Mohon tunggu...
Aristia PM
Aristia PM Mohon Tunggu... Guru - Hanya seorang guru yang belajar nulis

Skenario terbaik berasal dari takdir Sang Pencipta

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Lorosae | Bab 6 | Menyusuri Selatan

21 Januari 2019   01:32 Diperbarui: 21 Januari 2019   07:03 200
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Lima puluh lima jam sudah keenam guru baru itu numpang istirahat di KCD. Tapi belum juga ada kabar kapan mereka akan dijemput ke lokasi tugas masing-masing. 

Terutama Ratih. Hatinya cemas. Kabarnya sekolah tempat Ratih mengajar nanti masih jauh, terpisah dari teman-temannya. Belum lagi ada kabar bahwa penduduk di bukit tidak seramah penduduk pantai. Semakin menambah kekhawatiran hatinya. 

Kembali terdengar ayam berkokok saat hari masih gelap. Pertanda malam telah berganti. Ratih, Nia, Kang Arya dan Bang Ahmad sudah bangun pagi sekali. Diawali sholat shubuh, bermunajat pada Ilahi. Dilanjutkan membaca beberapa lembar ayat suci. Menenangkan hati bersiap memulai hari. 

Ratih dan Nia mencari piring di halaman belakang. Beberapa piring kaca hadiah dari pembelian detergen. Orang-orang meletakkan piring-piring itu di sebuah gudang kecil. Banyak kayu dan bangku rusak di dalamnya. Piring-piring itu tersimpan rapi di dalam kardus mie, di bawah meja yang pakunya bisa dilepas, tapi tetap menancap. 

Ratih menimba air di sumur dan Nia mulai menggosok piring-piring itu dengan sabut kelapa yang sudah dibasahi cairan pencuci piring. 

Seorang Ba'i lewat, tersenyum, memperlihatkan gigi dan mulut merahnya, sambil mengangkat tangan kanan. 

"Terus!", begitu sapanya. 

Ratih dan Nia membalas senyum dan mempersilakan Ba'i tersebut meneruskan perjalanan. 

Kemudian, datang lagi seorang mama membawa dua buah jerigen yang dipanggul dengan satu kayu.

"Pagi, ibu!", sapa mama berambut keriting yang diikat karet gelang, sambil tersenyum lembut dan meletakkan dua jerigen dekat sumur. Mama itu menunggu Ratih selesai menimba. Giginya putih saat tersenyum, tak seperti yang lain. 

"Pagi.. ", balas Ratih dan Nia, pun dengan tersenyum ramah. Ratih menyerahkan tali timba kepada mama. 

"Pagi-pagi su bacuci a?", tanya mama itu. 

"Hhe.. Iya, ibu! Nemu piring di halaman belakang."

"Ho, iya iya. Memang itu piring sengaja dikasih tinggal disana. Supaya orang-orang bisa pakai."

"Oh, iya, Bu! Makasih. ", jawab Nia tersenyum ramah sambil terus menggosok piring, sementara Ratih membilasnya. 

Mama menjatuhkan ember timba ke dalam sumur lalu menariknya. Diisinya dua jerigen yang ia bawa dengan hati-hati agar tak banyak air yang tertumpah. 

"Eh, ibu, beta minta maaf, e! Coba ibu dong bacuci disana. Ko disini nanti air cucian masok sumur.", mama memberi saran dengan mengarahkan mulut dan wajahnya ke rimbunan pohon pisang di halaman belakang. Sementara tangannya masih memegang tali timba tanpa katrol. 

"Oh, iya ibu, maaf! Kami pindah ya..", jawab Nia. 

Mama itu mengangguk senyum. Nia dan Ratih segera memindahkan cucian piring ke halaman belakang.
***

Kang Arya masih sibuk menanak nasi dengan kastelnya. Setelah tanak, ia ganti kastel dengan panci untuk mendidihkan air, menyeduh susu coklat bubuk yang dibawa Ratih. 

Kali ini hidangan ditata di atas piring. Tak lagi menggunakan daun pisang. Jangan sampai ada yang menangis lagi hanya karena makan beralaskan daun pisang. 

"Teman, kita harus makan cepat pagi ini! Jangan kayak kemarin, terlalu siang, cuaca panas mentrang!", Kang Arya memberi ide, sambil menikmati sarapan pagi bersama. Masih dengan nasi, abon ikan dan mie instan. 

