Mohon tunggu...
Tsania Zakiyya
Tsania Zakiyya Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa

suka musik

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Review Skripsi

4 Juni 2024   22:18 Diperbarui: 4 Juni 2024   23:02 204
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Risma Wahdani (222121072)//HKI 4B

Putusan Hakim pengadilan agama bekasi tentang pembatalan perkawinan karena mahar imitasi perspektif maslahah
      (Studi putusan pengadilan agama bekasi nomor 2699/Pdt.G/2018/PA.Bks) /Aldhila Paramitha

Pendahuluan

Setiap orang memiliki keinginan dan keinginan untuk hidup berkelompok dan berdampingan dengan orang lain. Ini dicapai melalui pernikahan antara seorang pria dan seorang wanita. Selain sebagai kebutuhan pemenuhan hajat hidup manusia, perkawinan merupakan salah satu bentuk Sunnatullah yang berlaku universal pada semua ciptaan Tuhan, baik manusia maupun hewan dan tumbuhan. Pernikahan adalah cara yang dipilih Tuhan untuk memiliki anak, melahirkan dan mempertahankan daya tahan tubuh seseorang.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, "perkawinan" berasal dari kata "kawin", artinya membentuk keluarga dengan lawan jenis; menikah atau menikah; untuk seks dan hubungan intim. Sedangkan menurut literatur fikih, pernikahan atau perkawinan dilambangkan dengan dua kata yaitu nikah dan zawaj. Kedua kata ini tidak hanya digunakan dalam kehidupan sehari-hari orang Arab, tetapi juga banyak digunakan dalam Al-Qur'an dan Hadits Nabi. , dimana kata Al-Nikah dan Al-Zawaj secara etimologis dapat berarti sebagai berikut:

al-Dhammu wa al-Jam'u (bersatu atau terkumpul), al-Wath'i (kawin). Menurut Syara, perkawinan adalah akad agama antara seorang pria dan seorang wanita yang tujuannya untuk saling memuaskan dan membentuk bahtera rumah tangga.

Selain itu, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan bahwa perkawinan adalah persatuan lahir dan batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal, yaitu berdasarkan keyakinan oleh Tuhan Yang Maha Esa Untuk pengertian perkawinan menurut Pasal 1 UU No. 1.1 Tahun 1974, dalam kaitannya dengan perkawinan harus ada hubungan lahiriah dan hubungan batiniah, keduanya harus ada.

Ikatan lahir adalah ikatan yang kelihatan, ikatan yang benar, mengungkapkan adanya hubungan antara seorang pria dan seorang wanita untuk hidup bersama sebagai suami istri. Sebaliknya, ikatan batin adalah ikatan yang tidak dapat dilihat tetapi hanya dirasakan oleh kedua pasangan, seperti saling cinta, kasih sayang dan kepercayaan. Sekalipun tidak nyata, ia pasti ada, karena tanpa keterikatan lahir dan batin ia menjadi rapuh."

Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum agama dan kepercayaan yang bersangkutan dan setiap perkawinan dicatatkan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dan pelaksanaannya juga harus memenuhi segala syarat pernikahan.

Jika perkawinan itu tidak memenuhi syarat dan syarat, maka Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 22 Perkawinan batal.

Jika suatu perkawinan telah dilangsungkan sementara itu dan ternyata telah terjadi pelanggaran terhadap undang-undang perkawinan, maka pengadilan agama dapat membubarkan perkawinan itu atas permintaan pihak yang bersangkutan. Dengan demikian, suatu perkawinan dapat dibatalkan dan batal demi hukum. Namun, pembatalan tidak selalu dikabulkan, karena dalam kasus-kasus tertentu hakim biasanya bertujuan agar pemohon mencabut permohonan pembatalan.

BAB I

Setiap orang memiliki keinginan dan keinginan untuk hidup berkelompok dan berdampingan dengan orang lain. Ini dicapai melalui pernikahan antara seorang pria dan seorang wanita. Selain sebagai kebutuhan pemenuhan hajat hidup manusia, perkawinan merupakan salah satu bentuk Sunnatullah yang berlaku universal pada semua ciptaan Tuhan, baik manusia maupun hewan dan tumbuhan. Pernikahan adalah cara yang dipilih Tuhan untuk memiliki anak, melahirkan dan mempertahankan daya tahan tubuh seseorang.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, "perkawinan" berasal dari kata "kawin", artinya membentuk keluarga dengan lawan jenis; menikah atau menikah; untuk seks dan hubungan intim. Sedangkan menurut literatur fikih, pernikahan atau perkawinan dilambangkan dengan dua kata yaitu nikah dan zawaj. Kedua kata ini tidak hanya digunakan dalam kehidupan sehari-hari orang Arab, tetapi juga
banyak digunakan dalam Al-Qur'an dan Hadits nabi.

Perkawinan yang batal demi hukum mengakibatkan perkawinan itu dianggap batal dan dianggap tidak pernah ada. Pemutusan akad dengan syarat dapat disebut fasakh. Akad nikah memfasakh berarti musnah dan putusnya suatu hubungan perkawinan yang mengikat atau tetap. Fasakh karena tidak terpenuhinya syarat dan rukun nikah dan sebab-sebab lain yang dilarang oleh agama Islam dan juga oleh hukum yang berlaku karena Pasal 1 menyatakan bahwa perkawinan adalah penyatuan sejak lahir antara seorang pria dan seorang wanita. sebagai suami istri untuk mewujudkan keluarga bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Sebelum melangsungkan pernikahan, ada baiknya kedua mempelai  mempersiapkan segala keperluan pernikahan agar tidak terjadi masalah di kemudian hari, karena setelah akad berakhir, ada hak dan kewajiban yang harus dipenuhi. masing-masing pasangan, salah satunya adalah mahar. Mtainen adalah simbol menghormati dan menghargai wanita dengan hormat. Mahar adalah salah satu hal yang dimiliki oleh Allah SWT. Dan itu menjadi salah satu hak perempuan dan simbol kehormatan atau pemuliaan status dan kesuciannya.

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG PEMBATALAN PERKAWINAN, MAHAR DAN MASLAHAH

A. Pembatalan Perkawinan

1. Pengertian Pembatalan Perkawinan.

Mengenai pengertian pembatalan perkawinan, baik dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan maupun dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan tidak mengatur atau menyebutkan secara tegas.

Namun secara etimologi Pembatalan perkawinan berarti merusak. Jika dihubungkan dengan perkawinan berarti membatalkan perkawinan atau merusak perkawinan. Dalam kamus besar bahasa Indonesia menyebutkan bahwa pembatalan perkawinan adalah pembatalan ikatan perkawinan oleh Pengadilan Agama berdasarkan tuntutan suami atau istri yang dapat dibenarkan oleh Pengadilan Agama atau karena perkawinan yang terlanjur menyalahi hukum perkawinan.

