Segera Bilal pun mengayunkan tali kekang kereta.
Dari jauh debu berterbangan. Jalan-jalan kampung yang mereka lalui tampak sunyi. Aroma kematian itu makin dekat. Bercampur debu yang berterbangan di udara. Langit berangsur jingga. Sebentar lagi malam tiba.
Di rumah, Paman beserta Bibi sang tuan rumah tengah menunggu. Sang Paman duduk di sisi pembaringan. Sementara sang Bibi baru saja membawakan peralatan kompres. Ditaruhnya di atas meja kecil yang terletak di samping dipan.
Kini tubuh sang suami makin lemah keadaannya. Pada beberapa bagian tampak mulai lebam-lebam. Wajahnya berangsur penuh keriput. Kulitnya kian kusam. Kering. Rambutnya mulai rontok. Setiap dibilas dengan air, selalu saja ada yang lepas dari kepala. Begitupun dengan kulitnya. Setiap kali dibasuh dengan air selalu saja ada yang terkelupas.
Kian hari penyakitnya kian parah. Tak ada tanda kesembuhan.
Begitu rombongan tiba, sang istri langsung menyongsong tubuh suami yang tergolek lemah tak berdaya. Ia bersimpuh di sisinya. Air matanya kembali berderai.
"Tenanglah, nyonya. Sabar," ucap Bilal.
"Bagaimana aku bisa tenang, sementara nasib suamiku tak menentu? Bagaimana aku bisa sabar, sementara kematian yang dikehendaki-Nya belum juga jelas kapan datangnya?"
Bilal dan juga semua orang yang di dalam rumah hanya menghela napas. Berusaha memahami perasaan perempuan cantik yang masih muda ini. Tak mudah memang menghadapi sesuatu yang tampak tak jelas. Menunggu dalam kebimbangan semakin membuat duka kian berkarat. Menyayat luka.
"Maaf, nyonya, bolehkah kami duduk di samping suami nyonya?" pinta Ammar.
Ia pun mengangguk, berangsur dari duduknya. Memberi jalan kepada tiga orang yang dimuliakan Tuhan itu.