"Memang kita mau kemana?", tanya Bang Ahmad. 

"Kemarin kita sudah ke utara. Sekarang kita ke selatan. Kata orang depan, katanya SMP tempat kalian ngajar ada di selatan. Dekat laut.", jelas Kang Arya. 

"Wah? Jauh ga dari sini?", tanya Beli Gusti. 

"Ga tahu. Kita jelajahi saja." 

Selama ini, ketika mereka bertanya alamat suatu tempat, orang-orang sering menjawab "dekat saja." sambil memberi isyarat telunjuk, seakan jauh. Kenyataannya, jarak yang dekat menurut penduduk setempat terasa jauh menurut orang baru. 

Bang Jacky tak berkata sedikit pun. Ia terlihat makan dengan lahap. Tak ada kesedihan lagi yang mengukir wajah Floresnya. 

"Pa, Ratih mau ke pantai selatan. Mau lihat sekolahannya Bang Ahmad, Beli Gusti & Bang Jacky."
SMS tertunda. Bapak.
*** 

Udara pagi masih sangat segar. Tanpa hingar bingar kemacetan dan kesibukan manusia. Waktu seakan melambat. Dihirupnya udara pagi sambil sedikit menggerakan badan, melemaskan otot yang terasa mulai pegal. 

Kang Arya dan teman-temannya  mulai berjalan kaki menyusuri jalan berlumpur. Mereka harus berjalan hati-hati, memilih batu yang menyembul dari balik lumpur agar alas kaki tak terperosok ke dalam lumpur hitam yang kedalamannya sulit diterka. 

Genangan demi genangan air dilalui dengan hati-hati. Tanah benar-benar basah, membersamai embun pagi yang menetes perlahan di antara dedaunan. Semalam memang turun hujan, mendinginkan suhu udara Tanah Timor. 

Di sisi kanan-kirinya terlihat pohon pisang menghijau. Ada juga beberapa tanaman semak menghiasi jalan kecil yang hanya muat dilalui satu mobil. Jam menunjukkan pukul enam pagi. 

Setengah jam berjalan, jalanan terputus. Ada sungai lebar dengan air yang belum diketahui kedalamannya mengalir diantara dua desa. Tanpa jembatan. Keenam guru ini ragu-ragu untuk meneruskan perjalanan. 

"Bapak, ibu dong! Mari langgar kali sama-sama!", sebuah teriakan terdengar dari belakang mereka. 

Seorang ibu berpakaian santai tapi terlihat rapi nampak melipat celananya selutut. Dijinjingnya  sandal teplek yang tadi ia kenakan. Ia mulai melintasi sungai dengan hati-hati. 

Tanpa berpikir panjang, Kang Arya dan teman-temannya  meniru apa yang dilakukan ibu tersebut. Kecuali Ratih. Dia masih bingung. Tak mungkin ia melipat rok dan celananya ke atas. Itu akan memperlihatkan auratnya. Sedangkan jika dipaksakan, rok dan celananya akan basah selutut. Begitu juga dengan kaos kakinya. 

"Ayo, Ratih! Mau disitu sampai kapan?" 

Nia tak mempedulikan auratnya. Ia melipat celana santainya sampai selutut dan mulai melintasi sungai. 

Ratih tak mau ditinggalkan sendirian di pinggir sungai. Tapi ia juga tak tahu berapa lama teman-temannya akan bercengkrama di selatan desa.

 Akhirnya Ratih nekat melintasi sungai tanpa mengangkat rok dan celananya. Ia biarkan terendam air selutut. Pun kaos kakinya dibiarkan basah. Arus sungai masih tenang, orang-orang masih bisa melintasi sungai dengan aman. 

Tulilit, tulilit.
Pesan terkirim. Bapak. 

"Eh, ada sinyal?", Ratih berhenti mengecek ponselnya, lalu memencet nomor mencoba menghubungi keluarga di Tanah Jawa. 

Teman-temannya yang lain pun ikutan sibuk menghubungi sanak saudara di kampung halaman. 

Beberapa menit kemudian, sinyal terputus. Tak bisa lagi menyambung telepon. SMS pun tertunda. Rupanya sinyal di dekat sungai tak terlalu stabil. Sedangkan sinyal di KCD hanya mampir tiga jam saja, sejak jam sebelas hingga jam dua siang. 

