"Ayah ada?"
Tuut! Tuut! Telfon ditutup. Aku heran. Tak biasanya Bunda menutup telfon dengan cara itu.
Sampai ke rumah, barulah semuanya jelas: ayahku meninggal.
Serangan jantung.
Tak perlu kuceritakan sebabnya. Sudah sangat umum, hidup seorang perokok harus siap dengan kematian mendadak.
Dan, supaya kisah ini tidak terlalu panjang, kesedihan tak perlu kulukiskan banyak. Sekedar satu dua tetes air mata itu wajar. Maklum, segala rencana kata yang tadi kususun sepanjang jalan langsung menguap.
"Wahyu!" kata Bunda lima bulan kemudian.
"Bunda punya sepupu, dia perempuan. Masih kuliah jurusan agama, semester empat, tapi sudah siap menikah. Bunda bermaksud menjodohkanmu dengannya. Mungkin tidak secantik wanita teman-teman sekampusmu di kota, karena dia gadis sederhana, orang desa, tapi Bunda yakin, setelah menikah, dia akan menjadi istri yang sangat kamu sayang."
Mendengar itu aku hanya mengangguk, tak bisa menolak. Tidak juga minta waktu untuk melakukan pertimbangan. Anggukanku anggukan menerima, bahkan misal pun wanita yang bunda tawarkan itu jauh di bawah sederhana, akan kuterima tanpa berpikir panjang. Mungkin, karena tingkat percayaku pada Bunda sudah terlalu besar.
"Menikahlah dengannya. Semua biaya telah siap. Bunda punya tabungan. Kamu tinggal datang ke rumahnya, mengajukan lamaran, nanti Bunda antar, dan jangan menunggu waktu lama, dua minggu kemudian acara harus sudah beres. Setelah menikah, kalian tinggali rumah ini, rawat, berdua."
"Berdua?"