"Baguslah. Bunda mendukungmu. Mudah-mudahan dengan memperdalam bahasa, kamu akan mengerti pengetahuan sederhana tentang bahasa."
"Apa itu Bunda?"
"Bahasa itu terdiri dari kata-kata, maka kamu harus mengerti sifat kata-kata."
"Bagaimanakah sifat kata-kata?"
"Telah ditundukkan kepadamu kata-kata, berhati-hatilah kamu memeliharanya. Dia kendaraanmu tak ubahnya motor, dia alatmu tak ubahnya pisau. Kamu gunakan buat kebaikan, baik pula akan kamu dapatkan. Kamu gunakan buat keburukan, buruk pula akan kamu dapatkan. Dia pakaian, kepandaianmu memilih dan memakainya bisa jadi penentu naik turunnya derajat."
Sederhana dan datar, cara Bunda berkata. Harusnya aku ngantuk , namun tidak. Ini karena apa yang Bunda ucapkan itulah yang Bunda lakukan. Kalimat-kalimat meluncur perlahan, dengan tempo lambat yang enak didengar.
"Tatkala bahasa kamu gunakan buat kebaikan, maka yang paling pertama akan merasakan kebahagiaan bukan orang jauh melainkan orang terdekat. Sebaliknya saat bahasa itu kamu gunakan buat menyakiti, memaki-maki, maka yang paling pertama akan merasaakan sakitnya bukan orang jauh melainkan orang terdekat."
"Siapa orang terdekat itu, Bunda?"
"Diri kamu sendiri."
"Oh."
"Kamu lafadzkan ucapan kebaikan, kamulah yang paling pertama akan mencecap kebaikan. Kamu ucapkan kata-kata kebahagiaan kamulah yang paling pertama akan menikmat kebahagiaan. Kamu semburkan kata-kata pedas, kamu sendiri yang paling pertama akan menjilat pedasnya. Kamu muntahkan kata-kata menyakitkan, kamu sendiri orang paling pertama yang akan menuai sakitnya."