Tiba-tiba terdengar suara pintu diketuk disertai salam. Suara itu tak asing baginya. Segera ia menuju ruang tamu, bergegas membukakan pintu.
"Ya Tuhan, sungguh suatu kehormatan bagi hamba, menerima kedatangan tamu agung, manusia pilihan-Mu, ya Tuhan. Mari... mari, silakan masuk, wahai putra Abdullah," sambutnya.
Lelaki mulia itu pun masuk. Diikuti beberapa sahabatnya.
"Semalam Bilal, Shuhaib, dan juga Ammar bercerita tentang suamimu. Mendengar itu aku merasa sangat iba. Tak kuasa mendengarnya. Dan aku putuskan hari ini berkunjung ke rumahmu. Bagaimana keadaan suamimu?"
Perempuan itu menunduk. Tak kuasa menatap wajah lelaki yang cemerlang itu. "Maaf, ya Rasul, keadaannya belum ada tanda membaik."
"Bolehkah aku menengoknya?"
"Dengan senang hati, ya Rasul. Silakan," ucap perempuan itu sembari memberi jalan pada lelaki teristimewa itu. Menunjukkan arah tempat pembaringan suaminya.
Menyaksikan keadaan suami dari perempuan muda itu, lelaki yang berjiwa lembut itu tak kuasa menahan dukanya. Kedua matanya berkaca-kaca. Tetapi, ia tahan agar tak sampai jatuh airmatanya. Disentuhnya dengan lembut tubuh yang lemah itu.
"Wahai lelaki yang berjiwa gunung, hari ini aku datang menjengukmu. Terimalah kedatanganku ini dengan perasaan sukacita. Sekalipun dalam batinmu. Telah aku dengar semuanya tentangmu, saudaraku. Dan aku mengerti bagaimana tersiksanya dirimu. Maka, jika Tuhan mengizinkan, hari ini semua akan menjadi terang. Terang bagi semuanya. Untuk itu, apapun yang terjadi hari ini, terimalah dengan ikhlas, saudaraku," ucapnya lembut.
Lelaki dengan langkah kaki yang anggun dan indah itu kemudian membalikkan badan. Diedarkan tatapan matanya kepada semua yang ada. Lalu ia ajukan pertanyaan kepada semua, "Selain istrinya, adakah keluarganya yang tinggal di sini?
Istri dari lelaki itu menjawab, "Ada, ya Rasul."