Setengah jam berjalan, jalanan terputus. Ada sungai lebar dengan air yang belum diketahui kedalamannya mengalir diantara dua desa. Tanpa jembatan. Keenam guru ini ragu-ragu untuk meneruskan perjalanan.Â
"Bapak, ibu dong! Mari langgar kali sama-sama!", sebuah teriakan terdengar dari belakang mereka.Â
Seorang ibu berpakaian santai tapi terlihat rapi nampak melipat celananya selutut. Dijinjingnya  sandal teplek yang tadi ia kenakan. Ia mulai melintasi sungai dengan hati-hati.Â
Tanpa berpikir panjang, Kang Arya dan teman-temannya  meniru apa yang dilakukan ibu tersebut. Kecuali Ratih. Dia masih bingung. Tak mungkin ia melipat rok dan celananya ke atas. Itu akan memperlihatkan auratnya. Sedangkan jika dipaksakan, rok dan celananya akan basah selutut. Begitu juga dengan kaos kakinya.Â
"Ayo, Ratih! Mau disitu sampai kapan?"Â
Nia tak mempedulikan auratnya. Ia melipat celana santainya sampai selutut dan mulai melintasi sungai.Â
Ratih tak mau ditinggalkan sendirian di pinggir sungai. Tapi ia juga tak tahu berapa lama teman-temannya akan bercengkrama di selatan desa.
 Akhirnya Ratih nekat melintasi sungai tanpa mengangkat rok dan celananya. Ia biarkan terendam air selutut. Pun kaos kakinya dibiarkan basah. Arus sungai masih tenang, orang-orang masih bisa melintasi sungai dengan aman.Â
Tulilit, tulilit.
Pesan terkirim. Bapak.Â
"Eh, ada sinyal?", Ratih berhenti mengecek ponselnya, lalu memencet nomor mencoba menghubungi keluarga di Tanah Jawa.Â
Teman-temannya yang lain pun ikutan sibuk menghubungi sanak saudara di kampung halaman.Â