Batal yaitu "rusaknya hukum yang ditetapkan terhadap suatu amalan seseorang, karena tidak memenuhi syarat dan rukunnya, sebagaimana yang ditetapkan oleh syara". Selain tidak memenuhi syarat dan rukun, juga perbuatan itu dilarang atau diharamkan oleh agama. Jadi, secara umum, butalnya perkawinan yaitu "rusak atau tidak sahnya perkawinan karena tidak memenuhi salah satu syarat atau salah satu rukunnya, atau sebab lain yang dilarang atau diharamkan oleh agama

Dalam hukum Islam, pembatalan perkawinan disebut juga dengan Fasakh yang artinya merusakkan atau membatalkan. Dilihat dari makna terminologis kata fasakh dalam bahasa Arab dimaknai secara umum, yaitu berlaku untuk semua jenis dan kriteria membatalkan akad, termasuk didalamnya adalah pembatalan akad-akad dalam muamalah, termasuk pula perceraian. Jadi, kata fasakh sebetulnya berlaku umum untuk semua jenis pembatalan termasuk pembatalan akad-akad transaksi jual beli, seperti disebabkan karena adanya kerusakan pada barang yang diperjual belikan, dan juga pemutusan akad nikah yang telah dilangsungkan.

Hamid Sarong mendefinisikan Fasakh sebagai salah satu sebab putusnya perkawinan ialah merusakkan atau membatalkan hubungan perkawinan yang telah berlangsung.
Sesuai dengan artinya menghapus dan membatalkan, maka putusan ikatan perkawinan dengan cara melibatkan tidak hanya dua belah pihak yaitu suami istri saja tetapi termasuk pihak ketiga. Sehingga ada kemungkinan fasakh itu terjadi karena kehendak suami, kehendak istri. dan kehendak orang lain yang berhak Sedangkan hal-hal yang bisa dijadikan sebab untuk memfasakh berkisar pada dua kelompok sebab yakni sebelum akad nikah dan setelah akad nikah."

Memfasakh akad nikah berarti membatalkannya dan melepaskan ikatan pertalian antara suami istri. Fasakh bisa terjadi karena syarat- syarat yang tidak terpenuhi pada aqad nikah atau karena hal-hal lain yang datang kemudian yang membatalkan kelangsungan perkawinan

2. Sebab-sebab batalnya perkawinan

Beberapa faktor penyebab terjadinya pembatalan perkawinan atau fasokh, ialah:

a. Syiqq yaitu adanya pertengkaran antara suami istri yang terus menerus.

b Adanya cacat yang terdapat pada diri suami atau istri, baik cacat jasmani atau cacat rohani atau jiwa. Cacat tersebut mungkin terjadi sebelum perkawinan, namun tidak diketahui oleh pihak lain atau cacat yang berlaku setelah terjadi akad perkawinan, baik ketahuan atau terjadinya itu setelah suami istri bergaul atau belum.

c. Ketidakmampuan suami memberi nafkah. Pengertian nafkah disini berupa nafkah lahir atau nafkah batin, karena keduanya menyebabkan penderitaan dipihak istri.

d. Suami gaib (al Mafqd). Maksud gaib disini adalah suami meninggalkan tempat tetapnya dan tidak diketahui kemana perginya dan dimana keberadaannya dalam waktu yang lama

e. Dilanggarnya perjanjian dalam perkawinan. Sebelum akad nikah suami istri dapat membuat perjanjian perkawinanm pelanggaran terhadap perkawinan tersebut dapat menyebabkan terjadinya pembatalan perkawinan.

Menurut Amir Syarifuddin fasakh dapat disebabkan oleh dua macam

a. Disebabkan oleh perkawinan yang tidak memenuhi rukun dan syarat atau terdapat adanya halangan perkawinan.

b. Disebabkan terjadinya sesuatu dalam kehidupan rumah tangga yang tidak memungkinkan rumah tangga itu dilanjutkan.

Sedangkan persyaratan yang mengatur pembatalan perkawinan diberikan secara rinci oleh para ulama dari keempat mazhab seperti tersebut dibawah ini":

a. Terjadinya fasakh menurut mazhab Syafi'i dan Hambali adalah karena:

1) Pisah karena cacat salah seorang suami atau istri

2) Perceraian karena bebagai kesulitan (i'sor) suami

3) Pisah karena li an

4) Salah seorang suami atau istri murtad

5) Perkawinan itu rusak (fasad).

6) Tidak ada kesamaan status (sekufu).

b. Terjadinya fasakh menurut mazhab Hanafi:

1) Pisah karena suami istri murtad.

2) Perceraian karena perkawinan itu rusak (fasad).

3) Perpisahan karena tidak seimbangnya status (sekufu) atau suami tidak dapat ditemukan.

c. Adapun perkawinan itu menjadi fasakh menurut mazhab Maliki.

1) Terjadinya li'an

2) Fasadnya perkawinan

3) Salah seorang pasangan murtad.

Sedangkan menurut (Kompilasi Hukum Islam) di dalam Pasal

70, Perkawinan batal (demi hukum) apabila

a Suami melakukan perkawinan, sedang ia berhak melakukan akad nikah karena sudah mempunyai empat orang istri sekalipun salah satu dari keempatistrinya dalam iddah talak raj'i

b. Seseorang menikahi bekas istrinya yang telah dili 'annya.

c. Seseorang menikahi bekas istrinya yang pernah dijatuhi tiga kali talak olehnya, kecuali bila bekas istri tersebut pernah menikah dengan pria lain kemudian bercerai lagi ba'da al dukhul dan pria tersebut dan telah habis masa iddahnya.

d. Perkawinan dilakukan antara dua orang yang mempunyai hubungan darah; semenda dan sesusuan sampai derajat tertentu yang menghalangi perkawinan menurut Pasal 8 UU No. 1 Tahun 1974.

e. Istri adalah saudara kandung atau sebagai bibi atau kemanakan dari istri atau istri-istrinya.

Selanjutnya Pasal 71 dijelaskan, suatu perkawinan dapat dibatalkan apabila:

a. Seorang suami melakukan poligami tanpa izin Pengadilan Agama,

b. Perempuan yang dikawini ternyata kemudian diketahui masih menjadi istri pria yang mafqud,

c. Perempuan yang dikawini ternyaa masih dalam iddah dari suami lain;

d. Perkawinan yang melanggar batas umur perkawinan, sebagaimana ditetapkan Pasal 7 UU No. 1 tahun 1974;

e. Perkawinan dilangsungkan tanpa wali atau dilaksanakan oleh wali yang tidak berhak;

f. Perkawinan yang dilakukan dengan paksaan.

Sementara alasan-alasan yang dapat diajukan untuk pembatalan perkawinan dalam Pasal 26 dan 27 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yaitu sebagai berikut:

a. Perkawinan yang dilangsungkan dihadapan pegawai pencatat perkawinan yang tidak berwenang:

b. Wali nikah yang melakukan perkawinan itu tidak sah;

c. Perkawinan dilangsungkan tanpa dihadiri oleh 2 (dua) orang saksi;

d. Perkawinan dilangsungkan di bawah ancaman yang melanggar hukum;

e. Ketika perkawinan berlangsung terjadi salah sangka mengenai diri suami atau istri.

B. Mahar

1. Pengertian Mahar

Secara bahasa muhar )( merupakan mufrad (tunggal) dari jamaknya yakni muhrun ) ( atau disebut juga ash-shidaqu )

Mahar adalah pemberian wajib berupa uang atau barang dari mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan, ketika dilangsungkan akad nikah. Mahar juga merupakan salah satu unsur terpenting dalam proses pernikahan. Mahar secara etimologi artinya muskawin. Secara terminologi, mahar ialah "pemberian wajib dari calon suami kepada calon istri sebagai ketulusan hati calon suami untuk menimbulkan rasa cinta kasih bagi seorang istri kepada calon suaminya" atau "suatu pemberian yang diwajibkan bagi calon suami kepada calon istrinya, baik dalam bentuk benda maupun jasa (memerdekakan, mengajar dsb)"

Mahar dalam itu dalam istilah arab disebut dengan tujuh nama, yaitu

a. Shadaq atau as-sidq yaitu kebenaran untuk membenarkan cinta suami kepada istrinya, bisa juga diartikan sebagai penghormatan kepada istri dan inilah pokok dalam kewajiban mahar atau maskawin.
b. Nihlah artinya pemberian sukarela.

c. Faridhah berasal dari kata faradha yang artinya kewajiban.

d. Ajr adalah mahar yang diberikan seorang laki-laki kepada wanita sebagai kompensasi dari hak laki-laki itu untuk mendapat kenikmatan dari wanita tersebut.

Imam Syafi'i mengatakan bahwa mahar adalah sesuatu yang wajib diberikan oleh seorang laki-laki kepada seorang perempuan untuk dapat menguasai seluruh anggota badannya.

2. Dasar hukum mahar

Suatu kelebihan syariat Islam dan syariat lainnya antara lain dalam hal memuliakan perempuan. Dalam Hukum Islam diwajibkan bagi seorang laki-laki yang hendak menikah dengan seorang perempuan untuk memberikan mahar. Meskipun pemberian mahar tersebut hanya sebagai simbol atau kecintaan (cinta kasih) seorang calon suami kepada calon istri bahwa calon suami benar-benar mencintainya. Demikian juga dengan calon istri, bahwa penerimaan mahar tersebut sebagai simbol tentang tanggung jawab seorang perempuan terhadap harta atau apa saja yang diamanahkan suami kepadanya.

3. Bentuk dan Macam Mahar

    a. Bentuk mahar

Pada umumnya mahar biasanya berbentuk materi baik berupa uang atau barang berharga lainnya. Namun syari'at Islam memungkinkan mahar dalam bentuk lainnya seperti dalam bentuk. jasa melakukan sesuatu dan didalam Al-Quran tidak ditentukan jenis mahar harus berupa sebuah benda atau jasa tertentu yang harus dibayarkan seorang suami terhadap istrinya.

b. Macam Mahar

Ulama fikih sepakat bahwa mahar itu ada dua macam, yaitu Mahar Musamma dan Mahar Mitsil.

1) Mahar Musamma

Mahar muxamma yaitu mahar yang sudah disebut atau dijanjikan kadar besarnya ketika akad nikah. Atau, mahar yang dinyatakan kadarnya pada waktu akad nikah.

Ulama fikih sepakat bahwa dalam pelaksanaannya, mahar musamma harus diberikan secara penuh apabila":

a) Telah bercampur (bersenggama).

b) Salah satu dari suami istri meninggal. Demikian menurut ijma'.

Mahar musamma juga wajib dibayar seluruhnya apabila

suami telah bercampur dengan istri, dan ternyata nikahnya rusak

dengan sebab-sebab tertentu, seperti ternyata istrinya mahram

sendiri, atau dikita perawan ternyata janda, atau hamil dari bekas

suami lama. Akan tetapi, kalau istri dicerai sebelum bercampur, hanya wajib dibayar setengahnya,
Berdasarkan dari bentuk dan cara pembayaran mahar

muasamma dibagi menjadi dua bagian, yaitu:

a) Mahal mu'ajjal ialah mahar yang segera diberikan kepada istrinya atau mahar yang diberikan secara kontan

b) Mahar Ghoiru mu'ajjal ialah mahar yang pemberiannya ditangguhkan, jadi mahar tersebut tidak langsung dibayarkan seketika akan tetapi sesuai dengan persetujuan dari kedua belah pihak.

2) Mahar Mitsil (Sepadan) Mahar mitsil yaitu mahar yang tidak disebutkan besar kadarnya pada saat sebelum ataupun ketika terjadi pernikahan. Atau mahar yang diukur (sepadan) dengan mahar yang pernah diterimah oleh keluarga terdekat, agak jauh dri tetangga sekitarnya, dengan mengingat status sosial, kecantikan dan sebagainya.

Bila terjadi demikian (mahar itu tidak disebut besar kadarnya pada saat sebelum atau ketika terjadi pernikahan). maka mahar itu mengikuti maharnya saudara perempuan pengantin wanita (bibi, bude, anak perempuan bibi/bude). Apabila tidak ada, maka mitsil itu beralih dengan ukuran wanita lain yang sederajat dengan dia.

Mahar mitsil juga terjadi dalam keadaan sebagai berikut20

a) Apabila tidak disebutkan kadar mahar dan besarnya ketika berlangsung akad nikah, kemudian suami telah bercampur dengan istri, atau meninggal sebelum bercampur.

b) Jika mahar musamma belum dibayar sedangkan suami telah bercampur dengan istri dan ternyata nikahnya tidak sah.

Nikah yang tidak disebutkan dan tidak ditetapkan maharnya disebut nikah tafwidh.
menceraikan istrinya sebelum digauli dan belum juga ditetapkan jumlah mahar tertentu kepada istrinya itu. Dalam hal ini, maka istri berhak menerima mahar mitsil

4. Syarat-syarat Mahar

a.Mahar yang diberikan kepada calon istri harus memenuhi syarat- syarat sebagai berikut: Harta/bendanya berharga. Tidak sah mahar dengan tidak berharga.

walaupun tidak ada ketentuan banyak atau sedikitnya mahar. Akan tetapi apabila mahar sedikit tapi bernilai maka tetap sah.

b. Barangnya suci dan bisa diambil manfaat. Tidak sah mahar dengan khamr, babi, atau darah karena semua itu haram dan tidak berharga.

c. Barangnya bukan barang ghasab. Ghasab artinya mengambil barang milik orang lain tanpa seizinnya, namun tidak bermaksud untuk memilikinya karena berniat untuk mengembalikannya kelak. Memberikan mahar dengan barang hasil ghasab tidak sah, tetapi akadnya tetap sah.

d. Bukan barang yang tidak jelas keadaannya. Tidak sah mahar dengan memberikan barang yang tidak jelas keadaannya, atau tidak disebutkan jenisnya.

C. Malahah

1. Pengertian malahah

Maslahah secara bahasa berarti sesusatu yang mendatangkan kebaikan. Lafadz maslahah seperti lafadz manfaat, baik artinya maupun wazannya yaitu kalimat isim mashdar yang sama artinya dengan kalimat as-shalah, seperti halnya lafadz al-manfaat sama artinya dengan an- naf u.

Beberapa definisi maslahah yang dikemukakan oleh ulama ushul fiqih pada hakikatnya mengandung pengertian yang sama. Imam al- Gazali (ahli fiqih madzhab Syafi'i) mengemukakan pengertian maslahah adalah mengambil manfaat dan menolak kemudharatan mengambil manfaat dan mendorong kemudharatan dalam rangka memelihara kebutuhan syarak la memandang bahwa suatu kemaslahatan harus sejalan dengan tujuan syarak, sekalipun bertentangan dengan tujuan- tujuan manusia. Alasannya, kemaslahatan manusia tidak selamanya didasarkan kepada kehendak syarak, tetapi sering didasarkan kepada kehendak hawa nafsu.

Selanjutnya Imam al-Gazali berpendapat bahwa tujuan syarak yang harus dipelihara tersebut ada lima bentuk, yaitu memelihara agama, akal, jiwa, keturunan, dan harta. Apabila seseorang melakukan suatu perbuatan yang pada intinya bertujuan memelihara kelima aspek tujuan syarak tersebut, maka perbuatannya dinamakan maslahat. Disamping itu upaya untuk menolak segala bentuk kemudharatan yang berkaitan dengan kelima aspek tujuan syarak tersebut, juga dinamakan maslahah."

2. Macam-macam maslahah

Paling tidak ada tiga sudut pandang yang digunakan para ahli ushul untuk mengklasifikasikan maslahah. Tiga sudut pandang itu adalah dari segi didukung atau tidak didukung oleh nash, segi kekuatannya, dan dari segi dapat atau tidak dapat berubah.

a. Dari segi didukung atau tidak didukung oleh nash, maslahah dibagi menjadi tiga:

1) Al-Maslahah al-Mu'tabarah, yaitu maslahah yang mempunyai bukti tekstual dalam memperlakukan pertimbangannya. Maslahah jenis ini berkaitan dengan ketentuan-ketentuan hukum secara jelas dalam nash. Seperti hukum memotong tangan pencuri, hukuman orang yang berzina, dan sebagainya.

2) Al-Maslahah al-Mulgha, yaitu tipe maslahah yang secara nyata ditolak oleh syara'. Sebagai contoh cerita tentang seorang penguasa yang melakukan hubungan badan dengan istrinya di siang hari pada bulan Ramadhan dan ia akan menebus dosanya itu dengan memerdekakan seorang budak dan memberi dema yang dianggap sebagai maslahah. Tetapi seorang ahli hukum mazhab Maliki memberi fatwa bahwa sang raja tersebut harus berpuasa dua bulan berturut-turut, karena penebusan dosa tidak ditentukan oleh besarnya pengorbanan kekayaan seseorang.

Oleh karena itu berpuasa dua bulan berturut-turut adalah ketentuan terbaik bagi raja tersebut.27

3) Al-Maslahah Al- Mursalah yaitu suatu kemaslahatan yang tidak ditetapkan oleh syara' tentang hukum untuk mewujudkannya dan tidak pula terdapat dalil syara yang memerintahkannya.

Dari ketiga bagian tersebut kemaslahatan yang pertama dapat dijadikan sebagai landasan hukum dan yang kedua tidak bisa dijadikan sebagai landasan hukum dengan syarat kemaslahatan tersebut bersifat darri (menyangkut kebutuhan pokok manusia), qaf7 (pasti, bukan angan-angan), dan kulli (menyangkut kepentingan umum).

b. Menurut al-Ghazali, apabila maslahah dilihat dari segi kekuatan substansinya, maka dibedakan menjadi tiga bagian, yaitu:

1) Maslahah darryh adalah kemaslahatan yang berhubungan dengan kebutuhan pokok umat manusia di dunia dan di akhirat. Yang termasuk dalam kemaslahatan ini adalah: memelihara agama (lifdzu al-din), memelihara jiwa (hifdzu al- nafs), memelihara akal (hifdzu al-aql), memelihara keturunan (Pifdzu al-nasl), dan memelihara harta (hifdzu al-mal). Menurut para ahli ushul fiqih, kelima kemaslahatan ini disebut al-masalih al-khamsah.

2) Maslahah hajiyah adalah kemaslahatan yang dibutuhkan dalam menyempurnakan kemaslahatan pokok atau mendasar sebelumnya yang berbentuk keringanan untuk mempertahankan dan memelihara kebutuhan dasar manusia. Jadi jika hjyah tidak dipertimbangkan bersama daruriyyat maka manusia secara keseluruhan akan menghadapi kesulitan. Tetapi hancurnya hjiyah bukan berarti hancurnya keseluruhan masalih. 29 Misalnya dalam bidang ibadah diberi keringanan meringkas salat (salat jamak, salat qasar) dan berbuka puasa bagi orang yang sedang musafir. Dalam bidang muamalah antara lain diperbolehkan berburu binatang, melakukan jual beli pesanan, serta bekerja sama dalam pertanian (muzara'ah) dan perkebunan (musaqah). Semua ini disyariatkan Allah SWT untuk mendukung kebutuhan mendasar al-maslahah al-khamsah tersebut diatas.

3) Maslahah tahsnyah adalah yaitu kemaslahatan yang sifatnya pelengkap berupa keleluasaan yang dapat melengkapi kemaslahatan sebelumnya.
Misalnya dianjurkan untuk memakan makanan yang bergizi, berpakaian yang bagus, melakukan ibadah-ibadah sunnah sebagai amalan tambahan, dan diteteapkan berbagai jenis cara menghilangkan najis dari badan manusia. Ketiga kemaslahatan ini perlu dibedakan, sehingga seorang muslim dapat menentukan prioritas dalam mengambil suatu kemaslahatan. Kemaslahatan ad-daruriyyat harus lebih didahulukan daripada kemaslahatan al-hajiyyah, dan kemasalahatan al-hajiyyat lebih didahulukan dari kemaslahatan at-ta) siniyyat.

BAB III

PUTUSAN PENGADILAN AGAMA BEKASI NOMOR 2699/Pdt.G/2019/PA. Bks TENTANG PEMBATALAN PERKAWINAN

A. Profil Pengadilan Agama Bekasi

1. Sejarah Pengadilan Agama

Institusi Pengadilan Agama Bekasi secara formal belum terbentuk pada masa penjajahan Belanda dan Jepang. Setelah proklamasi Kemerdekaan atas tuntutan Undang-Undang, Pengadilan Agama Bekasi berdiri tepatnya tahun 1950 yang berkantor di Jl. Is Straat Kampung Melayu Jatinegara dengan Ketua Rd. H. Abu Bakar, setelah terjadi pemekaran wilayah yaitu terbentuknya Kabupaten Bekasi yang memisahkan diri dari Keresidenan Jatinegara, Pengadilan Agama Bekasi pindah ke wilayah hukum Kabupaten Bekasi. Namun dikarenakan belum memiliki kantor, Pengadilan Agama Bekasi semula menempati rumah kontrakan dimulai dari rumah kontrakan Bapak H. Abdul Kadir selama 3 tahun, pindah ke rumah kontrakan Ibu Ja'anih kurang lebih 15 tahun. pindah lagi ke rumah kontrakan Bapak Maja kurang lebih selama 2 tahun dan terakhir bergabung dengan Kantor Departemen Agama Kabupaten Bekasi Kurang lebih 3 tahun yaitu dari tahun 1975 sampai dengan tahun 1978.

Walikotamadya Dati II Bekasi dibentuk berdasarkan Undang- Undang No.9 Tahun 1996 tanggal 19 Desember 1996 yang sebelumnya merupakan bagian dari Kabupaten Dati II Bekasi, dan pada tahun 1998 berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 145 tahun 1998 dibentuk Pengadilan Agama Kabupaten Bekasi yang sekarang dikenal dengan Pengadilan Agama Cikarang sebagai konsekuensi atas pembentukan Walikotamadya tersebut. Adapun peresmian berdirinya Pengadilan Agama Cikarang dilakukan oleh Direktur Jenderal Pembinaan Kelembagan Agama Islam pada tanggal 13 April 1999, schingga wilayah Hukum Pengadilan Agama Bekasi yang semula meliputi Kabupaten dan Kotamadya hanya meliputi wilayah Kotamadya Bekasi saja.

2. Susunan Organisasi Pengadilan Agama

Struktur organisasi Pengadilan Agama juga disesuaikan dengan Peradilan Umum dan Peradilan lainnya, sehingga status kedudukannya menjadi sederajat dengan Peradilan lain yang ada di Indonesia, dari segi fisik dan jumlah personil Pengadilan Agama Salatiga masih ketinggalan dari Peradilan Umum, hal ini disebabkan karena dana yang tersedia untuk sarana fisik kurang memadai, namun kualitas sumber daya manusia Pegawai Pengadilan Agama Salatiga sama dan sejajar dengan Peradilan Umum bahkan melebihi, karena tenaga yang direkrut harus malalui seleksi yang ketat dan  memenuhi syarat-syarat yang ditentukan.
4. Prosedur Pengajuan Perkara Permohonan

Prosedur pengajuan pembatalan perkawinan di Pengadilan Agama sama seperti prosedur pengajuan perkara yang lain." yakni dengan cara sebagai berikut:

a. Pemohon mengisi Formulir Permohonan Informasi yang disediakan Pengadilan dan memberikan salinannya kepada Pemohon.
b. Petugas Informasi mengisi Register Permohonan.

C. Petugas Informasi langsung meneruskan formulir permohonan kepada Penanggungjawab Informasi di unit/satuan kerja terkait, apabila informasi yang diminta tidak termasuk informasi yang aksesnya membutuhkan ijin dari PPID (Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi).

d. Petugas Informasi langsung meneruskan formulir permohonan kepada PPID apabila informasi yang diminta termasuk informasi yang aksesnya membutuhkan ijin dari PPID guna dilakukan uji konsekuensi.

e. PPID melakukan uji konsekuensi berdasarkan Pasal 17 Undang- Undang Keterbukaan Informasi Publik terhadap permohonan yang disampaikan.

f. Dalam jangka waktu 5 (lima) hari kerja sejak menerima permohonan, PPID menyampaikan pemberitahuan tertulis kepada Petugas Informasi, dalam hal permohonan ditolak.

g. Dalam jangka waktu 5 (lima) hari kerja sejak menerima permohonan, PPID meminta Penanggungjawab Informasi di unit/satuan kerja terkait untuk mencari dan memperkirakan biaya penggandaan dan waktu yang diperlukan untuk mengandakan informasi yang diminta dan menuliskannya dalam Pemberitahuan Tertulis PPID dalam waktu selamalamanya 3 (tiga) hari kerja serta menyerahkannya kembali kepada PPID untuk ditandatangani, daam hal permohonan diterima.

h. Petugas Informasi menyampaikan Pemberitahuan Tertulis sebagaimana dimaksud butir 6 atau butir 7 kepada Pemohon Informasi selambatlambatnya dalam waktu 1 (satu) hari kerja sejak pemberitahuan diterima.

i. Petugas Informasi memberikan kesempatan bagi Pemohon apabila ingin melihat terlebih dahulu informasi yang diminta, sebelum memutuskan untuk menggandakan atau tidak informasi tersebut.

j. Dalam hal Pemohon memutuskan untuk memperoleh fotokopi informasi tersebut, Pemohon membayar biaya perolehan informasi kepada Petugas Informasi dan Petugas Informasi memberikan tanda terima.

k. Dalam hal informasi yang diminta tersedia dalam dokumen elektronik (soft copy), Petugas Informasi pada hari yang sama mengirimkan informasi tersebut ke email Pemohon atau menyimpan informasi tersebut ke alat penyimpanan dokumen elektronik yang disediakan oleh Pemohon tanpa memungut biaya.

L. Petugas Informasi menggandakan (fotokopi) informasi yang diminta dan memberikan informasi tersebut kepada Pemohon sesuai dengan waktu yang termuat dalam Pemberitahuan Tertulis atau selambat- lambatnya dalam jangka waktu 2 (dua) hari kerja sejak Pemohon membayar biaya perolehan informasi.
m. Pengadilan dapat memperpanjang waktu sebagaimana dimaksud butir 12 selama 1 (satu) hari kerja apabila diperlukan proses pengaburan informasi dan selama 3 (tiga) hari kerja jika informasi yang diminta bervolume besar.

n. Untuk pengadilan di wilayah tertentu yang memiliki keterbatasan untuk mengakses sarana fotokopi, jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam butir 13 dapat diperpanjang selama 3 (tiga) hari kerja.

o. Untuk pengadilan di wilayah tertentu yang memiliki keterbatasan untuk mengakses sarana fotokopi, jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam butir 13 dapat diperpanjang selama 3 (tiga) hari kerja.

B. Deskripsi Perkara Nomor 2699/Pdt.G/2019/PA.Bks

1. Deskripsi Perkara Nomor 2699/Pdt.G/2019/PA.Bks

Perkara nomor 2699/Pdt.G/2019/PA.Bks merupakan perkara permohonan pembatalan perkawinan yang diajukan oleh DF bin T, umur 26 tahun, agama Islam, pekerjaan Karyawan Swasta, tempat tinggal XXX, Kota Bekasi. Selanjutnya disebut sebagai termohon I, AP binti T umur 28 tahun, agama Islam, Pekerjaan karyawan swasta, tempat tinggal di XXX, Kota Bekasi.

2.2. Duduk perkara nomor 2699/Pdt.G/2019/PA.Bks

Dalam posita yang dituangkan dalam putusan pembatalan perkawinan nomor 2699/Pdt.G/2019/PA.Bks menyebutkan bahwa pemohon yang merupakan wali nikah dari Termohon I mengajukan permohonan pembatalan perkawinan karena satu minggu setelah terjadinya pernikahan antara termohon I dan termohon II diketahui ternyata termohon II memberikan maskawin perhiasan emas seberat 10,5 gram bukan emas asli melainkan imitasi sebagaimana surat pernyataan dari pemilik toko perhiasan, sehingga pemohon dan termohon I merasa keberatan dan telah ditipu.
Pada petitum yang terdapat dalam surat permohonan menyebutkan bahwa pemohon memohon agar Ketua Pengadilan Agama Bekasi membatalkan perkawinan atas putusan seadil-adilnya.

Dalam surat permohonannya, pemohon mengajukan permohonan kepada Pengadilan Agama Bekasi untuk membatalkan perkawinan antara termohon I dengan termohon II yang dilaksanakan pada 28 April 2019. Permohonan pembatalan pekawinan tersebut terjadi lantaran pemohon dan termohon I merasa tertipu setelah mengetahui bahwa mahar yang diberikan termohon II sebesar 10,5 gram merupakan mahar imitasi.

3. Pertimbangan Hakim

Berdasarkan surat permohonan tersebut, Majelis Hakim yang menangani perkara Nomor 2699/Pdt.G/2019/PA.Bks memutuskan permohonan pembatalan tersebut dikabulkan dengan pertimbangan sebagai berikut:

a. Bahwa pada pokoknya pemohon mengajukan permohonan pembatalan perkawinan antara adik-adik pemohon yang dilaksanakan pada tanggal 28 April 2019 di Kantor Urusan Agama Kecamatan Bekasi Utara, Kota Bekasi sebagaimana dalam kutipan Akta Nikah Nomor 0881/292/IV/2019 pada tanggal 29 April 2019 karena maskawin yang diberikan oleh termohon II yang dikatakan emas 10,5 gram ternyata buka emas melainkan imitasi.

b. Bahwa pada hari persidangan yang telah ditetapkan pemohon dan termohon hadir.

C. Bahwa majelis telah memberikan nasehat kepada para pihak agar dapat menyelesaikan perkaranya secara kekeluargaan namun tidak berhasil kemudian dibacakan surat permohonan Pemohon yang isinya tetap dipertahankan oleh Pemohon.

d. Bahwa terhadap dalil-dalil permohonan Pemohon, Termohon II telah menyampaikan jawaban yang pada pokoknya mengakui bahwa emas yang diberikan kepada Termohon I yang dinyatakan Termohon II sebagai emas 10,5 gram adalah imitasi.
e. Bahwa untuk menguatkan dalil-dalil permohonannya, pemohon telah mengajukan bukti-bukti tertulis (P1 s/d P3) dan 2 (dua) orang saksi sebagaimana telah diuraikan dalam duduk perkara.

f. Bahwa perkawinan harus memenuhi rukun dan syarat perkawinan juga harus memenuhi syarat-syarat yang ditentukan pasal 39 s/d 44 Kompilasi Hukum Islam tentang Larangan Kawin.

g. Bahwa selain rukun dan syarat perkawinan serta memenuhi syarat- syarat kawin sebagaimana telah disebutkan, perkawinan juga harus memenuhi hal yang diwajibkan dalam hukum Islam yaitu adanya mahar yang diberikan oleh calon mempelai pria kepada calon mempelai wanita dengan jumlah, bentuk dan jenisnya disepakati oleh kedua belah pihak, sebagaimana disebutkan dalam pasal 30 Kompilasi Hukum Islam.

h. Bahwa dalam pasal 38 Kompilasi Hukum Islam dinyatakan bahwa:

1) Apabila mahar yang diserahkan mengandung cacat atau kurang tetapi calon mempelai wanita tetap bersedia menerimanya tanpa syarat, penyerahan mahar dianggap lunas

2) Apabila istri menolak untuk menerima mahar karena cacat, suami harus menggantiya dengan mahar lain yang tidak cacat. Selama penggantinya belum diserahkan nahar dianggap masih belum dibayar

i. Bahwa apa yang dimaksud dengan mahar cacat, tidak dijelaskan secara lemitatif oleh Kompilasi Hukum Islam, namun menurut Majelis bahwa termasuk dalam kategori mahar dianggap cacat adalah dari segi fisiknya, misalnya mahar berupa telepon genggam tetapi telepon genggam yang diberikan tidak ada baterainya, dan juga cacat karena reil mahar tidak sesuai yang diucapkan saat calon mempelai pria mengucapkan Sighat Qabul sebagaimana dalam perkara a quo yang diucappkan maskawin emas 10,5 gram sedang riil mahar yang diberikan imitasi 10,5 gram.

j. Apabila perkawinan tidak memenuhi rukun dan syarat maka perkawinan batal demi hukum, sedangkan apabila tidak memenuhi ketentuan hukum lainnya, perkawinan dapat dibatalkan

k. Bahwa berdasarkan pengakuan Termohon II, bukti P2 serta berdasarkan keterangan saksi-saksi bahwa mahar dalam pernikahan yang diucapkan/diberikan oleh Termohon II sebagai calon mempelai laki-laki kepada Termohon I sebagai calon mempelai wanita adalah emas 10,5 gram sedangkan riil mahar yang diterima Termohon 1 adalah bukan emas 10,5 gram melainkan imitasi 10,5 gram, Majelis menilai dalil Pemohon telah terbukti.

1. Bahwa oleh karena mahar adalah hal istri dan Termohon I sebagai istri keberatan atas mahar tersebut, Majelis menilai permohonan pembatalan perkawinan oleh Pemohon sangat beralasan secara hukum oleh karena patut dikabulkan.

m. Bahwa oleh karena yang dilanggar dalam perkawinan antara Termohon I dengan Termohon II tentang mahar dan mahar bukan merupakan rukun dan syarat perkawinan maka perkawinan antara Termohon I dengan Termohon II bukan batal demi hukum melainkan dibatalkan oleh Majelis

Berdasarkan pertimbangan diatas, Majelis Hakim yang menangani perkara Nomor 2699/Pdt.G/2019/PA.Bks menetapkan hal-hal sebagai berikut:?

a. Mengabulkan permohonan pemohon.

b. Membatalkan perkawinan antara Termohon I dan Termohon II yang dilaksanakan pada tanggal 28 April 2019 sebagaimana dalam kutipan Akta Nikah Nomor: 0881/292/IV/2019 yang dikeluarkan oleh Kantor Urusan Agama Kecamata Bekasi Utara, tanggal 29 April 2019.

c. Menyatakan Kutipan Akta Nikah Nomor: 0881/292/TV/2019 yang dikeluarkan oleh Kantor Urusan Agama Kecamatan Bekasi Utara, tanggal 29 April 2019 tidak mempunyai kekuatan hukum.

d. Memerintahkan kepada Kantor Urusan Agama Kecamatan Bekasi Utara untuk mencoret Register Akta Nikah Nomor 0881/292/IV/2019 tertanggal 29 April 2019 dalam daftar yang disediakan untuk itu.

e. Membebankan kepada Pemohon untuk membayar biaya perkara sejumlah Rp 961.000,- (Sembilan ratus enam puluh satu ribu rupiah).

BAB IV

PUTUSAN HAKIM PENGADILAN AGAMA BEKASI TENTANG PEMBATALAN PERKAWINAN KARENA MAHAR IMITASI PERSPEKTIF MALAHAH

Perkara pengajuan permohonan pembatalan perkawinan dengan Nomor 2699/Pdt.G/2019/PA.Bks merupakan pekara pembatalan perkawinan karena mahar imitasi. Selama berlangsungnya persidangan tidak ada upaya dari pihak kedua belah pihak untuk menyelesaikan perkara ini secara kekeluargaan. Sehingga hakim memutuskan untuk mengabulkan permohonan dengan beberapa pertimbangan. Dan kemudian akan dipaparkan juga dalam perspektif maslahah.

A. Pertimbangan Hakim Pengadilan Agama Bekasi Dalam memutus Perkara Nomor 2699/Pdt.G/PA.Bks tentang Pembatalan perkawinan Karena Pemberian Mahar Imitasi

1. Tidak Terpenuhinya Salah Satu Syarat Perkawinan

Pada saat sebelum dilaksanakannya akad biasanya calon pengantin beserta keluarganya membuat kesepakatan tentang jumlah dan jenis mahar sesuai dengan kehendak mempelai perempuan. Pemberian mahar merupakan hal yang wajib namun tidak termasuk dalam rukun perkawinan karena mahar merupakan hak perempuan yang akan menikah. Jenis, bentuk dan jumlah maharnya harus diberikan sesuai kesepakatan yang telah berlangsung. Sebagai contoh, apabila dalam kesepakatan kedua belah pihak setuju dengan jumlah dan jenis mahar berupa emas asli 10,5 gram maka mahar yang harus diberikan harus emas asli 10,5 gram.

Namun dalam perkara ini mempelai pria tidak memberikan mahar sesuai dengan yang telah disepakati kedua belah pihak mengenai jenis dan jumlahnya. Hal ini bertentangan dengan pasal 30 Kompilasi Hukum Islam yang menyatakan bahwa calon mempelai pria wajib memberikan mahar kepada calon mempelai wanita yang jumlah, bentuk dan jenisnya telah disepakati oleh kedua belah pihak. Yang mana sebelum terjadinya akad mempelai laki-laki menyutujuinya.

2. Adanya Pemberian Mahar Yang Cacat

Pada dasarnya pemberian mahar haruslah sesuai dengan kesepakatan dan juga tidak boleh mengandung cacat agar dapat dimanfaatkan sebaiknya oleh mempelai perempuan. Namun pada kondisi tertentu apabila mempelai perempuan menerima dengan rela atas mahar cacat yang diberikan kepadanya, maka hal ini tidak akan menjadi masalah.

Pada perkara ini pasal yang dilanggar adalah pasal 38 Kompilasi Hukum Islam, majelis hakim juga menjelaskan bahwa termasuk dalam kategori mahar dianggap cacat sebagaimana yang tertuang pada pasal 38 Kompilasi Hukum Islam adalah cacat dari segi fisiknya, misalnya mahar berupa telepon genggam tetapi yang diberikan tidak ada baterainya dan juga cacat karena mahar tidak sesuai yang diucapkan saat calon mempelai pria saat mengucapkan sighor qabul sebagaimana dalam perkara a quo yang diucapkan emas kawin emas 10,5 grum sedang riit mahar yang diberikan ternyata imitasi seberat 10,5 gram.

3. Adanya Penipuan Dalam Pemberian Mahar

Pemberian mahar haruslah ada kerelaan dari kedua belah pihak. apabila setelah kesepakatan terjadi perbedaan jumlah dan jenis mahar yang diberikan calon mempelai laki-laki tanpa adanya pemberitahuan kepada pihak perempuan mengenai kebenarannya dan bertindak bahwa mahar tersebut adalah mahar yang sesuai dengan kesepakatan maka dapat dikatakan bahwa laki-laki tersebut telah melakukan penipuan dalam memberikan mahar.

Alasan pembatalan perkawinan ini akibat dari adanya penipuan sangat sesuai dengan Pelanggaran pada pasal 27 ayat (2) UU Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 jo pasal 72 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam yang menyatakan bahwa perkawinan dapat dibatalkan apabila pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi penipuan atau salah sangka mengenai diri istri ataupun suami. Dalam pasal ini tidak disebutkan secara mendalam bentuk dan jenis penipuan yang dimaksud sehingga hakim Pengadilan Agama Bekasi mengategorikan pemberian mahar imitasi ini sebagai bentuk penipuan yang dilakukan oleh termohon II karena mahar tersebut.
Berdasarkan pemaparan diatas penulis setuju dengan apa yang sudah diputuskan oleh Majelis Hakim walaupun bukan merupakan salah satu rukun atau syarat dalam pernikahan pemberian, pemberian mahar merupakan hal yang bisa menunjukan bahwa laki-laki memang mampu untuk merawat, menafkahi dan menjaga perempuan ketika ia telah menjadi seorang suami. Namun apabila dalam pemberian mahar yang sudah disepakati saja laki-laki tidak bersikap jujur dan tidak menepati janjinya itu akan berpengaruh pada kehidupan setelah akad, berbeda halnya jika laki-laki tersebut mengatakan bahwa ia hanya mampu memberikan maskawin dengan jumlah lebih kecil atau hanya bisa memberikan mahal imitasi.

