Lupakan semua kisah ibu tiri kejam. Ibu tiriku bukan. Dia wanita penyayang. Mengenangnya adalah mengenang pulau penuh kedamaian. Dia sekuntum mawar di sudut halaman, terdiam tenang, hanya sesekali angin mengusiknya bergoyang, mengedarkan wangi, memancarkan cerah. Dan cerah ibu tiriku dia pancarkan untukku, untuk ayah, untuk rumah, kemudian mendamaikan perasaan dan hati kami setiap hari dengan wanginya.
Berwajah eksotis kulit sawo matang, gadis usia dua puluh enam, asal pulau Kalimantan. Ayah menikahinya dua tahun setelah ibu meninggal, dan aku baru masuk kelas tiga Sekolah Dasar.
"Ayo salim sama Tante!" pinta ayah di teras depan rumah.
Kucium tangannya.
"Panggil saja Bunda, ya." pintanya sambil berlutut, mengusap kepala, memelukku erat pada hari pertama dia menjadi bagian dari keluargaku di rumah. Maka dari hari ke hari, adalah prosesku mengenalinya.
Ternyata istri yang taat. Tak pernah membantah. Sebab lupa melicin safari, pernah ayah membentaknya keras. Di kamar sendirian mataku berkaca-kaca tak tega. Kudengar Bunda hanya meminta maaf dan setelah itu diam. Mungkin segera menyetrika tanpa banyak bicara. Sampai kemudian kembali terdengar ayah minta maaf. Penasaran aku keluar kamar, kulihat ayah sedang memeluknya erat, meminta maaf, mengurai kata-kata penyesalan. Air mataku berjatuhan deras. Haru bukan kepalang. Setelah itu, kejadian sama tak pernah terulang.
Kesenangannya adalah membaca. Koleksi bukunya melimpah ruah, terbaris pada rak di kamar, dan karena tidak muat, sebagian buku itu menyesaki lemari ruang tengah. Jika tugas rumah selesai, lantai sudah dipel, cucian rapi terjemur, Bunda akan pergi ke teras belakang, duduk pada kursi rotan, membuka buku dan mulai membaca. Duduk tegak , buku tersimpan di meja, dengan anggun membukanya, dari lembar ke lembar, seperti mahasiswa disiplin sedang mengerjakan ulangan. Khusyuk dan tengelam ke dalam halaman yang sedang dibacanya.
Maka tak mengherankan jika Bunda menjadi wanita yang pandai berkisah. Kosa katanya kaya, pandai memilih diksi, tahu kata paling tepat. Jika berkisah, perhatian orang terpusat. Cicak absen berburu, kecoa menunda makan, laba-laba terpana, nyamuk diam, lalat bengong, mendengarkan Bunda hingga selesai cerita. Sering di pengajian aku tak sabar, ingin cepat bubar. Bukan sebab ingin segera main layangan atau televisi, tapi ingin segera bertemu ibu dan mendengarkan lagi kelanjutan cerita yang sempat dia tunda.
Aku semangat bangun lebih pagi, rela membantunya di dapur, membersihkan wortel, memotong kentang, mengulek tomat dan mengiris bawang hanya karena ingin segera mendengar kisahnya. Cara dia bertutur sangat tertata. Kalimat per kalimat meluncur ringan. Merdu halus enak didengar. Sambil mengiris tempe, membelah tahu, menghaluskan rempah, untaian kata-katanya riuh berjatuhan mirip gerimis di bulan-bulan basah.
Tak pernah kehabisan, ada saja bahan ceritanya. Cerita rakyat, dongeng dunia, kisah seribu satu malam, kisah Abu Nawas, kisah Nasriuddin Hoja, kisah Ali Baba, kisah Qamaruzzaman. Dia yang mengenalkanku kepada Tom Sawyer sang petualang Amerika, Seratus Tahun Kesunyian karya Gabriella, Di Bawah Lindungan Ka'bah novel Hamka, dan jangan tanya bagaimana kisah-kisah Nabi dan Para Sahabat, nyaris semuanya lengkap dia ceritakan, bahkan Nabi Muhammad dia kisahkan habis sejak lahir hingga wafat, lengkap begitu detail, bersama percakapan. Masih membekas dalam pikiran ini adegan ketakutan Abu Bakar saat sembunyi dalam Gua, masih sesak dada ini merasakan duka para sahabat saat Rasulullah meninggal.
