"Apakah kau masih peduli pada putramu?"
"Aku ini sudah terlalu tua. Tidak mungkin bisa mencari kayu bakar sendiri. Apakah kau tidak kasihan pada perempuan tua sepertiku? Aku rasa, putraku tak membutuhkan kayu bakar ini. Akulah yang lebih membutuhkannya," kata perempuan tua itu.
Lelaki tampan itu tersenyum, lalu berkata, "Darimana kau yakin jika putramu tak membutuhkannya?"
"Dia punya istri yang masih muda. Tenaganya juga masih kuat. Dia juga punya pembantu yang biasa melayaninya. Tetapi, aku... aku tinggal sendirian di gubuk ini."
"Bu, kayu bakar ini tidak akan aku gunakan untuk menghangatkan ruangan, atau pula untuk keperluan memasak."
"Lalu untuk apa?"
"Saat ini, putramu sedang menghadapi sakaratul maut. Tetapi, ia tak juga menemui ajalnya. Dan kayu-kayu ini akan aku gunakan untuk membantunya agar segera menemui kematiannya."
"Maksudmu, kau akan membakarnya?"
"Ya."
Sejenak jawaban lelaki yang dimuliakan Tuhan itu terasa seperti hentakan hebat yang memukul mundur hati perempuan tua itu. Ia terdiam. Tertunduk.
Dibayangkannya ketika putra tercintanya itu mati dibakar. Dibayangkannya kepedihan yang teramat. Sakit bukan kepalang. Kematian dalam keadaan normal saja sudah sangat menyakitkan. Sebagaimana yang dialami suaminya bertahun-tahun lalu. Sungguh sakit. Lalu, bagaimana dengan kematian yang harus ditempuh dengan api? Tentu jauh lebih menyakitkan.