"Oh, sama dong kayak di Sunda? Tapi di Sunda dah jarang yang nyeupah. Kalaupun ada, biasanya nenek-nenek yang sudah sangat tua.
Eh, Bang! Di Lombok ada juga ga?"
Bang Ahmad mengambil buah sirih, lalu didekatkannya buah sirih itu ke wajahnya. Diamatinya buah sirih dengan serius.Â
"Di kami, Suku Sasak, masih ada yang nginang. Sama kayak gini, Bang! Pinang, buah sirih sama kapur.", jelas Bang Ahmad.Â
"Na, su coba sirih pinang? Mari sirih pinang dulu! Di Timor sini biasa sirih pinang disajikan lebih dulu sebelum datang minuman. Mari, mari! Sirih pinang dulu! "
Pas sekali, anak perempuan Pak Yakob muncul sambil membawa nampan berisi kopi manis. Duh, rasanya ingin minum kopi saja daripada disuruh nginang. Tapi Ratih masih penasaran, bagaimana rasanya nginang/ nyeupah/ mecanangan/ sirih pinang ini. Diambilnya buah pinang iris, dirasakan teksturnya dengan ujung jari jempol dan telunjuknya.Â
"Keras.", ujar Ratih lirih.Â
"Iya iya. Tapi kalau su biasa, lebih enak yang keras daripada yang lunak (muda). "
" Ini buah sirihnya dimakan gitu aja atau gimana? ", tanya Ratih yang masih penasaran, kali ini ia mengambil buah sirih dan mengamatinya. Belum pernah ia lihat buah sirih.Â
" Iya itu sedikit saja. Tapi hati-hati untuk yang belum biasa. Bisa-bisa mabuk atau tak sadarkan diri walau hanya sedikit."
Ratih segera meletakkan kembali buah sirih itu di tempatnya.Â
"Eh? Hhe. Kalau gitu, saya minta maaf, ga bisa sirih pinang. Saya muslim. Agama kami melarang makan atau minum yang memabukkan.", Ratih berusaha bicara sehati-hati mungkin. Khawatir menyinggung perasaan Pak Yakob.Â