Pernah saat Bunda sibuk menyampul buku, aku mendekatinya dan bertanya, apa kunci supaya kisah enak didengar, Bunda menjawab, "Setahu bunda, ada dua. Pertama, perdengarkanlah kisah pada orang yang ingin mendengarnya. Itulah makanya setiap kali mau bercerita, bertanya dulu padamu, maukah mendengar? Setelah kamu izinkan, baru Bunda memulai."
"Kedua?"
"Permudahlah. Permudah orang memahami apa yang kita ceritakan."
"Caranya?"
"Gunakan kata-kata yang mudah dimengerti orang. Begitulah para nabi mencontohkan. Dalam berbicara, Nabi Muhammad berusaha memudahkan pemahaman orang. Coba baca hadits-hadits beliau di Kitab Al-Lu'lu wal Marjan."
"Bunda punya juga?"
"Ya meski terjemahannya. Begitu juga para ulama, ilmuwan, para penulis tersohor dunia, mereka pun lebih banyak menyajikan tulisannya dalam bahasa ringan supaya mudah dimengerti awam."
Sejenak Bunda terdiam,
"Yang sedang Bunda sampul misalnya, karya Rene Descartes."
"Apa judulnya Bunda?"
"Discourse On Method, sepertinya rumit dan memusingkan. Sebetulnya bukan. Meski judul sangat akademis, megah, tapi isi buku, dia tuturkan dalam bentuk kisah, dengan bahasa yang mudah dipahami orang. Mereka memang para penulis teladan. Jika menulis, mereka menulis dengan penuh kerendahhatian, jauh dari sikap kasar dan arogan. Rene Descartes misalnya, saat menyajikan pemikiran dia berkata kepada pembaca, bahwa dia tidak merasa daya pikir dia tidak lebih sempurna daripada nalar manusia pada umumnya."
"Rendah hati sekali."
"Memang. Dan ini sangat kontras dengan beberapa orang yang katanya cinta menulis di social media, padahal tak satu pun karyanya sukses , tapi kasarnya sudah kelewatan. Seakan menguasi semua cabang ilmu pengetahuan, kesenangannya menghakimi kepribadian orang dan merendahkan mereka. Orang semacam itu jika berkisah, biasanya kata-katanya rumit dan terasa lemah, sebab sebagian besar energi telah dia habiskan buat memaki-maki orang."
"Ah, Bunda kok menghakimi juga... " keluhku mencoba mengkritiknya.
"Oh iya ya, hehe." Bunda terkekeh.
"Hehe."
Terpengaruh kesenangan Bunda berkisah, juga kesenangannya membaca, aku jadi tertarik meminjam buku-bukunya. Tanpa terasa aku jatuh cinta kepada pelajaran bahasa dan sastra. Nilai empat dan nilai tiga boleh-boleh saja mempermalukanku pada pelajaran kimia, fisika, dan materimatika, tapi Bahasa dan Sastra Indonesia tidak. Jika tidak sepuluh paling tidak nilaiku Delapan. Sejak SD hingga SMA, Bahasa Indonesia menempati urutan teratas sebagai pelajaran paling kusuka. Yang karenanya pula, diam-diam dan perlahan, tertanam dalam hatiku pohon cita-cita, ingin menjadi professor bahasa.
"Wahyu!"
"Ya, Bunda" sahutku dari kamar.
"Sini!"
Kuhampiri dia ke beranda belakang.
"Kamu tidak sekolah?"
"Hari-hari bebas Bunda, minggu kemarin ujian akhir semester."
"Duduklah, mau kan menemani Bunda ngobrol di sini?"
"Baik Bunda."
"Dua semester lagi SMA-mu tamat ya?"
"Iya Bunda."
"Sudah ada rencana meneruskan kuliah ke mana?"
"Sudah. Aku ingin masuk jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia."
"Mantap memilih itu?"
"Mantap sekali."
"Mengapa memilih itu?"
"Suka saja."
Berat nian kujelaskan jika sesungguhnya pilihan ini dipengaruhi olehnya.
"Baguslah. Bunda mendukungmu. Mudah-mudahan dengan memperdalam bahasa, kamu akan mengerti pengetahuan sederhana tentang bahasa."
"Apa itu Bunda?"
"Bahasa itu terdiri dari kata-kata, maka kamu harus mengerti sifat kata-kata."
"Bagaimanakah sifat kata-kata?"
"Telah ditundukkan kepadamu kata-kata, berhati-hatilah kamu memeliharanya. Dia kendaraanmu tak ubahnya motor, dia alatmu tak ubahnya pisau. Kamu gunakan buat kebaikan, baik pula akan kamu dapatkan. Kamu gunakan buat keburukan, buruk pula akan kamu dapatkan. Dia pakaian, kepandaianmu memilih dan memakainya bisa jadi penentu naik turunnya derajat."
Sederhana dan datar, cara Bunda berkata. Harusnya aku ngantuk , namun tidak. Ini karena apa yang Bunda ucapkan itulah yang Bunda lakukan. Kalimat-kalimat meluncur perlahan, dengan tempo lambat yang enak didengar.
"Tatkala bahasa kamu gunakan buat kebaikan, maka yang paling pertama akan merasakan kebahagiaan bukan orang jauh melainkan orang terdekat. Sebaliknya saat bahasa itu kamu gunakan buat menyakiti, memaki-maki, maka yang paling pertama akan merasaakan sakitnya bukan orang jauh melainkan orang terdekat."
"Siapa orang terdekat itu, Bunda?"
"Diri kamu sendiri."
"Oh."
"Kamu lafadzkan ucapan kebaikan, kamulah yang paling pertama akan mencecap kebaikan. Kamu ucapkan kata-kata kebahagiaan kamulah yang paling pertama akan menikmat kebahagiaan. Kamu semburkan kata-kata pedas, kamu sendiri yang paling pertama akan menjilat pedasnya. Kamu muntahkan kata-kata menyakitkan, kamu sendiri orang paling pertama yang akan menuai sakitnya."
"Berarti hanya tinggal berkata baik"
"Tak cukup hanya itu,"
"Lantas?"
"Harus disertai niat baik. Kata-katanya penuh kebaikan, niat di belakangnya penuh kebusukan, takkan menjadi kebaikan."
"Berarti berkata baik dengan niat baik. Ternyata begitu mudah."
"Tak semudah melaksanakannya."
"Karena?"
"Karena banyak godaan."
"Misalnya?"
"Saat merasa diri hebat, berani, percaaya diri, kemudian tersinggung, biasanya keluar kata pedas, kasar, dan menyakitkan. Karena itu, mudah-mudahan kamu selalu ingat apa akibat yang mungkin bakal kita tanggung bila ucapan kita menyinggung orang?"
"Bagaimana Bunda?"
"Farag Furouda."
"Bahasa apakah itu?"
"Itu nama orang, dibunuh penembak misterius karena dianggap memusuhi agama."
"Bagaimana dia memusuhi agama?"
"Melakukan penghinaan."
"Dia menghina agama?"
"Ya."
"Apa yang diucapkannya?"
"Bukan mengucapkan, dia menulis."
"Oh berarti, mungkin dia hanya mengkritik."
"Yang jelas, beberapa ulama Al-Azhar memvonis dia melakukan penghinaan, kemudian mengeluarkan fatwa, Farag Furouda halal darahnya, boleh dibunuh."
"Para ulama itu yang membunuhnya?"
"Bukan, tapi kaum awam. Para ulama menjatuhkan hukuman, kaum awam mengeksekusi."
"Kukira, itu karena mereka terlalu panatik dalam beragama, Bunda."
"Bunda lebih suka jalan selamat. Bunda lebih suka menjaga kata-kata. Jika tanpa dikatakan kita bisa lebih selamat, Bunda lebih suka tidak mengatakannya. Sebuah pepatah menyebutkan, keselamatan seorang manusia itu tergantung dari kepandaiannya menjaga lisan."
"Betul juga ya, Bunda."
"Begitulah."
"Dan pula, apa gunanya menyakiti orang dengan kata-kata, bukankah lebih menyenangkan saat membahagiakan mereka? Ucapan membahagiakan apa pun kita sampaikan kepada orang, efek bahagianya kita pun akan rasakan. Seorang anak berjalan bersama ayahnya ke sebuah lembah. Di sana anak itu jatuh dan teriak, 'Aduh'. Dari kejauhan dia dengar orang berkata 'Aduh'. Dia teriak lagi, 'Hai, siapa kamu'. Dari kejauhan terdengar olehnya, "Hai, siapa kamu!". Dia teriak lagi, 'Hai pengecut!', terdengar, 'Hai pengecut!'."
"Terus?"
"Mendengar itu ayahnya tersenyum, 'Anakku, coba teriakkan olehmu 'Hai, kamu baik!'. Anak itu nurut, 'Hai, kamu baik', terdengar 'Hai, kamu baik!'. Heran si anak bertanya, 'Siapakah dia ayah?' Ayahnya menjawab, 'Itu gema, pantulan suaramu sendiri. Tapi begitulah kehidupan, apa yang kamu katakan, efek baik atau buruk kata-kata itu akan padamu pula kembalinya."
"Menarik sekali kisahnya."
"Dan pula, Wahyu.... " Bunda menarik nafas.
"Ya."
"Menyakiti orang dengan kata-kata bisa menyebabkan pengetahuan kita tidak manfaat."
"Oh Bunda, aku pernah membaca sebuah kisah."
"Tentang?"
"Tentang bahayanya menyakiti orang. "
"Apa itu?"
"Seperti kata Bunda, pengetahuan yang dipunya takkan memberi manfaat."
"Bagaimana kisahnya?"
"Diriwayatkan, seorang pemuda Bani Israil mengumpulkan 80 peti ilmu, namun setelah semua dia baca, ilmunya yang dia raih tidak bermanfaat. Maka Allah memberikan wahyu kepada salah seorang nabi yang diutus pada masa itu, supaya menyampaikan kepada si pemuda: "Meski telah kau kumpulkan ilmu melimpah, takkan pernah ilmu itu memberikan manfaat, hingga kamu lakukan tiga perkara: Jangan kamu cintai dunia, karena dunia bukanlah rumah orang beriman. Jangan bersahabat dengan syetan, karena syetan bukanlah teman orang beriman. Jangan menyakiti seorang pun dari hamba Allah, karena itu bukanlah kebiasaan orang beriman. "
"Itu kisah dalam kitab?"
"Ya, kitab kuning, Bunda."
"Judulnya?"
"Nashaihul Ibad, tipis tapi isinya sangat padat."
"Kamu baca di mana?."
"Di pengajian dibimbing Pak Ustadz."
Setelah percakapan itu, keputusanku mengambil jurusan Bahasa dan Sastra semakin mantap. Dengan tujuan, bukan sekedar mengusai segala seluk-beluk ilmu bahasa dan sastra, akan tetapi juga ilmu tentang bagaimana supaya bahasa yang kupunya manfaat, berkah buat kebaikan, dan menyebarkan kebaikan mendatangkan kebaikan.
Dan seakan semuanya harus dilancarkan, ayah tak keberatan. Mendukung seratus persen bahkan. Aku pergi ke ibukota dan mengontrak sebuah kamar. Karena kesibukan kampus yang padat, aku jarang pulang. Setahun sekali, dengan pengobat kangen ke rumah hanya telfon yang seringnya diangkat Bunda. Ayah juga sesekali menjawab, hanya rasanya ngobrol dengan dia kaku, tak serenyah dengan Bunda.
Di kampus, semangat belajarku melimpah. Porsi membacaku sehari tak pernah kurang dari seratus halaman. Semester ke semester prestasi terus melesat. Aku mahasiswa paling cemerlang, dicintai dosen, disukai banyak teman, karena dalam bicara, kupakai cara bicara baik dan benar. Jika diminta ceramah, ceramah kusampaikan sistematis, runut, mudah dipaham, dengan bahasa santun, dan penuh mutiara dan kisah.
Begitu juga tulisan, tidak susah bagiku menembus koran. Apakah itu cerpen, artikel, puisi atau esai, dengan sangat mudah termuat di media. Jika suatu hari tulisanku terbit, tukang koran kampus sering kehabisan stock karena orang penasaran. Karenanya setelah lulus menjadi sarjana, tak susah bagiku masuk menjadi staf kampus, asisten dosen sambil menempuh kuliah pascasarjana.
Dua tahun kemudian sidang tesisku lancar, dosen penguji suka, tanpa banyak pertanyaan, mereka tanda tangan, lulus, lalu sore itu juga, kugendong ransel menuju stasiun kereta untuk perjalanan pulang. Ingin menemui ayah, menyampaikan undangan wisuda, sekalian akan jujur kusampaikan rasa terima kasih atas segala kebaikannya. Kebaikan dia mendoakan, kebaikan dia merestui, kebaikan dia membiayai, dan yang terpenting, ucapan terima kasih terbesar atas kebaikan dia, telah memilihkan untukku ibu yang tepat, yang menginspirasiku cinta, mencintai kata-kata, menyayanginya, dan memanfaatkannya hanya untuk kebaikan. Dengan suara pelan dan perlahan, akan kusampaikan pada ayah, semua yang Bunda inspirasikan telah terasa: bahwa memelihara ucapan--hanya mengatakan kebaikan akan berbuah kebaikan itu--kini telah nyata.
Pikiran menyusun rencana, nanti semua akan kusampaikan di rumah, di ruang tengah, malam sambil menunggu adzan Isya. Kubayangkan ayah masih bersarung, berbaju koko dan berkopiah. Begitu pula aku, lalu dengan perlahan, ucapan terima kasih itu mulai kuucapkan. Begitu dalam pembayangan itu hingga mataku pejam, kepala jatuh ke sandaran empuk jok kereta, lalu dari paru, terhembus nafas panjang.
"Jangan biarkan damai ini pergi."
Ringtone handphone.
Kuangkat. Tertera sebuah nama.
"Halo! Bunda! Alhamdulillah, aku lulus, tesisku lolos, terima kasih Bunda. Ini semua atas... "
Tiada sahutan. Kudengarkan di sana, suasana berisik.
"Bunda, halo!?"
"Ya, halo! Syukurlah, Bunda bahagia. Bahagiaa sekali..."
Suara itu serak. Mungkin Bunda haru, anak tirinya yang dulu sabar diasuhnya kini telah sukses. Pasti seterusnya dia akan bertanya ini itu, tentang rencana ke depannya, akan kerja di mana, atau mau kembali mengambil beasiswa meneruskan strata tiga. Tapi senyap, Bunda tetap diam.
"Halo Bunda,"
"Ya."
"Kenapa Bunda diam? Tak biasanya. Itu ramai sekali di sana, banyak orang, Bunda sedang di mana?"
"Di rumah. Syukurlah kamu dalam perjalanan pulang, hati-hati ya." Tetap dengan suara serak basah.
"Ayah ada?"
Tuut! Tuut! Telfon ditutup. Aku heran. Tak biasanya Bunda menutup telfon dengan cara itu.
Sampai ke rumah, barulah semuanya jelas: ayahku meninggal.
Serangan jantung.
Tak perlu kuceritakan sebabnya. Sudah sangat umum, hidup seorang perokok harus siap dengan kematian mendadak.
Dan, supaya kisah ini tidak terlalu panjang, kesedihan tak perlu kulukiskan banyak. Sekedar satu dua tetes air mata itu wajar. Maklum, segala rencana kata yang tadi kususun sepanjang jalan langsung menguap.
"Wahyu!" kata Bunda lima bulan kemudian.
"Bunda punya sepupu, dia perempuan. Masih kuliah jurusan agama, semester empat, tapi sudah siap menikah. Bunda bermaksud menjodohkanmu dengannya. Mungkin tidak secantik wanita teman-teman sekampusmu di kota, karena dia gadis sederhana, orang desa, tapi Bunda yakin, setelah menikah, dia akan menjadi istri yang sangat kamu sayang."
Mendengar itu aku hanya mengangguk, tak bisa menolak. Tidak juga minta waktu untuk melakukan pertimbangan. Anggukanku anggukan menerima, bahkan misal pun wanita yang bunda tawarkan itu jauh di bawah sederhana, akan kuterima tanpa berpikir panjang. Mungkin, karena tingkat percayaku pada Bunda sudah terlalu besar.
"Menikahlah dengannya. Semua biaya telah siap. Bunda punya tabungan. Kamu tinggal datang ke rumahnya, mengajukan lamaran, nanti Bunda antar, dan jangan menunggu waktu lama, dua minggu kemudian acara harus sudah beres. Setelah menikah, kalian tinggali rumah ini, rawat, berdua."
"Berdua?"
"Ya berdua."
"Bertiga, bersama Bunda."
"Berdua."
"Bunda di mana?"
"Ingin membeli rumah baru."
"Di mana?"
"Di Kalimantan."
"Di Kalimantan? Berarti?"
"Ya, Bunda akan pulang, sudah waktunya penyu melaut, telah saatnya uap melangit."
Serasa ditampar ratusan batako, tidak tahu kenapa mendengar ini lebih menyakitkan dari mendengar kematian Ayah.
"Bunda, tidak bisakah rencana itu dibatalkan?"
"Tugas telah selesai, Bunda akan pulang."
"Tempat pulang Bunda rumah ini, di sini."
"Bukan, Wahyu."
Ucapnya beriring senyum.
Aku menunduk. Jari kupatah-patahkan.
"Dulu kamu bocah yang baru saja kehilangan Bunda. Piatu dan masih kecil, masih membutuhkan dekap dan hangatnya kasih sayang. Maka atas panggilan kasih aku datang, menjalankan tugas dengan ilmu seadanya dan kini tugas itu telah selesai. Kamu telah sukses, telah dewasa, telah menjadi sarjana, punya pekerjaan dan penghasilan, sebentar lagi akan menikah, punya pendamping yang tentunya akan baik-baik saja tanpa kehadiran Bunda, karena itulah kurasakan tak berat lagi meninggalkanmu untuk pulang ke kampung halaman."
"Bunda tahu sebanyak apa sedih saat aku kehilangan ayah?"
"Pasti sangat banyak."
"Kurasa tidak sebanyak saat ini, saat mau ditinggalkan pergi oleh Bunda?"
"Apa yang kamu harapkan dari kehadiran Bunda?"
"Cerita-ceritamu, ilmumu saat berbicara, obrolan-obrolan kita yang bemanfaat, teladan kebaikan... "
"Haha. Wahyu, ringankanlah langkahku. Tenanglah, tak perlu cemas. Meski jauh, kita masih bisa komunikasi. Via sosial media, Bunda masih akan berbagi cerita, dan kamu bebas membacanya."
Sebisa mungkin air mata kukuatkan. Namun tak urung, perasaanku tetap berjatuhan, seperti kelereng, bergelindingan ke lantai, ke kolong lemari, kursi, dan meja. Terlalu dalam akar pohon itu tertanam, maka saat dicabut, bumi sekitarnya pecah terguncang. Setelah sekian lama menjadi bagian hidupku dengan kasih sayangnya, sekarang Bunda akan menghilang dari mata.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H