Panas matahari secara perlahan mulai terasa menyengat, padahal hari masih pagi. Kang Arya dan teman-temannya meneruskan perjalanan. Sampai mereka bertemu sebuah kios, mereka istirahat sebentar. 

"Permisi!", teriak Kang Arya. Tak ada jawaban.
"Permisi!" Kali ini para bapak guru berirama memanggil pemiliki kios.

Mereka tertawa menyadari bahwa ternyata suara mereka tak cukup modal untuk membentuk sebuah grup vokal amatiran. 

Seorang nenek keluar dari dalam rumah menemui Kang Arya dan teman-temannya. 

"Nenek, kami haus. Nenek jual minum ga?", tanya Kang Arya kepada pemilik kios. 

Sedangkan yang lain, asyik sendiri mengibaskan baju, menghalau panas yang menerpa badan sambil duduk melepas lelah di bangku panjang yang tersedia di kios tersebut. 

Nenek itu diam tak berkata. Ia masuk ke dalam kios, lalu menyerahkan beberapa minuman rasa buah dari balik ram kawat. Kang Arya membagi-bagikan minuman itu kepada kelima temannya.

"Maaf, Nek! Ada sedotan?", tanya Kang Arya lagi. 

Nenek itu kembali diam. Ia tak paham perkataan Kang Arya. Kang Arya memperagakan tangannya seakan sedang menyedot minuman. Nenek itu masih terdiam, tak paham. 

Seorang anak perempuan dari dalam rumah datang menghampiri. Sepertinya anak itu sudah SMP. Badannya kecil, tapi tinggi. 

"Nona, ada sedotan?", kembali Kang Arya bertanya. 

"Sedotan itu apa?"

"Sedotan.. Sedotan.. Sssrruuuttt...", Kang Arya kembali memeragakan tangannya. 

"Ho, pipa? "

"Hah?! Pipa?!", serentak mereka yang sedang duduk hampir berteriak bersamaan. Mereka tertawa geli. Terbayang bagaimana caranya minum pakai pipa. 

Anak perempuan itu pun ikut tersenyum geli sambil menutup mulutnya. Lalu ia masuk ke dalam kios dan mengambil beberapa sedotan dan menyerahkannya lewat ram kawat. Sekarang nenek dan anak perempuan itu ada di dalam. 

"Warung disini memang gini ya? Pakai ram kawat?", tanya Ratih. 

"Warung? Disini sonde ada warung", jawab anak itu keheranan. 

"Ini? Ini warung kan?", Ratih menunjuk kios. 

"Hehe. Ini bukan warung. Ini kios. Disini, yang namanya warung itu berarti tempat makan. Ada di Oesao.", jelas anak itu. 

Ratih mengangguk. Teman-temannya yang lain terlihat asyik ngobrol sendiri sambil menikmati segelas minuman rasa buah dan melihat-lihat tanaman di sekitar kios.

Kang Arya mengambil beberapa gambar dengan kameranya. Termasuk berfoto bersama anak pemilik kios. Tak lupa membayar segelas minuman rasa buah yang tadi membasahi kerongkongan mereka. 
***

SMP tempat Bang Ahmad, Beli Gusti, dan Bang Jacky sudah terlihat. Berjalan semakin cepat, bersemangat menghampiri. Terlihat beberapa anak sedang sibuk memangkas rumput di depan kelas menggunakan parang. Mereka menyebutnya  tofa. 

Beberapa anak yang lain nampak sedang latihan upacara dengan bendera hijau-kuning untuk latihan. 

Langit terlihat bersih. Awan-awan sirus melukis tipis birunya langit Noehaen. Ya, desa ini bernama Noehaen. Desa yang dipisahkan oleh sungai dari Desa Pakubaun. 

Lapangan bola terhampar hijau sejauh mata memandang. Bukan hijau rumput sintetis. Hanya rumput liar yang ikut tumbuh seiring guyuran hujan yang membasahi desa itu. 

Seorang ibu guru keluar dari kelas menemui Kang Arya dan teman-temannya. 

"Selamat pagi, Ibu!", Kang Arya memulai menyalami ibu guru, diikuti teman-temannya yang lain.  

"Iya, selamat pagi. ", jawab ibu guru  yang diketahui bernama Maria dengan tatapan bingung. Sebuah lencana nama tersemat di bajunya. 

Kang Arya dan teman-temannya memperkenalkan diri dan mengungkapkan maksud kedatangan mereka ke desa ini. 

Melihat anak-anak SD berbaris di lapangan membuat Nia gemas ingin segera mengajar. Sekolah ini merupakan sekolah satu atap, yaitu jenjang SD dan SMP berada dalam satu gedung yang sama. Mereka belajar bergantian. 

Nia berlari menemui anak-anak itu dan memandu mereka menyanyikan lagu Indonesia Raya. 

Indonesia raya, merdeka merdeka
Tanahku negeriku semuanya
Indonesia raya, merdeka merdeka
Hiduplah Indonesia raya

"Eh, stop! Yang benar itu mer-de-ka (huruf e dalam suku kata mer seperti huruf e dalam kata beli. Dan huruf e pada suku kata de seperti huruf e dalam kata ember), bukan mer-de-ka (huruf e seperti dalam kata ember). Coba ulangi!", Nia membetulkan pelafalan anak-anak SD itu. 

Mereka mengulangi lagu, tapi pelafalan mereka tetap seperti itu. Membuat Nia gemas sendiri. Teman-temannya tertawa dari jauh. 

"Yah, bapak ibu, beginilah keadaan kami. Seperti inilah kami. Ditambah lagi musim hujan begini, mereka akan lebih sering di rumah. Guru-guru juga akan jarang datang ke sekolah.", Ibu Maria menceritakan keadaan sekolah dan murid-muridnya. 

"He? Kok bisa, Bu? ", kali ini Bang Ahmad yang bertanya. 

"Iya, Bapak! Tahu sungai disana to? Kalau hujan,  dia pu air tinggi. Kotong sonde bisa langgar kali. Terlalu bahaya!" 

Bang Ahmad dan teman-temannya mengangguk. Mereka tenggelam dalam obrolan. Sesekali mereka tertawa dan sesekali terdiam. Sampai tak terasa, hari semakin siang. Panasnya semakin menyengat. Kaos kaki, rok dan celana Ratih mengering tanpa perlu menjemur diri. 

Saat mereka sedang asik mengobrol, Pak Kato menghampiri. 

"He, Bapak?"

"Eh, Pak Kato!", Kang Arya menyalami Pak Kato dengan akrab. Diikuti teman-temannya yang lain. 

"Pak Gusti, maaf beta belum kasih tahu. Beta su siapkan satu rumah di belakang sekolah. Sebentar sore su bisa ditempati."

"Wah, makasih Pak Kato! Kami jadi merepotkan.", jawab Beli Gusti

"Sonde. Sebentar sore beta jemput a? Beta bantu bawa barang-barang."

"Ga usah repot-repot Pak Kato! Kami bisa bawa sendiri. ", Bang Ahmad menimpali. 

"Sonde, sonde. Biar nanti beta bantu bawa barang. Sampai ketemu nanti sore." 

 Pak Kato pergi mengarahkan murid-muridnya untuk tofa dengan benar. Waktu libur akan segera habis. Sekolah harus sudah bersih sebelum dimulai lagi. 

Kang Arya undur pamit.  Satu per satu temen-teman Kang Arya menyalami Bu Maria. 

"Bu Nia! Ayo, pulang! ", seru Kang Arya. 

Nia berpamitan pada anak-anak sambil melambaikan tangan kepada mereka. Anak-anak terlihat sangat senang bertemu guru cantik dan ceria seperti Nia.
***

Kang Arya dan teman-temannya sebenarnya belum mau pulang. Mereka belum puas  mengitari Desa Noehaen.  Deretan rumah dan jalan di desa ini memang berbeda dengan Pakubaun. Rumah warga terpetak-petak dipisahkan jalan kecil yang hanya muat satu mobil. Petak jalannya berputar persis seperti petak perumahan-perumahan di Pulau Jawa. Sedangkan di Pakubaun, jalan hanya ada satu jalur. 

Mereka terus berjalan sampai ketika sebuah suara memanggil mereka. 

"Bapak, ibu! Darimana?"

Seorang bapak berkemeja tanpa kancing mendekati Kang Arya dan teman-temannya. Bapak itu mengunyah sesuatu yang membuat mulutnya berwarna merah. Lalu meludah di tanah, ludahnya pun berwarna merah darah. 

"Kami guru-guru dari pusat, Bapak! ", jawab Kang Arya.  

" Ho oeh? Kapan datang?"

"Hari Rabu."

"Na, begitu mari masok! Kopi kopi dulu."

Kang Arya dan teman-temannya menerima ajakan tersebut. Mereka memasuki sebuah rumah berlantai semen dengan dinding batu bata yang belum dipelur. 

"Mari duduk, silakan!", bapak yang diketahui bernama Pak Yakob mempersilakan Kang Arya dan teman-temannya. 

Sekotak kecil pinang iris, tiga buah pinang utuh yang belum dikupas kulitnya, dua batang buah sirih dan seplastik kecil kapur terhidang di atas meja. 

"Biasa orang sini kalau ada tamu selalu disajikan sirih pinang. Kita sirpi do! Sirih pinang dulu! "

"Oh, kalau daerah Sunda, ini namanya seupah. Nyeupah. Tapi pakai daun sirih, bukan buah sirih.", jelas Kang Arya. 

"Beli! Ada sirih pinang ga di daerah Ente?", tanya Kang Arya. 

"Di Bali ada sirih pinang, namanya nginang atau mecanangan. Cuma pake daun, ga pake buah sirih."

"Oh, sama dong kayak di Sunda? Tapi di Sunda dah jarang yang nyeupah. Kalaupun ada, biasanya nenek-nenek yang sudah sangat tua.
Eh, Bang! Di Lombok ada juga ga?"

Bang Ahmad mengambil buah sirih, lalu didekatkannya buah sirih itu ke wajahnya. Diamatinya buah sirih dengan serius. 

"Di kami, Suku Sasak, masih ada yang nginang. Sama kayak gini, Bang! Pinang, buah sirih sama kapur.", jelas Bang Ahmad. 

"Na, su coba sirih pinang? Mari sirih pinang dulu! Di Timor sini biasa sirih pinang disajikan lebih dulu sebelum datang minuman. Mari, mari! Sirih pinang dulu! "

Pas sekali, anak perempuan Pak Yakob muncul sambil membawa nampan berisi kopi manis. Duh, rasanya ingin minum kopi saja daripada disuruh nginang. Tapi Ratih masih penasaran, bagaimana rasanya nginang/ nyeupah/ mecanangan/ sirih pinang ini. Diambilnya buah pinang iris, dirasakan teksturnya dengan ujung jari jempol dan telunjuknya. 

"Keras.", ujar Ratih lirih. 

"Iya iya. Tapi kalau su biasa, lebih enak yang keras daripada yang lunak (muda). "

" Ini buah sirihnya dimakan gitu aja atau gimana? ", tanya Ratih yang masih penasaran, kali ini ia mengambil buah sirih dan mengamatinya. Belum pernah ia lihat buah sirih. 

" Iya itu sedikit saja. Tapi hati-hati untuk yang belum biasa. Bisa-bisa mabuk atau tak sadarkan diri walau hanya sedikit."

Ratih segera meletakkan kembali buah sirih itu di tempatnya. 

"Eh? Hhe. Kalau gitu, saya minta maaf, ga bisa sirih pinang. Saya muslim. Agama kami melarang makan atau minum yang memabukkan.", Ratih berusaha bicara sehati-hati mungkin. Khawatir menyinggung perasaan Pak Yakob. 

"Ho, bae su! Tidak apa-apa. Bapak-bapak dong muslim ju ko?", Pak Yakob tak menanyai Nia karena Nia berkerudung. Jelas sama dengan Ratih. 

"Oh, saya muslim dengan Bang Ahmad. Beli Gusti Hindu. Bang Jacky Katolik.", terang Kang Arya. 

"Ho? Lu katolik? Beta ju katolik.", tanya Pak Yakob kepada Bang Jacky. 

Bang Jacky terharu. Dia tiba-tiba berdiri memeluk Pak Yakob lalu menangis. Seakan bertemu kembali dengan saudara yang telah lama hilang. Ah, Bang Jacky! Wajah Flores nampak sangar, tapi hati lembut, mudah sekali terharu. Mudah sekali menangis. 

"Oh, Bapak! Saya kira ga akan ketemu saudara seiman. Saya lihat sepanjang jalan tidak ada Kapela. Saya sedih, takut tidak bisa ibadah lagi hu.. hu.. hu.. ", Bang Jacky masih memeluk erat Pak Yakob. 

"Ada Kapela di desa ini. Persis di belakang jalan ini. Kita bisa ibadah sama-sama."

"Hu... Trima kasih, Bapak! Hu.. Hu.. Hu.." 

Nia yang memerhatikan Bang Jacky ikut terharu, tapi masih bisa menahan air mata. 

"Gimana kita ya Teh Ratih? Ga ketemu masjid sama sekali.", Nia berbisik kepada Ratih. 

"Iya Teh Nia. Aku kira Kristen dengan Katolik itu sama. Sebegitunya ketemu saudara seiman. Gimana kita ya? ", jawab Ratih berbisik. 

Bang Jacky melepaskan pelukannya. Ia kembali duduk dengan tenang. 

"Maaf, Bapak! Yang di foto itu anak Bapak?", Ratih menunjuk foto seorang pemuda berpakaian toga. Tak semua anak Timor seperti bayangan Ratih. Ada juga yang berhasil menempuh jenjang pendidikan tinggi. 

"Iya iya. Itu beta pu anak. Baru wisuda bulan kemarin. Dia kuliah di perguruan tinggi Katolik di Kota Kupang."

Ratih memerhatikan foto 10R yang ditempel di dinding rumah. Nampak seorang pemuda berpakaian toga diapit Pak Yakob dan istrinya. Orang tuanya pasti bangga berhasil menyekolahkan anak sampai ke perguruan tinggi. 

"Na kalau ada acara penting, kotong selalu pakai tenun ikat."

"Tenun ikat?", tanya Ratih. 

"Iya, yang ada di foto itu. Sebentar beta ambil."

Pak Yakob masuk ke kamar dan mengambil selendang berwarna coklat kemerahan, bercorak warna putih dengan corak khas Amarasi. Seperti corak buah pinang iris. 

"Ini tenun ikat. Kain ini mahal. Bisa 100.000 sampai 600.000 per lembarnya. Ada juga yang satu juta. Tergantung motifnya. Na ini khas Amarasi, dia pu warna merah seperti pinang.", Pak Yakob menyerahkan kain tenun ikat kepada Ratih. Bukan untuk diberikan, hanya sekedar ditunjukkan. 

"Wah, Bang Jacky! Ayo kalungkan di leher. Biar saya foto!", Kang Arya bersemangat mengabadikan foto kain tenun ikat. 

Ratih menyerahkan kain tenun ikat kepada Bang Jacky untuk dikalungkan di lehernya. Bang Jacky menangkupkan kedua tangan di dadanya. Dia tersenyum saat ada aba-aba satu dua tiga, cekrek!
***

Kang Arya dan teman-temannya pamit pulang. Pak Yakob mengantarkan mereka sampai ke pintu. Tak lupa berpesan bahwa pintu rumahnya akan selalu terbuka jika mereka butuh bantuan. 

Kang Arya dan teman-temannya berjalan kembali pulang. Di tengah perjalanan, terlihat sebuah kios yang agak besar, tanpa ram kawat. Mereka mampir sebentar untuk membeli beberapa kebutuhan pangan seperti beras, telur dan minyak goreng. Setidaknya, siang ini mereka tak akan makan mie instan dulu. 

Hari semakin terik. Tak terdengar adzan sama sekali. Dari belakang terdengar ada suara mobil berjalan pelan. 

"Bapak, ibu! Mari naik! Bapak ibu yang tidur di KCD to?"

Mereka tak kenal orang ini. Tapi nampaknya penduduk desa memang sudah tahu ada guru dari pusat yang menginap di KCD. 

Tanpa pikir panjang, Kang Arya dan teman-temannya naik ke dalam mobil box. Lumayan daripada harus berjalan di bawah sinar matahari terik. Perjalanan jauh pula. Setidaknya mereka tak perlu langgar kali. Mobil box akan masuk ke dalam sungai, melintasinya untuk masuk ke Desa Pakubaun. 

Bang Ahmad berdiri menggantung di belakang box. Berpegangan pada sisi atas box. Sementara yang lain terbanting-banting di dalam box karena tidak ada pegangan. 

Tak terlalu lama, mobil box berhenti tepat di depan KCD. Kang Arya dan teman-temannya berterima kasih kepada supir dan orang yang duduk di sebelahnya. 

Penduduk desa ini sangat ramah, maa syaa Allah. Walau mereka belum mengenali orang baru, tapi tak ada niatan mereka untuk berbuat buruk sedikit pun. Bahkan mereka dengan sukarela menawarkan bantuan. Barang-barang yang ditinggalkan di KCD pun aman, tidak ada yang hilang.  Inilah Tanah Timor dengan keramahan penduduknya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun