Mohon tunggu...
Silvi Novitasari
Silvi Novitasari Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis Lepas

Penyuka kamu, buku, senja, dan keindahan. Sempat jadi orang yang ansos, tapi akhirnya jadi orang sosial lewat tulisan. Bahkan menjadi sarjana sosial :D

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen | Kenanga

27 November 2017   22:38 Diperbarui: 27 November 2017   23:31 1033
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Judulnya?"

"Nashaihul Ibad, tipis tapi isinya sangat padat."

"Kamu baca di mana?."

"Di pengajian dibimbing Pak Ustadz."

Setelah percakapan itu, keputusanku mengambil jurusan Bahasa dan Sastra semakin mantap. Dengan tujuan, bukan sekedar mengusai segala seluk-beluk ilmu bahasa dan sastra, akan tetapi juga ilmu tentang bagaimana supaya bahasa yang kupunya manfaat, berkah buat kebaikan, dan menyebarkan kebaikan mendatangkan kebaikan.

Dan seakan semuanya harus dilancarkan, ayah tak keberatan. Mendukung seratus persen bahkan. Aku pergi ke ibukota dan mengontrak sebuah kamar. Karena kesibukan kampus yang padat, aku jarang pulang. Setahun sekali, dengan pengobat kangen ke rumah hanya telfon yang seringnya diangkat Bunda. Ayah juga sesekali menjawab, hanya rasanya ngobrol dengan dia kaku, tak serenyah dengan Bunda.

Di kampus, semangat belajarku melimpah. Porsi membacaku sehari tak pernah kurang dari seratus halaman. Semester ke semester prestasi terus melesat. Aku mahasiswa paling cemerlang, dicintai dosen, disukai banyak teman, karena dalam bicara, kupakai cara bicara baik dan benar. Jika diminta ceramah, ceramah kusampaikan sistematis, runut, mudah dipaham, dengan bahasa santun, dan penuh mutiara dan kisah.

Begitu juga tulisan, tidak susah bagiku menembus koran. Apakah itu cerpen, artikel, puisi atau esai, dengan sangat mudah termuat di media. Jika suatu hari tulisanku terbit, tukang koran kampus sering kehabisan stock karena orang penasaran. Karenanya setelah lulus menjadi sarjana, tak susah bagiku masuk menjadi staf kampus, asisten dosen sambil menempuh kuliah pascasarjana.

Dua tahun kemudian sidang tesisku lancar, dosen penguji suka, tanpa banyak pertanyaan, mereka tanda tangan, lulus, lalu sore itu juga, kugendong ransel menuju stasiun kereta untuk perjalanan pulang. Ingin menemui ayah, menyampaikan undangan wisuda, sekalian akan jujur kusampaikan rasa terima kasih atas segala kebaikannya. Kebaikan dia mendoakan, kebaikan dia merestui, kebaikan dia membiayai, dan yang terpenting, ucapan terima kasih terbesar atas kebaikan dia, telah memilihkan untukku ibu yang tepat, yang menginspirasiku cinta, mencintai kata-kata, menyayanginya, dan memanfaatkannya hanya untuk kebaikan. Dengan suara pelan dan perlahan, akan kusampaikan pada ayah, semua yang Bunda inspirasikan telah terasa: bahwa memelihara ucapan--hanya mengatakan kebaikan akan berbuah kebaikan itu--kini telah nyata.

Pikiran menyusun rencana, nanti semua akan kusampaikan di rumah, di ruang tengah, malam sambil menunggu adzan Isya. Kubayangkan ayah masih bersarung, berbaju koko dan berkopiah. Begitu pula aku, lalu dengan perlahan, ucapan terima kasih itu mulai kuucapkan. Begitu dalam pembayangan itu hingga mataku pejam, kepala jatuh ke sandaran empuk jok kereta, lalu dari paru, terhembus nafas panjang.

"Jangan biarkan damai ini pergi."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun