"Maafkan aku Ki Ageng, saat itu aku tidak mampu melindungi keselamatan keluarga tuan. Â Sebagai pemimpin pengawal katumenggungan telah aku kerahkan semua kekuatan yang ada, untuk membendung banjir bandang serbuan lawan. Namun jumlah mereka terlalu banyak.Â
Jika aku pikirkan kembali, memang suatu kesalahan aku tidak mengutamakan dulu penyelamatan keluarga ki Ageng. Karena perasaan marah yang membuncah di dada, aku pilih menghadang musuh duluan." Kata Wira Manggala Pati bekas kepala pengawal katumenggungan Gajah Alit itu.
"Semua sudah berlalu Wirapati. Apapun yang  terjadi itu sudah kehendak Hyang Widhi, jangan terlalu menyalahkan diri sendiri." Kata Ki Ageng Gajah Alit.
"Jika diperbolehkan aku ingin ikut Ki Ageng Gajah Alit menemui putri Ki Ageng. Mereka yang terluka sudah berangsur membaik. Tinggal merawat tubuh mereka yang lemah karena banyaknya darah yang tumpah, dengan ramuan jamu untuk diminum. Semuanya bisa dilakukan cantrik-cantrikku.
Rasanya aku sudah jenuh dengan kegiatan harian yang selalu sama setiap hari. Sekali-sekali pingin jalan-jalan mencari udara segar." Kata Mpu Barada.
"Baiklah Mpu, tentu aku tidak keberatan. Malah aku senang punya teman berbincang lebih banyak." Jawab Ki Ageng Gajah Alit.
"Aku juga ikut ki ageng. Sudah saatnya aku memboyong pusaka-pusaka yang berhasil diambil kembali oleh Sembada dan Sekar Arum. Payung Tunggul Naga, keris Jalak Saleksa dan tombak Naga Kumala. Ketiganya kini disembunyikan Sembada." Kata Senopati Wira Manggala Pati.
"Tombak Naga Kumala ? Itu tombakku. Aku kira tombak itu ikut terbakar saat rumahku dimakan api." Kata Ki Ageng Gajah Alit.
Demikianlah rencana mereka setelah makan pagi bersama. Ketika matahari telah naik sepenggalah, sebuah rombongan berkuda keluar dari halaman balai kademangan Maja Dhuwur. Di barisan depan nampak Ki Ageng Gajah Alit, Mpu Barada dan senopati Wira Manggala Pati. Barisan kedua Ki demang Sentika, Handaka dan Sekarsari. Diiringi beberapa prajurit dan pengawal. Dengan santai mereka memacu kuda menuju dusun Majalegi.
Ketika mereka telah memasuki halaman rumah Mbok Darmi, nampak empat orang berdiri menyambutnya. Empat orang itu tersenyum ketika tahu siapa saja yang hadir di rumah itu. Demikian pula orang-orang yang baru datang itu, nampak wajah mereka ceria.
Namun ada seorang yang masih menimbulkan tanda tanya, seorang lelaki tegap kekar yang menggunakan ikat kepala sebagai penutup sebagian wajahnya.