Mohon tunggu...
Theodorus BM
Theodorus BM Mohon Tunggu... Administrasi - Writer

Seorang pemuda yang senang menyusun cerita dan sejarah IG: @theobenhard email: theo_marbun@yahoo.com wattpad: @theobenhard

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Puncak Perang, Balaputradewa [Novel Nusa Antara]

29 April 2020   09:20 Diperbarui: 29 April 2020   09:39 87
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ribuan debu -- debu berterbangan.

Apakah Sang Khalik membenciku?

Aku, di atas kudaku, sekarang berada di dalam Candi Prambanan.

Keponakanku sudah tiba lebih dulu, kota ini sudah dipenuhi oleh pertarungan ketika aku menginjakkan kaki di Prambanan.

Lawannya hanya rakyat biasa, bukan prajurit.

Bahkan tidak ada prajurit seorang pun.

Lihatlah mereka.

Dengan nafsu membunuh terpancar di wajah, senjata pisau garpu dan tombak.

Namun tanpa keahlian.

Ini akan menjadi kemenangan mudah bagi pasukan Sriwijaya.

Aku mencela taktik kakakku, yang membuat warga sebagai benteng perlindungan terakhir Medang, sungguh tidak terpuji.

Tapi mengapa?

Mengapa, wahai Tuhan?

Mengapa kau melindungi kerajaan ini?

Tepat di hari ini, kau kirimkan hujan debu untuk menghalangi mata kami.

Hujan debu yang teramat sangat pekat.

Hujan biasa di pagi tadi, kami masih dapat memahaminya.

Tapi ini?

Apa artinya? Kau menyukai kerajaan ini?

Jarak pandang kami menjadi terbatas, kami tidak tahu sayatan kami mengenai musuh atau kawan.

Kami bahkan tidak mengetahui, apakah kaki kami masih menjejak tanah atau tidak.

Aku menggeleng -- gelengkan kepalaku.

Di hadapanku sekarang berdiri tiga candi utama rakyat Hindu.

Walaupun gelap, aku masih melihat bayangan mereka samar -- samar: Siwa di tengah, Wisnu, dan Brahma di sisi -- sisinya.

Batara Surya pun enggan menampakkan wujudnya.

Aku akui.

Aku kalah di pertarungan ini.

Sriwijaya telah dikalahkan oleh kehendak kahyangan.

Kehendak langit.

Nirwana.

Mari kita hatur sembah menuju candi -- candi itu, sebelum kembali ke tanah Sumatera.

Inilah kekalahan pertamaku, kekalahan pertama bagi Kerajaan Sriwijaya.

Jiwa Sang Buddha tidak menyukai pertikaian saudara, terbukti dengan kejadian ini.

Aku menaiki tangga candi, melewati banyak candi -- candi kecil yang menghiasi langkahku di kiri kanan.

Sungguh dahsyat candi Siwa ini.

Tinggi sekali, tiang dan menara di Pelabuhan Musi pun kalah tinggi.

Puncaknya melancip, seperti halilintar saja.

Aku bersujud di hadapannya.

Di kiri kananku orang -- orang sibuk berkelahi, tidak ada yang memerhatikanku.

Aku mengucap syukur.

Mari kita kembali ke arah selatan, ke tempat kapal berada.

Namun niatku terhalangi.

Seseorang mengacungkan pedangnya kepadaku, menghalangiku untuk berjalan turun.

Badannya kekar.

Aku tidak bisa melihat warna pakaiannya.

Yang jelas ia adalah musuh, karena pedangnya teracung.

Aku berusaha untuk melihat wajahnya.

Mukanya memerah karena amarah, bagaikan bara api.

Walau terhalangi debu dan abu, aku mengenalnya.

Aku mengenal kemarahannya.

Hidup bersamanya selama belasan tahun membuatku memahami amarahnya.

Dan amarah itu terjadi akibat rakyat sudah jadi korban.

Benar, kami adalah adik kakak.

Kubentangkan busur panahku, kutarik anak panah kencang -- kencang.

Di hari biasa adalah kemustahilan bagiku untuk tidak mengenai target.

Namun ini bukanlah hari biasa.

Anak panah melesat meninggalkan busur.

Sebagai gantinya sesuatu menyayatku di bagian pinggang.

Jika tidak cepat -- cepat menghindar, aku akan mengalami luka dalam.

Aku gantung kembali busurku.

Mustahil untuk mengalahkannya dengan senjata jarak jauh, di hari gelap buram seperti sekarang.

Takdir sepertinya telah memilih sebuah pertarungan penentu.

Kupikir tadinya Sriwijaya akan kalah hari ini, oleh kabut dan debu.

Ternyata langit mengirimkan jawabannya langsung kepadaku.

Dengan mengalahkan kakakku di hadapanku ini, semua akan lebih mudah.

Aku menarik pedang dari pinggangku.

Tidak kusangka, pertarungan dengan kakakku sendiri akan mengakhiri perang jahanam ini.

Mari, kak, kita bertempur secara ksatria.

Aku tidak berniat membunuhmu, hanya mengalahkanmu saja.

Aku menyiagakan mataku.

Berlatih dalam gelap adalah salah satu kelebihan pasukan Sriwijaya, terbukti ketika kami mengalahkan pasukan Khmer.

Sebuah terjangan hadir dari sebelah kiri.

Aku menangkisnya dan mengirimkan serangan balasan.

Pedangku hanya menyapa angin saja.

Seperti yang sudah kuduga.

