"Kebahagiaan istri adalah kebahagiaanku. Aku akan merasa bahagia, jika dapat membuat istriku bahagia," seloroh lelaki berhati penuh kasih itu. "Duduklah."
Keduanya kemudian mengambil duduk saling berdampingan.
"Ada kabar apa sehingga kau memaksakan diri malam-malam bertamu ke gubuk kami, saudaraku?"
"Sebenarnya tak ada sesuatu yang penting untuk dibicarakan. Hanya saja, ibumu kemarin menyuruhku kemari."
"Ibu?"
Lelaki itu mengangguk.
"Ada perlu apa?"
"Tak ada, kecuali ia menyuruhku agar menengok keadaanmu. Memastikan kabarmu baik-baik saja."
"Ya, kami baik-baik saja di sini. Kami bahagia. Katakan padanya, kami bahagia."
"Ya, ya. Akan aku katakan pada ibumu, bahwa malam ini aku telah menjadi saksi atas kebahagiaan putra kesayagannya. Sungguh, ini akan menjadi kabar yang membahagiakan untuk ibumu, saudaraku."
"Kau benar. Kebahagiaan seorang anak sudah pasti adalah kebahagiaan bagi orangtua. Kau benar, saudaraku," ucap lelaki yang berbahagia itu dengan sumringah.
Lelaki pejalan malam itu membalas jawaban itu dengan senyuman. Tetapi, di balik senyumannya ia menyembunyikan sesuatu. Sesuatu yang tak disadari oleh sang tuan rumah atau memang dilupakan. sesuatu yang masih ia tunggu. Sesuatu itu tiada lain adalah pertanyaan dari sang tuan rumah. Pertanyaan yang menandai kerinduan.