Seiring dengan dimulainya era disrupsi digital, industri TV kian menghadapi tantangan yang bahkan belum pernah dibayangkan sebelumnya.
Tak hanya YouTube yang menampung berbagai macam content creator, kehadiran berbagai macam over the top (OTT) seperti Netflix, VIU, Prime Video, Disney+, hingga platform milik konglomerasi TV itu sendiri seperti Vidio dan Vision+ telah mengubah pola konsumsi hiburan sejumlah masyarakat khususnya remaja dan dewasa muda.
Ditambah pula TikTok yang menyajikan konten video pendek hingga ditiru platform social media lainnya seperti Instagram dengan Reels bahkan YouTube dengan YouTube Shorts.
Dari sisi pengguna, ini memberikan lebih banyak alternatif mengakses tontonan serta memungkinkan untuk menikmatinya tanpa terikat waktu dan tempat.
Akibatnya, ini menimbulkan konsekuensi beberapa program non-drama atau stasiun TV yang tidak memiliki basis penonton kuat sejak awal dan dalam jumlah besar "tumbang".
Sebagai contoh, NET. yang sejak awal berdirinya percaya diri mengusung konsep dan slogan "Televisi Masa Kini" harus ditelan pahit oleh kenyataan bahwa rating dan share program-program mereka sulit bersaing dengan stasiun TV lain, meski tak jarang masih bisa mengalahkan peringkat stasiun TV berita.
Pasalnya, pemirsa generasi muda yang dibidik sebagai target pasar utama justru menonton program kesayangannya melalui live streaming maupun cuplikan atau full replay di YouTube.
Sementara sumber pendapatan utama stasiun TV terestrial didapat dari iklan yang dipasang secara langsung oleh advertiser di layar kaca, yang nominalnya jauh lebih mahal dibandingkan dengan pendapatan iklan melalui AdSense.
Namun jika dibandingkan dengan kompetitor, NET. termasuk salah satu stasiun TV dengan rate card pasaran yang tergolong "murah" karena bukan penghuni top tier berdasarkan klasemen Nielsen Media Research.
Padahal di awal kemunculannya, Wishnutama yang kala itu masih menjabat sebagai CEO NET. mengklaim bahwa televisi yang dipimpinnya (saat itu) sengaja memasang harga iklan di atas harga pasar stasiun TV lain (termasuk RCTI, SCTV, dan Indosiar) dengan maksud untuk memberikan kenyamanan penonton.
Sayangnya pengiklan justru memiliki pandangan lain, bahwa jumlah kepemirsaan (melalui terestrial) lebih diutamakan karena mereka ingin iklannya ditonton secara real-time saat sebuah program tayang.