Pertarungan ini akan menjadi sulit.

Aku mengenalnya, dan aku lebih menyukainya saat kami berada di pihak yang sama, seperti ketika kami menaklukkan Kerajaan Kalingga berpuluh -- puluh tahun yang lalu.

Melawan keturunan Ratu Shima, ratu yang sama edan dengan orang di hadapanku.

Aku mundur selangkah.

Aku berusaha mencari Samaratungga, kakakku, si raja edan.

Sang Panah, mereka menyebutnya.

Sebuah bayangan hadir di sampingku, menerjang dengan cepat.

Aku pun melesat dengan tiba -- tiba, menawarkan sikutku.

Tubrukkan tidak dapat dihindari.

Kami berdua terpelanting.

Tanganku tersayat pedang, luka hadir di bagiang lengan.

Aku menggenggam pedangku kembali.

Bangkit dan mencari kakakku lagi.

Kali ini aku akan memancarkan konsentrasi penuh.

Kelebihanku darinya ada di kepalaku.

Sang Otak, mereka menyebutnya.

Aku belum selesai berpikir ketika sebuah sayatan mengguncang dari belakang.

Punggungku terasa sakit, seperti ditusuk bara api.

Aku tersungkur.

Kesakitan mulai menggelayuti tubuhku.

Inikah takdir yang kejam ini?

Aku akan kalah di sini?

Aku menengadahkan kepalaku.

Di hadapanku hadir sosok kakakku.

Sosok kakak yang sangat kucintai.

Ia mengacungkan pedangnya ke arahku, sebelum mengangkatnya tinggi -- tinggi.

Mukanya penuh dengan amarah, seakan -- akan aku bukanlah bagian dari darahnya.

Aku memahami kemarahannya.

Ketika pembantaian warga terjadi, hati orang yang bertanggung jawab akan mengalami kemurkaan yang memuncak.

Aku menyaksikannya sekarang.

Hitungan -- hitungan ajalku semakin mendekat.

Nampaknya semua harus berakhir di sini.

Aku tidak akan menyaksikan Kerajaan Sriwijaya tumbuh berkembang.

Aku akan menyaksikan mereka dari kahyangan saja.

Dan aku tidak perlu lagi turun ke muka bumi.

Bebas dari segala masalah yang menerpa.

Dan bertemu dengan kakek, Dharanindra.

Bukankah ini yang diinginkan olehnya?

Sriwijaya menjadi besar?

Sriwijaya menjadi besar.

Besar.

Belum.

Belum selesai.

Sebuah ayunan pedang muncul di hadapanku.

Dengan sekuat tenaga aku menghindar ke samping.

Kakakku mengejarku.

Aku bangkit, mundur ke belakang, menghilang dalam deru debu.

Kakakku mencariku.

Raja Medang itu mencariku dengan sekuat tenaga.

Kapan lagi ada kesempatan seperti ini?

Berhadapan dengan seorang raja hebat yang bisa menyatukan rakyat hingga mereka memberikan nyawa bagi negeri.

Aku memberi aba -- aba kepada salah seorang prajurit di sampingku.

Ia sedari tadi menyaksikan, menganggukkan kepala tanda mengerti.

Ia berputar mengitari Samaratungga, muncul dari belakang, dan memeganginya.

Tidak kusia -- siakan kesempatan ini.

Aku menerjang maju.

Kutebas salah satu pundaknya.

Lalu pundaknya yang lain.

Kakakku melepaskan diri, ia menusuk pencengkeram di belakangnya.

Ia menerjang ke arahku.

Demi kepanikan, aku menebas pinggangnya.

Ia mendobrakku, membuatku jatuh terguling -- guling.

Aku berlekas untuk bangkit dan mencarinya.

Di sanalah dirinya.

Sedang berlutut dan tersungkur.

Pedang menjadi tumpuannya di tangan kanan.

Perutnya luka parah.

Ini adalah sebuah kesempatan untuk menghabisinya.

Aku menerjang maju.

Akan kuhabisi dirinya.

Sebuah genggaman di lenganku menghalangi.

Sebuah genggaman yang dikirimkan atas takdir langit.

Udayaditya, keponakanku.

Ia mengatakan sepatah kata.

"Cukup." ujarnya.

Aku tersadar.

Amarah telah menjadi pelecutku sehingga aku bukan lagi menjadi sosok yang menenangkan.

Aku tidak lagi melihat kakakku.

Aku memohon maaf kepada Sang Buddha karena melakukan dosa yang tidak terampuni.

Kutatap keponakanku.

Waktunya pulang.

Ia mengiyakan.

Sebuah siulan panjang hadir dari mulutnya, memberikan sinyal bagi seluruh prajurit Sriwijaya untuk menyudahi pertarungan dan meninggalkan arena pertempuran.

Para dewa sudah mengalahkan kami.

Nirwana tidak merestui tindakan kami.

Sriwijaya sudah gagal dalam serangan.

Kutatap terakhir kali Candi Siwa dengan segala kemegahannya.

Aku memberikan sebuah senyuman, karena kutahu hari ini aku diberikan sebuah pelajaran yang sangat berharga.

Amat sangat berharga.

Udayaditya membopongku keluar dari lingkungan candi, menuju ke atas kuda.

Penglihatan masih terhalangi debu, namun ia menuntunku dengan tenang.

Di dalam hatiku aku bersyukur untuk semua kebaikan.

Terima kasih.

Kisah lebih lengkap dapat disaksikan di sini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun