"Para ulama itu yang membunuhnya?"
"Bukan, tapi kaum awam. Para ulama menjatuhkan hukuman, kaum awam mengeksekusi."
"Kukira, itu karena mereka terlalu panatik dalam beragama, Bunda."
"Bunda lebih suka jalan selamat. Bunda lebih suka menjaga kata-kata. Jika tanpa dikatakan kita bisa lebih selamat, Bunda lebih suka tidak mengatakannya. Sebuah pepatah menyebutkan, keselamatan seorang manusia itu tergantung dari kepandaiannya menjaga lisan."
"Betul juga ya, Bunda."
"Begitulah."
"Dan pula, apa gunanya menyakiti orang dengan kata-kata, bukankah lebih menyenangkan saat membahagiakan mereka? Ucapan membahagiakan apa pun kita sampaikan kepada orang, efek bahagianya kita pun akan rasakan. Seorang anak berjalan bersama ayahnya ke sebuah lembah. Di sana anak itu jatuh dan teriak, 'Aduh'. Dari kejauhan dia dengar orang berkata 'Aduh'. Dia teriak lagi, 'Hai, siapa kamu'. Dari kejauhan terdengar olehnya, "Hai, siapa kamu!". Dia teriak lagi, 'Hai pengecut!', terdengar, 'Hai pengecut!'."
"Terus?"
"Mendengar itu ayahnya tersenyum, 'Anakku, coba teriakkan olehmu 'Hai, kamu baik!'. Anak itu nurut, 'Hai, kamu baik', terdengar 'Hai, kamu baik!'. Heran si anak bertanya, 'Siapakah dia ayah?' Ayahnya menjawab, 'Itu gema, pantulan suaramu sendiri. Tapi begitulah kehidupan, apa yang kamu katakan, efek baik atau buruk kata-kata itu akan padamu pula kembalinya."
"Menarik sekali kisahnya."
"Dan pula, Wahyu.... " Bunda menarik nafas.