Di tengah kerumunan, empat perempuan itu tampak asyik bergurau. Sesekali terdengar tawa yang ditahan. Kadang lepas. Tetapi, buru-buru mereka tahan lagi. Tak enak dengan pandangan orang-orang.
Sementara, yang mereka goda itu tak sedikit pun bisa berkutik.
"Eh, Jeng, mungkin sebenarnya suamimu itu malaikat yang dikirimkan dari surga," seloroh yang lain.
"Ah, kalian bisa saja," ucap perempuan itu malu-malu.
"Apa aku pernah membohongimu?"
Perempuan itu menggeleng.
"Ya Tuhan, aku iri. Aku cemburu. Mengapa tak Kau kirimkan juga manusia berhati malaikat untuk kami ini, Tuhan?"
"Mungkin belum saatnya."
"Ah, kalaupun ada waktunya, rasa-rasanya tidak mungkin terjadi. Mustahil," kilah salah seorang dari perempuan-perempuan itu.
"Benar, mbakyu. Tidak mungkin," sahut yang lainnya.
Seketika tawa mereka lamat-lamat menghilang dari ruang ingatan perempuan yang kini tengah duduk terpekur di hadapan lelaki pembuka pintu surga. Lalu, ingatannya kembali pada sosok suaminya.
Diakui atau tidak, ia adalah perempuan yang paling beruntung. Mungkin tak ada perempuan lain sebahagia dia.