"Aku merasa semakin dekat hari pernikahan kita, semakin aku tidak siap menjadi seorang suami. Aku takut menyakiti kamu Dias." Jelasku agak memutar. Aku tidak mungkin mengatakan dengan jujur tentang kebingunganku.
"Trus, kita harus bagaimana?" Jawab Dias.
"Menurut kamu bagaimana?" aku balik bertanya karena aku benar-benar tidak mau mengutarakan hal sebenarnya.
"Mas, menikah itu sekali seumur hidup. Jika kamu ragu, lebih baik kita tunda pernikahan ini. Toh semua belum terlanjur. Aku tidak apa-apa kok Mas. Meski aku sedih, tapi aku pikir daripada setelah menikah ada masalah dalam rumah tangga kita, lebih baik kita tunda saja." Dias menjawab dengan bijak. Aku benar-benar kaget dengan jawaban Dias. Tidak kusangka dia akan menjawab seperti itu. Dadaku yang dari tadi sesak mau meledak kini agak lega dan bisa bernafas.
"Menurutmu itu yang terbaik?" aku bertanya kembali untuk meyakinkan kata-kata Dias.
"Iya Mas. Bagiku sebuah pernikahan itu bukan mainan. Kamu sudah 40 tahun dan aku 37 tahun. Kita sama-sama sudah dewasa. Bukan anak remaja. Meski aku sudah tidak muda lagi, namun aku tidak akan terburu-buru menikah. Apalagi hanya beralasan usia sudah tua." Dias menambah penjelasannya.
"Begitu ya. Aku juga berpikir demikian Dias. Trus, apa yang harus kita sampaikan kepada orang tuamu?"
"Mudah saja Mas, nanti Dias yang akan menjelaskan. Kamu cukup mendampingi aku saja. Jika mereka bertanya jawablah dengan jawaban masuk akal."
"Kapan kita sampaikan ini ke orang tua kamu?"
"Sekarang kita pulang ke rumah dan kita jelaskan kepada orang tuaku." Dias tampak tabah.
"Dias, kamu tidak sakit hati dengan keraguanku?"