika aku bertanya paman Wirapati, dari mana pasukan berkuda itu, beliau bilang tidak tahu. Namun karena beliau terlihat tidak cemas melihat pasukan berkuda itu, jadi tak aku lanjutkan pertanyaanku."
"Habis perang masih berkobar. Jika aku beri tahu bahwa  pemimpin pasukan berkuda itu adalah ayahmu, aku takut kau tinggalkan medan pertempuran.  Kemudian lari kearah deretan pasukan berkuda itu, sekedar melepas kangen dengan ayahmu." Kata Senopati Wira Manggala Pati.Â
Semua yang mendengar percakapan itu tertawa. Sekar Arum hanya tersenyum sambil membuang mukanya dari tatapan para tamu.Â
Ki Ardi yang sejak tadi berdiri di depan pintu lantas berjalan mendekat diikuti Nyai Rukmini. Ia mengulurkan tangan menyambut kedatangan sahabatnya sesama bekas prajurit Medang Kamulan. Ki Ageng dengan riang menyambutnya.