dapat diketahui bahwa adanya mahar sebagai pemberian kerelaan yang tidak ada batasan jumlahnya. Sehingga apabila dalam kasus Nomor 2699/Pdt.G/2019/PA.Bks ini dengan keputusan pembatalan perkawinan karena mahar yang diketahui merupakan barang imitasi memang merupakan keputusan yang tepat.
B. Tinjauan Maslahah Terhadap Pembatalan Perkawinan Karena Pemberian Mahar Imitasi Dalam Putusan Nomor 2699/Pdt.G/PA.Bks

1. Tinjauan dari Segi Maslahah Darryh

Maslahah Darryh, Kemaslahatan yang berhubungan dengan kebutuhan pokok umat manusia di dunia dan di akhirat. Kemaslahatan pada pokok ini terdiri dari lima, yaitu:

a. Memelihara Agama (hifdzu al-din)

b. Memelihara Jiwa (hifdzu al-nafs)

C. Memelihara Akal (hifdzu al-'aql)

d. Memelihara keturunan (hifdzu al-'aql)

e. Memelihara harta (hifdzu al-ml)

Namun dalam perkara ini hanya ditemukan maslahah dari segi hifdzu al-maal atau memelihara harta benda. Bahwa mahar itu merupakan kewajiban yang harus diberikan oleh suami kepada istri karena mahar merupakan hak dari istri. Jenis, Bentuk dan Jumlah mahar ditentukan dari kesepakatan yang telah dilakukan oleh kedua belah pihak.
Para ulama bersepakat bahwa pemberian mahat oleh suami dalam skad nikah merupakan suatu hal yang wajib, Alasannys adalah karena mahar merupakan bagian dari hak-hak istri atas suami.
Suami (Termohon II) yang memberikan mahar imitasi dapat melahirkan kerugian bagi istri (Termohon 1). Karena hak yang harusnya diterima istri malah tidak diterima sebagaimana mestinya dan apabila perkawinan ini tidak dibatalkan oleh hakim maka akan mengakibatkan rusaknya keharmonisan rumah tangga dikemudian hari karena istri merasa telah dilanggar hak dan merasa tidak mendapatkan penghargaan dari suami.

2. Tinjauan dari Segi Malahah hjyah
Maslahah hftyoh yaitu kemaslahatan dalam menyempurnakan kemaslahatan pokok sebelumnya yang berbentuk keinginan untuk mempertahankan dan memelihara kebutuhan mendasar manusia. Karena malar termasuk sebagai bentuk penghargaan dari laki-laki untuk perempuannya karena dalam Islam perempuan menempati posisi yang mulia dan memiliki banyak kelebihan.

3. Tinjauan dari Segi Malahah tahsiniyah

Maslahah tahsiniyah, yaitu kemaslahatan yang sifatnya pelengkap, berupa keleluasaann yang dapat melengkapi kemaslahatan sebelumnya. Perhiasan suatu hal yang tidak dapat dipisahkan dari wanita, perhiasan dapat menunjang penampilan dan percaya diri seorang. Dengan penggunaan perhiasan yang elegan, kekurangan kita akan tertutupi. Karena tidak diberikannya maskawin berupa emas asli hal ini dapat menyebabkan kebutuhan istri akan perhiasan tidak terpenuhi.

Apabila putusan hakim terhadap perkara Nomor 2699/Pdt.G/2019/PA.Bks yang menyatakan pembatalan perkawinan karena mahar imitasi ditinjau dari maslahah menurut Imam al-Ghazali yang mengemukakan bahwa maslahah adalah mengambil manfaat dan menolak kemudharatan dalam rangka memeilihara kebutuhan syara merupakan hal yang sejalan dan sesuai. Karena dalam memutus perkara ini ada beberapa pertimbangan hakim yang dianggap telah dilanggar atau tidak sesuai, seperti adanya cacat pada mahar dan tidak terpenuhinya syarat perkawinan. Hal ini dipilih agar menolak dan terhindar dari kernudharatan yang di akan dirasakan oleh pihak istri karena telah dibohongi sang suami dengan melakukan penipuan dalam hal mahar perkawinan.

Dengan memutuskan pembatalan perkawinan juga tentunya memperhatikan tujuan syara' dalam memelihara agama, akal, jiwa, keturunan dan harta. Ketika dari awal perkawinan sudah ditemukan adanya sikap calon suami yang melanggar salah satu tujuan syara tentunya akan menimbulkan permasalahan-permasalahan dalam keluarganya.

Rencana skripsi Berserta Argumen

Topik skripsi yang ingin saya gali lebih mendalam adalah mengenai sistem Dalam studi putusan Pengadilan Agama Bekasi mengenai pembatalan perkawinan karena mahar imitasi, ada beberapa argumen yang bisa diangkat:

1. *Perlindungan Hak Kontrak*: Putusan tersebut bisa dilihat sebagai upaya untuk melindungi hak kontrak dalam pernikahan. Melalui pembatalan perkawinan karena mahar imitasi, hakim memastikan bahwa kontrak perkawinan dibuat dengan itikad baik dan tidak ada unsur penipuan atau ketidakjujuran.

2. *Kemaslahatan Masyarakat*: Melalui perspektif maslahah, putusan tersebut mungkin diambil untuk menjaga kemaslahatan masyarakat. Pembatalan perkawinan karena mahar imitasi dapat mengurangi potensi terjadinya praktik penipuan di antara pasangan yang hendak menikah.

3. *Penghormatan Terhadap Nilai-Nilai Agama*: Putusan tersebut juga dapat dipahami sebagai bentuk penghormatan terhadap nilai-nilai agama yang mengatur pernikahan. Dalam Islam, kesepakatan pernikahan didasarkan pada kejujuran dan saling percaya, sehingga pembatalan perkawinan karena mahar imitasi dapat dipandang sebagai implementasi nilai-nilai agama yang penting.

4. *Keadilan dan Kesetaraan*: Pembatalan perkawinan karena mahar imitasi juga dapat dilihat sebagai upaya untuk menegakkan prinsip keadilan dan kesetaraan antara kedua belah pihak dalam pernikahan. Dengan membatalkan perkawinan tersebut, hakim memastikan bahwa kedua belah pihak dihargai dan dilindungi hak-haknya dalam kontrak perkawinan.

Dengan menggali lebih dalam tentang pertimbangan hakim dan dampaknya terhadap masyarakat, Anda dapat memperkuat argumen dalam studi putusan tersebut dari perspektif maslahah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
  17. 17
  18. 18
  19. 19
  20. 20
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun