Mohon tunggu...
Romy Roys
Romy Roys Mohon Tunggu... Guru - Guru SMP Muhammadiyah 2 Depok

Demi menghemat kertas, maka ku pilih kompasiana untuk mencurahkan isi pikiran dan hatiku...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

My First Love My Late Love

24 November 2014   16:00 Diperbarui: 17 Juni 2015   17:00 251
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14177420051748815269

"Cukup Nak Pradi. Kamu tidak usah menjelaskan. Kamu itu lelaki macam apa? Apa yang membuat kalian menunda pernikahan sedangkan usia kalian sudah sepantasnya tidak melajang." Ayah Dias tampak begitu berang. Aku tidak berani menatap mata lelaki tua itu. Dias mencoba menenangkan aku dengan memegang tanganku.

"Siapa yang punya ide untuk menunda pernikahan kalian? Kamu Dias atau kamu Nak Pradi?" ayah Dias benar-benar marah. Sambil menunjuk dia bertanya kepada kami berdua.

"Dias ayah. Dias yang menunda pernikahan ini." Dias menjawab tidak jujur untuk melindungi ku.

"Jelaskan kepada Ayah. Sejelas-jelasnya, alasan kamu menunda pernikahan."

"Maafkan Dias. Ayah, menurut Dias, menikah itu sekali seumur hidup. Seperti ayah dan ibu. Dias juga ingin menikah segera, tapi Dias ragu Ayah. Dias merasa tidak yakin hendak menikah dengan Mas Pradi. Maafkan Dias ayah." Dias kembali berbohong. Aku semakin tak sanggup menatap wajah ayah Dias.

"Trus Nak Pradi setuju begitu saja? Iya Nak?" Ayah Dias bertanya padaku dengan nada tinggi.

"Maaf Pak. Sebenarnya saya yang salah bukan Dias. Saya yang masih ragu bukan Dias." Aku menjawab dengan gemetaran, khawatir kalau-kalau ada tamparan melayang ke wajahku.

"Ayah semakin tidak mengerti. Tadi Dias yang bilang ragu, sekarang kamu yang katanya ragu. Jadi kalian berdua ragu, begitu. Intinya begitu, iya? Kalau begitu kalian putuskan saja pertunangan kalian. Sekali ragu selamanya ragu. Kalian tidak usah menikah. Kalian cari saja pasangan lain untuk kalian sendiri-sendiri." Ayah Dias sangat marah dengan kami. Dia langsung meninggalkan kami berdua. Dia gandeng ibu Dias menuju kamar mereka. Aku dan Dias hanya melongo dan berpandangan. Mata Dias tampak berkaca kaca. Hatiku terasa dihimpit. Ini memang menyedihkan tetapi menyelesaikan permasalahan ku. Aku seperti tokoh antagonis yang pecundang.

Aku ajak Dias keluar rumah. Dias pun mengikuti ku dari belakang.

"Dias, maafkan saya. Saya tidak tahu kalau semua jadi begini. Saya menyesal."

"Tidak apa-apa Mas. Lebih baik begini. Aku memang terluka, tapi aku juga tidak akan memaksakan sesuatu yang tidak yakin. Maafkan aku juga Mas."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
  17. 17
  18. 18
  19. 19
  20. 20
  21. 21
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun