Mohon tunggu...
Samuel Edward
Samuel Edward Mohon Tunggu... Seniman - Pecinta dunia literatur, pecinta kopi, pecinta satwa khususnya anjing, pecinta alam. Dan semua itu dalam stadium 4 dan grade 4!

Tugas yang kuemban adalah membawa dan membuat mulia nama Bos-ku di mana pun aku hidup, apa pun yang aku lakukan, kepada siapa pun yang aku temui, kapan pun waktu dan kesempatannya.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Ujung Bayonet dan Merah Putih

18 Agustus 2018   18:12 Diperbarui: 18 Agustus 2018   19:07 1311
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: emangmantep.com

Malam ini mirip sekali dengan malam itu. Tempatnya memang beda. Tapi suasana batinku sama. Gamang. Seperti ada ancaman tapi tanpa kutahu apa. Remang yang seakan memelukku, menghangatkan rindu akan sesuatu yang wujudnya tak terlihat tapi terasa akrab.

Itu malam kedua di tahun 1943. Aku baru saja tamat Sekolah Rakyat. Belum genap 12 tahun umurku. Itu membuat banyak guru menyayangiku. Tapi juga membuat banyak kawan membenciku. Karena aku keturunan Tionghoa. Mereka semua pribumi. Kata mereka, aku membuat mereka semakin kelihatan bodoh. Aku membuat orang-orang pribumi makin tidak ada arti di mata Jepang. Memang, seharusnya aku tidak masuk SR. Mestinya aku masuk sekolah khusus orang Tionghoa. Itu anjuran keluarga besarku. Tapi tidak dengan Papa.

Tidak seperti kebanyakan pria Tionghoa, Papa lebih memilih menjadi guru ketimbang berdagang. Itu pun di Sekolah Rakyat tempatku juga bersekolah, bukan di sekolah Tionghoa. Itu yang membuat Mama selalu gusar. Karena pendapatan keluarga jelas jadinya hanya pas-pasan. Hanya cukup untuk makan dan kebutuhan rutin. Tidak bisa bermewah-mewah. Tidak bisa pelesiran. Padahal, gaya hidup Mama dan dua kokoku termasuk boros. Mereka gemar beli makanan di restoran, pergi ke tempat dansa, dan menonton bioskop.

Tapi yang paling membuat Mama dan keluarga besar gerah adalah pergaulan Papa. Ia jarang berkumpul dengan sesama Tionghoa. Menghadiri pertemuan keluarga besar kami saja hanya kadang-kadang. Malah hampir seluruh waktu luangnya dihabiskan bersama orang-orang pribumi. Buat keluarga, itu aib. Keluargaku seperti juga keluarga Tionghoa kebanyakan, menganggap golongan Tionghoa dan orang-orang dari Asia seperti orang Arab, India, apalagi Jepang, lebih tinggi derajatnya ketimbang pribumi, walau memang lebih rendah dibanding bangsa kulit putih.

Juga malam itu. Biasanya, paling telat jam 9 Papa sudah di rumah. Tapi kala itu sudah jam 11 belum juga pulang. Mama mengoceh terus. Sampai menggemeresek gendang telingaku. Tidak ada kesan kuatir. Yang ada cuma kekesalan yang terus-terusan diomelkannya. Hanya satu detik, aku geli melihatnya. Dia menyerocos sendiri sambil mondar-mandir, sedangkan aku di kamar, dan koko-kokoku asyik gila-gilaan dengan kartu domino mereka di bangku depan. Tapi detik berikutnya, aku kembali dirundung gelisah.

Gelisah itu yang tak kumengerti, apa pasalnya....

Tapi itu tidak sempat menekan lebih lama lagi. Sebab, beberapa menit kemudian, pintu depan digedor keras sekali. Aku terlonjak. Bahkan sampai terpekik pelan. Keributan pecah di ruang tamu. Aku takut sekali. Air mata berhamburan. Dengan sangat gemetar, aku mengintip.

Papa?! Tapi... kenapa ia ngos-ngosan hebat begitu...? Kenapa ia terlihat ketakutan seperti habis melihat setan...??

Di luar terdengar suara berteriak-teriak. Jepang...!! Celaka! Ada apa ini?! Pintu kembali digedor sangat keras. Aku membeku! Tapi masih sempat ada rasa puas melihat muka Mama yang bagai mayat saking ketakutan.

Tahu-tahu, daun pintu hancur dan pecah ke dalam. Mereka mendobraknya!... Seorang prajurit Jepang bertubuh besar masuk. Dia berteriak-teriak dalam bahasa Jepang sambil menodong-nodongkan senapan. Koko-kokoku menunduk ketakutan dan menangis. Mama juga meraung-raung. Marah-marahnya tidak berbekas, diganti tangis kengerian yang hebat, dan dia jatuh bersimpuh di kaki si prajurit. Sejurus berikutnya, menyerbu masuklah teman-teman si tentara. Semua bertampang sangar.

Seorang dari mereka mendekati Papa, yang saat itu terlihat tetap tenang, sekalipun wajahnya memucat. Orang itu tampak beda dengan kawan-kawannya. Seragamnya berbeda. Dia tidak membawa senapan. Hanya pistol di genggamannya. Wajahnya juga tidak sesangar yang lain. Malah tampak halus seperti wajah orang-orang ningrat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun